Ekspansi BRICS: Haruskah Indonesia Juga Ikut Bergabung?

Abida Massi Armand
Mahasiswa Ekonomi tahun ketiga di Universitas Jenderal Soedirman.
Konten dari Pengguna
24 September 2023 12:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abida Massi Armand tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aliansi BRICS. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Aliansi BRICS. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BRICS, yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, merupakan kelompok negara berkembang yang telah memperoleh pengaruh global signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Konsep BRICS pertama kali diperkenalkan oleh Jim O’Neill, seorang ekonom dari Goldman Sachs, pada tahun 2001 untuk menggambarkan potensi kolektif negara-negara ini dalam ekonomi global (Stuenkel, 2020).
Sejak pembentukannya, BRICS telah menjadi kekuatan penting dalam mengubah lanskap ekonomi dan politik global. Negara-negara anggota BRICS memiliki populasi besar, pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan pengaruh politik yang meningkat.
Kelompok ini bertujuan untuk mempromosikan kerja sama di antara anggotanya di berbagai bidang, termasuk ekonomi dan politik. Namun, lebih dari itu, pada dasarnya, tujuan utama hadirnya kelompok ini adalah untuk menantang tatanan dunia yang didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya (Janowski, 2023).
Sejauh ini BRICS telah melakukan banyak hal untuk mengukuhkan pendiriannya sebagai penyeimbang terhadap lembaga-lembaga Barat. Bank Pembangunan Baru (NDB), misalnya. Ini merupakan mekanisme bantuan yang diinisiasi BRICS untuk negara-negara yang sedang mengalami gagal bayar (Prange, 2023).
ADVERTISEMENT
Lembaga ini menjadi alternatif bagi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF)—yang merupakan produk dari Barat. Lebih dari itu, hingga sekarang, BRICS terus berupaya menambah daya pikatnya dalam lingkup internasional, salah satunya adalah dengan mengundang negara lain untuk ikut aliansinya.

Menguasai Hampir 40% Perekonomian Global

Sejumlah pemimpin negara berpose di BRICS Summit di Afrika Selatan. Foto: ALET PRETORIUS/REUTERS
Beberapa waktu lalu, dalam KTT BRICS ke-15 di Johannesburg, para dedengkot BRICS memutuskan untuk melakukan ekspansi dengan mengundang enam negara untuk bergabung dalam aliansi mereka (Llewellyn, 2023).
Negara-negara tersebut adalah Argentina, Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Perluasan aliansi ini dinilai akan mendorong negara-negara BRICS melesat jauh di depan saingan utamanya, G7, yang terdiri dari Amerika Serikat, Italia, Inggris, Prancis, Jepang, Kanada, dan Jerman.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ekonomi, misalnya. Dengan adanya tambahan anggota baru, gabungan ekonomi BRICS dalam tolak ukur daya beli akan mencapai angka sekitar $65 triliun! Jumlah ini meningkatkan pangsa mereka dalam ekonomi global menjadi 37%, dibandingkan kelompok negara maju G7 yang saat ini hanya sekitar 29,9%.
Selain itu, perluasan ini akan memberi peran besar dalam produksi pangan, logam, dan industri mereka secara signifikan. BRICS saat ini mendominasi 31% produksi minyak global, 49% total panen gandum, 79% produksi aluminium, dan beberapa dominasi di bidang lainnya (RT, 2023).
Ilustrasi BRICS Summit. Foto: Shutterstock
Melihat potensi yang baik, banyak negara tertarik untuk bergabung dengan BRICS. Dalam KTT BRICS beberapa waktu lalu, terdapat 40 negara yang telah menyatakan minatnya untuk bergabung dengan aliansi ini, tidak terkecuali Indonesia (Llewellyn, 2023). Meskipun Indonesia berminat, tetapi belum ada keseriusan yang jelas.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan tersebut, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia akan mempertimbangkan untuk menjadi anggota, namun ia tidak ingin terlalu terburu-buru. Mendengar pernyataan dari Jokowi, beberapa pertanyaan muncul di benak kita: haruskah Indonesia bergabung dengan aliansi ini? Jika harus, apa urgensinya?

Haruskah Indonesia Bergabung?

Presiden Joko Widodo dalam KTT BRICS ke-15. Foto: Presiden RI
Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dengan sumber daya alam melimpah, pasar yang luas, dan memiliki potensi pertumbuhan. Kekuatan ekonomi yang besar—yang dapat menyokong negara berpenduduk sekitar 280 juta jiwa—menjadikan Indonesia sebagai target rekrutmen yang matang bagi aliansi-aliansi di luar, termasuk BRICS.
Sejatinya, tawaran Indonesia untuk bergabung dengan BRICS telah tersedia selama bertahun-tahun (Rahmat & Pashya, 2022). Namun, sampai saat ini, Indonesia belum menerima tawaran itu. Mungkin bergabung dengan mereka bukanlah hal yang tepat untuk sekarang.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang perlu dipertimbangkan. BRICS dianggap penuh dengan masalah internal, di antaranya adalah menurunnya pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota, perbedaan sistem politik, dan perbedaan regional (Lobato, 2018).
Selain itu, beberapa kondisi yang tidak stabil juga diperhitungkan. Misalnya, masih terjadinya konflik di Rusia-Ukraina, krisis politik dan ekonomi di Brasil, kelesuan ekonomi di Afrika Selatan, dan inflasi yang tinggi di Argentina juga turut menjadi penghambat keseriusan Indonesia untuk bergabung dalam hegemoni ini (Rahmat & Pashya, 2022).
Lebih lanjut lagi, sejatinya belum ada urgensi yang mendesak bagi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, mengingat Indonesia memiliki kemampuan dalam mengembangkan perekonomiannya bersama negara-negara tetangga dan para mitra dagangnya. Hal ini diperkuat fakta bahwa secara historis, Indonesia juga sudah memiliki hubungan yang sangat erat dengan negara ekonomi terbesar dunia, Tiongkok, khususnya di bidang perdagangan.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Indonesia mencatat surplus perdagangan tiga tahun berturut-turut dengan Tiongkok, tanpa bergabung dengan aliansinya (Kemendag, 2023). Secara kolektif, Indonesia mampu menangani permasalahan perekonomian regional secara efektif berkat kekuatan domestik dan regionalnya. Ini semua bisa dicapai tanpa harus bergabung dengan BRICS.