Konten dari Pengguna

Melanggar Hukum: Mengapa Pinjol Ilegal Masih Beroperasi?

Abida Massi Armand
Mahasiswa Ekonomi tahun ketiga di Universitas Jenderal Soedirman.
7 September 2023 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abida Massi Armand tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu hasil “produk sampingan” dari kemajuan teknologi dalam sektor keuangan (fintech) adalah hadirnya platform peer-to-peer (P2P) lending, atau yang biasa dikenal dengan sebutan pinjol. Pinjol atau pinjaman online merupakan platform daring yang memungkinkan orang meminjam uang secara instan hanya dengan bermodalkan sebuah ponsel dan KTP.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pinjol sudah sangat populer dan banyak diminati masyarakat. Bahkan menurut OJK, jumlah penerima pinjol per Mei 2023 sudah mencapai 17,7 juta rekening! Menariknya, para pemilik rekening ini bukan hanya terdiri dari individu-individu yang mengutang secara konsumtif, melainkan, pada praktiknya, juga banyak sektor produktif dari UMKM yang menggunakan dan terbantu oleh layanan pinjaman online (Rahman, 2023).
Ada beberapa alasan mengapa orang menggunakan pinjol. Salah satunya adalah kemudahan dalam mendapatkan dana, terutama bagi mereka masyarakat yang unbankable (belum terjamah oleh bank). Secara tidak langsung, memang pinjol sangat bermanfaat dan mampu menyelesaikan masalah inklusi keuangan di Indonesia. UMKM yang sulit mendapatkan pendanaan konvensional akan terbantu olehnya (ITS, 2021).
Apalagi saat pandemi COVID-19 lalu, banyak UMKM yang tumbang dan masyarakat juga kehilangan pekerjaan, sehingga sulit mendapatkan dana untuk bertahan hidup. Pada kondisi seperti itu, sangat sulit meminjam uang secara tradisional ke institusi keuangan, sehingga pinjaman online dengan akses yang mudah dan proses pengajuan yang sederhana pada akhirnya menjadi alternatif utama yang membantu mereka untuk survive (Savitri, et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Mengetahui banyaknya peminat dari pinjol, momen ini dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab untuk mendirikan platform pinjaman online ilegal. Seperti nama jenisnya, ilegal, pinjol ilegal adalah pinjol yang tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Umumnya mereka memiliki aturan dan konsep yang tidak masuk akal. Misalnya, mereka menerapkan suku bunga yang sangat tinggi, tenggat waktu yang relatif singkat, melakukan pencurian dan penyebaran data pribadi, hingga mengancam para nasabah.
Pinjol ilegal sangat berbahaya bagi masyarakat. Sampai saat ini, sudah banyak korban yang terjerat. Dampak dari “lintah darat digital” ini pun tidak main-main, mulai dari masalah bagi individu secara psikologis, hingga ekonomi secara nasional. Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis dampak dari jeratan pinjol pada masyarakat Indonesia. Namun, sebelum lebih jauh, penulis akan membahas akar masalahnya terlebih dahulu, yaitu eksistensi pinjol ilegal itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Melanggar Hukum, Mengapa Masih Eksis?
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa orang yang terjebak pinjol ilegal bukanlah korban, melainkan hanya debitur konsumtif yang membuat perjanjian utang-piutang melalui konsensus perdata yang disepakati bersama dalam “checklist”-an kebijakan privasi. Namun, dalam banyak kasus, tidaklah demikian. Korban-korban pinjol ilegal umumnya secara sengaja dirugikan pihak pinjol dalam beberapa hal.
Pertama, mereka ditipu dengan iming-iming bunga rendah. Aplikasi pinjol ilegal acapkali mem-framing promosinya dengan pinjaman mudah dan berbunga rendah, padahal kenyataannya, suku bunganya sangat tinggi dan tidak masuk akal. Kedua, data pribadi disebar. Informasi pribadi para korban sering disebarluaskan dan dipermalukan ke seluruh kontak dalam ponsel korban, yang tentu akan menimbulkan rasa malu dan kerugian sosial. Ini juga secara eksplisit melanggar Undang-Undang ITE. Ketiga, diancam dan diintimidasi. Metode penagihan dari pinjol ilegal cenderung memaksa dengan menggunakan ancaman yang mengintimidasi (Singgih, 2021). Oleh karena itu, mereka sebenarnya adalah korban dari praktik-praktik platform ini.
Photo by Kominfo
Secara hukum, pinjol ilegal pada dasarnya melanggar tiga aspek: Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Aspek Administratif berkaitan dengan persyaratan pendaftaran dan izin penyelenggara pinjol, di mana mereka tidak memiliki izin OJK. Aspek Perdata menyangkut perjanjian pinjol dan pembatalannya, karena pinjol ilegal tidak memenuhi syarat subjektif yang diperlukan untuk perjanjian yang sah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Aspek Pidana mencakup praktik pemasaran dan penagihan. Promosi yang mereka lakukan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, ini melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penipuan. Lebih lanjut, penagihan dengan ancaman dan penyebaran data pribadi yang dilakukan melanggar UU ITE dan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan (Sitepu, 2022). Namun, meskipun pelanggaran hukum ini sudah jelas, mengapa layanan pinjol ilegal masih terus beroperasi di Indonesia?
Setyo Budiantoro, seorang peneliti senior ekonomi dari Perkumpulan Prakarsa, menjelaskan bahwa masih maraknya pinjol ilegal disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan regulasi yang kurang memadai terhadap fintech (BBC, 2021). Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang teknologi finansial. Walaupun ada beberapa aturan dari OJK yang berkaitan dengan layanan peer-to-peer lending, aturan-aturan tersebut belum sepenuhnya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Peraturan-peraturan di sana tidak mengatur soal bunga pinjaman, batasan biaya administrasi, atau proses penyelesaian sengketa pada konsumen (Singgih, 2021). Adanya celah hukum seperti ini menjadi salah satu dari banyak penyebab mengapa pinjol ilegal masih tumbuh subur meskipun korban sudah banyak yang “berjatuhan”. Kondisi ini menuntut tindakan dari pemerintah. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk memberantas pinjol ilegal, mengingat dampak berbahaya yang ditimbulkannya serta berpotensi menjadi bom waktu di kemudian hari.
Dampak Psikologis
Tidak hanya merugikan secara finansial dan hukum, pinjol ilegal juga membawa dampak serius terhadap kesejahteraan psikologis para korban. Penelitian yang dilakukan University of Newcastle mencatat sejumlah gejala psikologis yang dialami oleh mereka yang terjerat utang pinjol. Beberapa gejala tersebut mencakup gangguan kecemasan dan depresi, rasa malu yang mendalam, perasaan putus asa, masalah tidur, serta konflik dalam hubungan dengan teman dan keluarga (Julia, dkk., 2023).
ADVERTISEMENT
Situasi ini diperparah oleh cara penagihan yang agresif dan mengintimidasi yang kerap dilakukan oleh pinjol ilegal, sehingga membuat para peminjam semakin cemas dan tertekan. Dalam kondisi psikologis yang tertekan karena masalah finansial, orang cenderung mengambil keputusan yang tidak rasional (Singgih, 2021). Bahkan dalam kasus ekstrem, kondisi ini dapat mendorong mereka untuk mengambil langkah bunuh diri.
Seperti yang kita tahu, pinjol ilegal kerap meneror para penunggak utang dengan cara yang kasar. Mereka terus mencecar korban menggunakan bahasa yang kotor dalam menagih utang. Dalam banyak situasi, pinjol ilegal menyebarkan data pribadi korban dan mempermalukannya ke seluruh kenalan dalam daftar kontak ponsel korban. Praktik ini mengakibatkan korban dihantui perasaan bersalah, takut, dan malu, sehingga mereka yang rentan cenderung memutuskan untuk mengakhiri hidup.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kondisi psikologis seperti ini juga dapat memicu korban bertindak secara agresif. Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, mengatakan bahwa kondisi psikologis terkait depresi pada mereka yang terjerat masalah pinjol dapat mengantarkan mereka berperilaku agresif, baik dalam bentuk menyakiti diri sendiri seperti bunuh diri, maupun ke orang lain seperti pembunuhan (Karseno, 2023). Dengan kata lain, dampak psikologis dari pinjol ilegal ini sangat berbahaya karena juga dapat memicu tindak kriminal.
Sebuah Masalah Struktural
Menurut data OJK, jumlah keseluruhan utang pinjol yang belum dibayar per Mei 2023 adalah sebesar 51,4 triliun (Rahman, 2023). Secara komparatif, jumlah ini bahkan melebihi APBD Jawa Tengah tahun 2023 yang hanya sebesar 26,2 triliun (PPID Jateng, 2022). Angka yang besar ini mengindikasikan bahwa banyak entitas yang terjebak dalam pinjaman online. Faktanya, kerugian yang timbul akibat praktik pinjol ilegal tidak hanya mempengaruhi individu atau kelompok yang meminjam, tetapi juga orang-orang tak terlibat yang namanya muncul dalam daftar kontak, bahkan hingga platform pinjol yang legal.
ADVERTISEMENT
Pinjol legal terkena imbas dan stigmatisasi karenanya, padahal mereka telah mematuhi regulasi yang diberlakukan oleh pemerintah melalui OJK. Oleh karena itu, masalah pinjol ilegal sejatinya tidak akan bisa diatasi jika hanya dilakukan oleh individu saja melalui pelaporan sana-sini, karena pada dasarnya, ini merupakan masalah sistemik dan struktural. Semua pihak, baik individu atau kelompok yang meminjam, lembaga keuangan, hingga pemerintah harus hadir dalam menyelesaikan masalah ini.
Sejauh ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam mengatasi masalah yang kronis ini. Sejak tahun 2017 hingga 31 Juli 2023, pemerintah melalui OJK telah menutup 6.894 entitas pinjol ilegal (OJK, 2023). Namun, hingga saat ini, pinjol ilegal masih terus muncul dengan berbagai nama baru. Faktor ini disebabkan karena kurangnya efektivitas sanksi yang diberikan kepada mereka. Saat ini, sanksi yang dikenakan hanya bersifat administratif, yaitu berupa peringatan tertulis, denda, dan pencabutan izin usaha. Sanksi ini terlalu sederhana. Jika usaha ditutup, mereka akan dengan mudah membangun dengan brand baru.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sebagai otoritas tertinggi harus bersikap lebih tegas dan berani dalam melawan pinjol. Selain mengintensifkan penutupan dan pemblokiran, kiranya sanksi pidana dapat digunakan untuk mengkriminalisasi pinjol ilegal (Sitepu, 2022). Lebih lanjut, pemerintah juga perlu melindungi individu yang rentan terjebak dalam pinjol, yaitu mereka yang memiliki kecenderungan impulsif, seperti generasi muda misalnya. Proteksi ini bisa berupa mewajibkan tes kepribadian yang relevan dengan masalah utang-piutang (Lea, 2021).
Bukan hanya pemerintah, melainkan masyarakat juga memiliki peran dalam menghadapi masalah pinjol ilegal. Upaya ini dapat dimulai dengan meningkatkan literasi keuangan. Riset dari NoLimit Indonesia menunjukkan bahwa banyak orang yang belum mampu membedakan antara pinjol legal dan ilegal (Annur, 2022). Pertumbuhan teknologi yang cepat tidak sejalan dengan tingkat literasi keuangan yang memadai. Akibatnya, banyak individu yang terjerumus dalam pinjol ilegal yang berisiko tinggi. Ini sejatinya juga merupakan tugas dari pemerintah untuk mengedukasi dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka tercerahkan dan tidak mudah terjebak dalam pinjol ilegal.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, masyarakat juga perlu mengurangi perilaku konsumtif dan mempraktikkan gaya hidup yang lebih bijak, seperti menabung secara aktif dan tidak tergoda oleh promosi di internet. Melalui kerja sama antara pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat, ini tentu akan memberikan dampak positif yang signifikan dalam mengatasi permasalahan kronis pinjol yang telah mendarah daging di Indonesia.
Referensi
ADVERTISEMENT