Awal Mula Konflik Israel-Palestina dan Solusi 'Dua Negara'

Abiyu Ibnuyasa
mahasiswa jurusan hubungan internasional upn veteran jatim
Konten dari Pengguna
18 Juni 2021 16:14 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abiyu Ibnuyasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image Source: https://unsplash.com/photos/dP8CquuxlFE?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
zoom-in-whitePerbesar
Image Source: https://unsplash.com/photos/dP8CquuxlFE?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
ADVERTISEMENT
Momen krusial terjadinya konflik pecah antara Israel dan Palestina adalah ketika Israel mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak yang tidak disetujui di negara-negara Arab.
ADVERTISEMENT
Namun jauh sebelum itu bisa dilihat bagaimana Israel bisa merdeka dan konflik ini bermula. Catatan Alkitab dan bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang Yahudi menaklukkan dan mulai menetap di Palestina, yang dalam Alkitab dikenal sebagai tanah Kanaan, selama abad ketiga belas sebelum era Kristen (SM).
Para zionis juga menambahkan bahwa klaim mereka tidak hanya mencerminkan sejarah nasional orang-orang Yahudi tetapi juga janji Tuhan untuk suatu hari mengembalikan orang-orang Yahudi ke Eretz Yisrael, Tanah Israel yang bersejarah.
Sebaliknya, warga Palestina bersikeras bahwa mereka adalah penduduk asli negara dan bahwa atasan mereka hak politik atas wilayah tersebut. Kedua latar belakang tersebut menjadi landasan dari kedua belah pihak untuk mengeklaim wilayah tersebut (Lust, 2019).
ADVERTISEMENT
Titik Awal
Titik awal dari terbentuknya Israel ketika terjadinya migrasi kaum yahudi dari Eropa ketika maraknya paham anti-semitisme yang membuat mereka bermigrasi ke berbagai wilayah salah satunya Palestina. Hal tersebut juga mendapat dukungan dari negara-negara Eropa salah satunya Inggris.
Bisa dilihat ketika inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour 1917 yang berisi dukungan Inggris terhadap warga yahudi untuk memiliki ‘’kediaman nasional’’ di Palestina tetapi, Inggris juga menekankan peringatan di dalamnya 'tidak boleh melakukan apa pun yang dapat merugikan hak sipil dan komunitas non-Yahudi yang ada (Akbarzadeh & Baxter, 2018).
Tahun 1922 Inggris mengeluarkan white paper yang pada intinya menjelaskan bahwa wilayah tersebut adalah palestina dan masih ambigu terkait kediaman nasional bagi Zionis. Kaum Zionis pada saat itu menuntut tanah untuk yahudi sesuai kitab mereka namun negara-negara arab mempertegas bahwa tanah di sana adalah milik palestina. Perhatian inggris kemudian mulai teralihkan di tahun 1930-an ketika muncul bayang-bayang akan terjadinya perang di Eropa.
ADVERTISEMENT
Inggris mengidentifikasi perolehan Dukungan Arab guna menghadapi perang melawan Jerman lebih penting daripada mempertahankan komitmennya untuk minoritas kecil Yahudi transnasional. Jadi, di white paper yang baru diterbitkan pada tahun 1939, London membalikkan rencana partisi.
Menghancurkan harapan bagi Zionis, dokumen ini jelas merupakan upaya untuk mendapatkan dukungan Arab menjelang Perang Dunia Kedua. Inggris menyatakan dengan tegas bahwa bukan bagian dari kebijakan mereka yang seharusnya Palestina menjadi Negara Yahudi.
Hal itu bertentangan dengan kewajiban mereka kepada orang Arab di bawah Mandat, serta jaminan yang telah diberikan orang Arab di masa lalu. Terlepas dari kemunduran yang menghancurkan ini, sebagian besar organisasi Zionis melakukan gencatan senjata melawan otoritas Mandat dan membantu Inggris dan sekutunya dalam konfrontasi dengan Hitler di Jerman.
ADVERTISEMENT
Banyak orang Yahudi dari Palestina bertempur di batalion Yahudi Inggris, memperoleh pengalaman militer yang penting di seluruh jalannya perang.
Dengan kemenangan Sekutu muncul kesadaran akan skala penuh kehancuran Holocaust, dan Zionis tekad untuk mendirikan negara Yahudi menjadi mutlak. Berbekal kemampuan militer yang telah diperoleh yahudi kemudian berbalik menyerang arab dan inggris.
Guna menengahi situasi yang memanas, PBB mengeluarkan Resolusi 181 di tahun 1947 yang menganjurkan pembagian Palestina menjadi dua negara bagian. Palestina, diwakili oleh Komite Tinggi Arab, menolak sepenuhnya Resolusi 181. Liga Arab mengumumkan rencana partisi ilegal dan ancaman kekerasan jika resolusi tersebut diterapkan (Akbarzadeh & Baxter, 2018).
Kemerdekaan Israel
Sebenarnya terdapat ketidaksetujuan dalam barisan Zionis, tetapi karena itu menawarkan pengakuan internasional atas kenegaraan, mereka akhirnya menerimanya.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, memanfaatkan legitimasi yang ditawarkan oleh partisi PBB rencana, mereka menyatakan dirinya di wilayah Palestina sebagai negara bagian yang merdeka pada 14 Mei 1948 yang disebut Israel.
Negara adidaya pasca-perang yang muncul yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet keduanya segera mengakui negara bagian baru (MacQueen, 2018).
Keduanya memiliki kepentingan strategis dan pengaruh dalam dukungannya terhadap kemerdekaan Israel. Jika ditambahkan ke mandat PBB yang ditetapkan oleh Resolusi 181, dokumen dukungan dua negara adidaya secara efektif membentuk legitimasi internasional.
Kemerdekaan Israel tersebut yang menjadi titik awal perang antar negara-negara arab dan Israel. Sehari setelah deklarasi kemerdekaan Israel, pasukan Arab gabungan menginvasi negara baru, meluncurkan perang besar terhadap Israel.
ADVERTISEMENT
Invasi tanggal 15 Mei 1948 adalah puncak dari konflik yang terjadi atau yang disebut sebagai perangas al-Nakba (Malapetaka) oleh orang Palestina. Perang tersebut membuat 700.000 orang Palestina harus mengungsi.
Beberapa orang Palestina tetap berada di dalam perbatasan Negara baru Israel dan mengambil kewarganegaraanya dan mereka dikenal sebagai warga Arab Israel. Namun, sebagian besar penduduk Palestina menjadi pengungsi, telantar di seluruh Jalur Gaza, West Bank dan negara-negara tetangga (MacQueen, 2018).
Kesepakatan Damai
seiring berlalunya waktu sedikit kemajuan nyata, baik orang Israel maupun Palestina mulai lelah dengan berbagai konflik yang telah terjadi berbagai resolusi yang fasilitasi pihak internasional telah dilakukan dan tidak membuahkan hasil.
Hal tersebut membuat munculnya kesepakatan Oslo yang dilakukan oleh gerakan akar rumput Palestina yang disebut Intifada dan pihak Israel. pendekatan resolusi konflik ini dijuluki 'negosiasi timbal balik bertahap', yang dimaksudkan untuk membangun kepercayaan dan membangun dasar yang kokoh untuk diskusi apa yang disebut masalah 'status akhir': atau masa depan para pengungsi di Yerusalem dan perbatasan (Akbarzadeh & Baxter, 2018).
ADVERTISEMENT
Kesepakatan tersebut secara tidak langsung mengadvokasi adanya konsep dua negara. Lebih eksplisit lagi, Kesepakatan membagi tanah Palestina menjadi tiga wilayah administratif yang berbeda: Area A diserahkan ke administrasi eksklusif Palestina; Area B jatuh di bawah kendali ganda Israel dan Palestina; dan, yang paling kontroversial, Area C, sekitar 60 persen wilayah west bank diserahkan ke Israel (Maltz, 2019).
Solusi Dua Negara dan kesulitan yang dihadapi
Akan tetapi Kesepakatan dan kesediaan kedua belah pihak untuk mematuhi baik surat dan semangat negosiasi semakin dipertanyakan. Sepanjang tahun 1990-an organisasi terorisme di palestina seperti Hamas melakukan bom bunuh diri terhadap Israel.
Namun, Hamas mereka beralasan tindakan tersebut dilakukan karena Israel telah membantai masyarakat Palestina. Hal tersebut membuat kesepakatan damai seakan gagal dan membuat buntut panjang konflik yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, beberapa orang Palestina dan suara internasional telah melontarkan gagasan solusi satu negara di mana kaum yahudi dan arab Palestina hidup di bawah satu negara. Sementara pendukung satu negara memposisikan pendekatan ini dalam narasi keadilan, egalitarianisme, dan mengamankan norma-norma demokrasi, sebagian besar orang Israel melihatnya lensa bunuh diri nasional, mengingat realitas demografis yang akan mereka alami kalah jumlah dengan populasi Arab.
Terdapat juga solusi lain yaitu konsep “Dua Negara” yaitu kerangka yang diusulkan untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina dengan mendirikan dua negara untuk dua kaum Palestina dan Yahudi (Britannica, 2020).
Tetapi hanya sekitar ⅓ dari Israel mendukung solusi dua negara. Hal itu terjadi karena pernyataan AS terkait perbatasan di sana harus disesuaikan dengan garis tahun 1967. Jika konsep tersebut diterapkan ratusan ribu orang Israel yang tinggal di permukiman Tepi Barat berakhir di pihak Palestina.
ADVERTISEMENT
Apakah orang-orang itu akan menjadi warga negara Palestina atau (mungkin secara paksa) dipaksa untuk kembali ke Israel? Beberapa di kedua sisi menginginkan opsi pertama, tetapi beberapa permukiman adalah kota yang mapan. Konsep dua negara juga membawa dilema permasalahan terkait perbatasan, Yerusalem, pengungsi dan keamanan yang membuatnya sulit dicapai (Fisher, 2016).
Terkait beberapa telah mengusulkan pertukaran tanah, di mana Israel akan menyerahkan sebagian dari tanah milik Israel untuk mengkompensasi bagian West Bank yang akan disimpannya dalam kesepakatan damai. Namun kedua konsep satu negara dan dua negara hanya menjadi wacana hingga sekarang karena masih belum menemui titik terang.
Israel telah menjadi semakin mengakar di Tepi Barat, membangun pemukiman Yahudi baru yang membuatnya semakin sulit untuk membayangkan sebuah negara Palestina yang layak di tanah itu. Sementara itu, kepemimpinan Palestina tetap terpecah: Kelompok militan Hamas mengendalikan Gaza, sementara Fatah, sebuah partai politik nasionalis sekuler, secara nominal mengelola Tepi Barat melalui Otoritas Palestina.
ADVERTISEMENT
REFERENSI:
Akbarzadeh, S., & Baxter, K. (2018). Middle East Politics and International Relations : Crisis Zone. 59-83.
Britannica. (2020, January 31). Two-state solution. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/two-state-solution
Fisher, M. (2016). The Two-State Solution: What It Is and Why It Hasn’t Happened. Retrieved April 12, 2021, from https://www.nytimes.com/2016/12/29/world/middleeast/israel-palestinians-two-state-solution.html
Lust, E. (2019). The Middle East. 199-329.
MacQueen, B. (2018). An Introduction to Middle East Politics (2th ed). 27-63.
Maltz, J. (2019, June 10). Explained | Two States, One and Other Solutions to the Israeli-Palestinian Conflict. Retrieved April 13, 2021, from https://www.haaretz.com/israel-news/israeli-palestinian-conflict-solutions/.premium-explained-two-states-one-and-other-solutions-to-the-israeli-palestinian-conflict-1.7044468