Konten dari Pengguna

PR Demokrasi Prabowo: Melawan Otoritarianisme Lokal

Abid Abdurrahman Adonis
Mahasiswa Doktoral, University of Oxford. Bakrie Scholar Fellow. DPhil Programme in Information, Communication, and the Social Science, Oxford Internet Institute.
10 November 2024 9:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abid Abdurrahman Adonis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Prabowo Subianto memberi hormat dari atas pesawat saat akan bertolak menuju China di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusama, Jakarta, Jumat (8/11/2024). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Prabowo Subianto memberi hormat dari atas pesawat saat akan bertolak menuju China di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusama, Jakarta, Jumat (8/11/2024). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Demokrasi sebagai the only game in town sudah menjadi konsensus umum para elite politik nasional di hari-hari ini. Pasca runtuhnya Orde Baru dan dimulainya reformasi, amat sulit membayangkan Republik kita kembali ke otoritarianisme sebagaimana kita alami di era Orde Baru dan di ujung Orde Lama.
ADVERTISEMENT
Tata dan format institusi kenegaraan serta institusi kita juga telah menciptakan sulitnya menarik pendulum demokrasi kembali ke arah otoritarianisme. Tidak hanya dalam hal ihwal institusi, tetapi juga pengalaman publik dan collective psyche masyarakat Indonesia telah membuat demokrasi menjadi lebih terkonsolidasi pasca reformasi.
Sebagian elite politik nasional hari ini juga lahir dari generasi yang mengalami trauma akibat laku tirani dalam episode-episode sejarah Indonesia sebelumnya. Bahkan elite-elite politik yang sempat menjadi bagian dari mesin-mesin otokratik Orde Baru pun telah ikut serta secara aktif dalam aturan main demokrasi yang tak pernah kita bayangkan dua dekade silam.
Elite-elite politik juga semakin paham bahwa bermain-main dengan menggoda otoritarianisme dan kesewenang-wenangan hadir kembali akan mendapat perlawanan dari publik, sebagaimana yang terjadi pada aksi Peringatan Darurat lalu, atau aksi #ReformasiDikorupsi beberapa tahun yang lalu. Elite rupanya masih takut dihukum rakyat melalui jalur viral dan elektabilitas.
ADVERTISEMENT
Tentu ini tidak berarti bahwa demokrasi kita sudah oke dan baik-baik saja. Demokrasi kita masih jauh dari kata sempurna dengan berbagai macam catatannya. Indeks Demokrasi kita mengalami penurunan meskipun tidak signifikan menurut catatan Freedom House dan The Economist Intelligence Unit. Namun setidaknya, demokrasi sebagai referensi utama, sebagai konsensus publik dan elite telah sulit untuk diubah.
Pada hal ini, dengan segala kekurangan dan ketaksempurnaannya, saya cukup mengapresiasi komitmen Presiden Prabowo Subianto mengambil jalan demokrasi yang berliku dalam lebih dari dua puluh tahun terakhir dan akhirnya mendapatkan mandat rakyat sebagai Presiden.
Meskipun, Presiden Prabowo menyebutkan beberapa kali bahwa Indonesia perlu memilih bentuk demokrasinya sendiri yang cocok dengan kultur dan histori Indonesia. Bentuk demokrasi seperti apa ini yang perlu kita nantikan elaborasinya melalui ucapan, tindakan, dan kebijakan beliau dalam lima tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Dan ada satu hal yang perlu menjadi perhatian utama beliau perihal demokrasi, pun jika ini dianggap sebagai dukungan terhadap demokrasi khas Indonesia. Saya menyebut masalah ini sebagai otoritarianisme lokal, yakni di mana terjadi praktik-praktik otoritarian di level provinsi, kabupaten/kota, dan desa oleh aktor-aktor otoritarian, yang melibatkan termasuk Gubernur, Bupati, Politisi lokal, Polisi, Tentara, Preman, dan pengusaha lokal.
Para ilmuwan Politik menyebut ini dalam berbagai lema. Edward Gibson (2005) menyebut praktik semacam ini sebagai subnational authoritarianism dengan melihat fenomena politik di daerah-daerah Meksiko. Lalu, Hughes dan Marquez-Ramirez (2018) menggunakan istilah Local-level Authoritarianism dan Juan Albarracin et al menyebut ini sebagai Local Competitive Authoritarianism. Cristina Traina dalam Journal of Moral Theology juga menyebut ini sebagai Local Authoritarianism. Apa pun istilahnya, saya yakin pembaca menangkap maksud saya.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan masalah riil yang benar-benar dihadapi rakyat di akar rumput dan menurut saya jauh lebih mendasar dibanding persoalan-persoalan demokrasi lain di Indonesia.
Sudah berapa kali kita mendengar terjadinya persekusi pada jurnalis dan aktivis di level Provinsi atau Kabupaten dalam sepuluh tahun terakhir? Namun, sialnya berlalu cepat begitu saja dan umumnya terselesaikan ketika menunggu masalah tersebut viral. Bahkan, ketika viral sekalipun masalah tersebut belum tentu sepenuhnya terselesaikan. Pada beberapa kasus, pemerintah pusat kemudian mengambil tindakan koreksi dan turun tangan untuk menangani masalah lokal tersebut.
Selalu ada lapisan politik yang kuat di level lokal yang melibatkan jaringan aktor-aktor yang berlaku otoritarian nyaris di semua wilayah di Indonesia. Kasus almarhum Salim Kancil, misalnya, benar-benar menguji kewarasan publik dan nurani kita semua. Pertama, peristiwa pembunuhan itu sendiri benar-benar di luar nalar dan rasa kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Almarhum Salim Kancil yang meyakini kebenaran dan memperjuangkan haknya dibunuh secara sadis oleh aktor-aktor lokal. Kedua, penanganan dan putusan atas kasus tersebut juga belum benar-benar memenuhi rasa keadilan. Bahkan putusan 20 tahun penjara adalah putusan yang lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Kasus Salim Kancil tentu bukan satu-satunya. Ia adalah satu kasus dari ratusan bahkan ribuan kasus lainnya di berbagai wilayah di Indonesia yang jauh dari jangkauan pemerintah dan elite-elite di pusat. Terbaru, saya mengamati kasus Guru Supriyani di Konawe Selatan yang justru menjadi bulan-bulanan perilaku otokratik dari aktor-aktor lokal.
Berbagai intimidasi dari kepolisian setempat, lalu Camat yang mengadvokasi dicopot, mobil ditembaki, dan bahkan terakhir, justru Guru Supriyani disomasi oleh Bupatinya sendiri, Surunuddin Dangga karena mencabut surat damai akibat adanya intimidasi.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus seperti di atas, jika kita baca dari laporan-laporan berbagai kelompok masyarakat sipil, akan membuat kita merefleksikan kembali bagaimana cara pandang kita terhadap demokrasi.
Demokrasi di Indonesia seakan berjalan pada dua rel yang berbeda. Rel pertama, di level nasional, dengan segala dinamika dan kekurangannya, demokrasi terasa lebih terkonsolidasi dan stabil. Angka-angka dan institusi bisa melenakan. Namun, di rel kedua, pada level lokal, mulai dari Provinsi hingga Desa, amat sulit mengatakan demokrasi berjalan ke arah yang lebih positif ketika praktik-praktik otoritarian ini terus berlanjut.
Yang paling menyedihkan adalah ketika praktik otoritarian ini terbentuk dan dilestarikan oleh jaringan aktor-aktor lokal lintas institusi. Masyarakat tak punya lagi alat dan saluran demokratik untuk menyuarakan dan mengupayakan haknya. Efeknya, kepercayaan terhadap demokrasi semakin surut.
ADVERTISEMENT
Ini lah di antara beberapa alasan mengapa Presiden Joko Widodo populer di kalangan masyarakat akar rumput. Presiden Jokowi dianggap responsif jika ada isu-isu viral terkait praktik otoritarian yang merugikan rakyat kecil. Namun, pendekatan berbasis respons perlu ditingkatkan ke level struktural dan kultural. Bagi saya, ini adalah pekerjaan rumah demokrasi bagi Presiden Prabowo: menciptakan upaya sistematik, struktural, dan kultural untuk melawan otoritarianisme-otoritarianisme lokal.
Pun, jika Presiden Prabowo dan pejabat terkait tak terlalu suka dengan istilah tersebut, yakinlah bahwa praktik-praktik otoritarianisme lokal juga yang menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Perhatian dan upaya Presiden Prabowo untuk mengupayakan kesejahteraan bagi wong cilik akan buntu apabila terlena oleh angka-angka pertumbuhan tinggi yang besar, semisal target 8%, apabila tidak melihat secara zoom in: apakah kesejahteraan itu dinikmati oleh rakyat, atau bersirkulasi di aktor-aktor otoritarian lokal?
ADVERTISEMENT
Selama ini Presiden Prabowo juga banyak mengeluhkan soal APBN dan kekayaan negara yang bocor. Selain keluar negeri, kita tahu bahwa kekayaan negara kita habis mengisi perut-perut aktor-aktor otoritarian lokal yang tidak hanya mengakumulasi kapital, tetapi membunuh demokrasi di level lokal dengan tindakan-tindakan tiran.
Ini perlu menjadi perhatian mendasar mengenai diskursus demokrasi kita, maupun wacana publik nasional sehari-hari kita. Pada akhirnya, demokrasi Indonesia yang dirasakan dan dialami oleh kebanyakan masyarakat kita bukanlah yang mereka saksikan di layar tivi atau layar ponsel kita, tetapi demokrasi Indonesia adalah yang hadir di keseharian kita, lewat apa yang terjadi di tetangga kita, dan atas apa yang terjadi di lahan-lahan kita.
Apa artinya kita punya ekonomi tumbuh tinggi tapi tak ada manusianya? Apa artinya kita punya pendapatan per kapita besar tapi rakyatnya mengalami siksaan seperti Salim Kancil? Apa artinya kita berikan makan bergizi gratis pada murid tapi kita belum hadirkan rasa demokratis dan adil bagi guru-guru seperti Ibu Supriyani di Konawe Selatan?
ADVERTISEMENT
Kepentingan nasional, ekonomi, demokrasi, dan kemanusiaan sudah sepatutnya tak dipertentangkan. Tak ada kepentingan nasional tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab. Tak ada ekonomi yang tumbuh tinggi tanpa rasa aman bagi hak-hak masyarakat kebanyakan. Ke semuanya tak perlu dipertentangkan, tapi perlu kita perjuangkan bersamaan.
Pak Prabowo, ini pekerjaan rumah yang perlu pertama diselesaikan. Semoga Tuhan senantiasa menyertai.