Konten dari Pengguna

Benarkah Dunia Semakin terpuruk dengan Lahirnya Gen Z yang Semakin Buruk?

Abigail Febriannie
Mahasiswi Aktif S1 Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
4 Desember 2023 10:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abigail Febriannie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Daniel Reche/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Daniel Reche/Pexels
ADVERTISEMENT
Tahukah kamu? Keberadaan Gen Z kini semakin menjadi perbincangan dunia. Perubahan sosial yang dialami saat ini benar – benar berbeda dengan sebelumnya. Timbulnya ketidaksesuaian dalam lingkungan sosial dimasyarakat sehingga menciptakan kehidupan baru. Adanya sikap atau perilaku baru yang lahir dalam pola dimasyarakat yang bisa saja berdampak buruk atau baik. Tapi pada kali ini, bisa dikatakan akan membahas mengenai dampak buruk dari Generasi Z yang didukung oleh teknologi yang berkembang dengan pesat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi adalah bukti nyata Gen Z memiliki power luar biasa untuk membawa revolusi baru. Namun, dibalik itu seiring berjalannya waktu, mulai muncul sikap – sikap memprihatinkan pada Generasi Z. Ketidakpedulian yang dimiliki pada Gen Z menjadi ancaman dunia karena akan menjadi mimpi buruk dan membawa kehancuran. Indonesia sendiri telah memikirkan agar hal demikian bisa diminimalisir. Salah satu contohnya adalah ketika mereka golput dalam pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintah, merupakan bukti nyata jika Gen Z acuh untuk berkontribusi demi kemajuan negaranya sendiri. Sangat disayangkan jikalau dunia menghadapi karakteristik ini. Ditambah lagi Gen Z kini banyak mengalami gangguan kesehatan mental akibat terlalu sering bermain sosial media. Berlomba – lomba memperlihatkan siapa yang paling unggul dalam unggahan akun media sosialnya sehingga menjadikan psikis mereka mulai terguncang. Menyeramkan bukan? Maka dari itu, disini akan dibahas lebih mendalam mengenai sikap yang semakin buruk daripada Gen Z kian memprihatinkan dunia.
ADVERTISEMENT
Apakah Gen Z Semakin Individualis serta Apatis?
Bisa dikatakan pemikiran generasi milenial jauh lebih kritis dibandingkan Generasi Z. Karena sudah dipengaruhi oleh berbagai macam hal yang tak diduga. Kepada orang yang mereka kenal saja saat sedang berkumpul justru lebih mementingkan gadget dibandingkan untuk berkomunikasi dengan sekitarnya. Interaksi yang semakin menipis ini perlu diperhatikan. Awal yang dimulai dari hal kecil maka akan bisa menjadi boomerang yang dapat membunuh kita sendiri nantinya. Bahayanya, mereka bukan hanya tidak peduli pada sesama saja.
Gambar Tidak Adanya Komunikasi Antarsesama. Sumber foto: Cottonbro Studio/Pexels
Pada tahun 2045, Indonesia memasuki Indonesia Emas. Banyak harapan juga cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat. Tapi, kenyataannya Gen Z menjadi evaluasi yang harus diperbaiki. Kehidupannya yang individualis menjadikan banyak tantangan baru yang harus diluruskan bersama-sama. Keapatisan mereka ini telah disupport dengan kemajuan teknologi yang semakin serba instant dan cepat. Mereka tidak perlu bersusah payah, hingga mengeluarkan tenaga. Hanya dengan duduk manis, Gen Z mampu mengakses segalanya dan mencari kesenangannya sendiri melalui gadget masing-masing. Data dari Alvara Research Center pada tahun 2022, generasi Z yang menggunakan internet kurang dari 1 jam per hari hanya 8,6%. Sebanyak 29,7% generasi Z menggunakan internet selama 1-3 jam sehari. Lalu, 27,4% Gen Z menggunakan internet dengan durasi 4-6 jam per hari. Dari hasil data tersebut sungguh tidak bisa dibayangkan betapa hebatnya kekuatan teknologi saat ini. Integritas pemerintah kini menjadi sasaran rakyat. Munculnya sikap kurang kepercayaan pada masyarakat kian meningkat, jika dilihat dari keapatisan Gen Z.
Gambar Gen Z Asyik Bermain Gadget. Sumber Foto: Katerina Holmes/Pexels
Pastinya pemerintah tidak akan tinggal diam. Sosialisasi pada lingkup pendidikan akan terus diberikan, dan masyarakat luas. Menjaga keutuhan solidaritas kunci utama yang perlu diketahui. Jika saat ini teknologi yang hanya menjadi andalan Gen Z maka kita bisa memberikan postingan yang menyadarkan mereka bahwa individualis akan membawa kehancuran. Manfaatkan fungsi media untuk menyelamatkan dunia. Jika tidak dimulai dari diri kita sendiri, lantas siapalagi?
ADVERTISEMENT
Kesehatan Mental yang Mulai Rendah pada Gen Z
Kekuatan mental yang dimiliki oleh Generasi Z kian memudar, sudah banyak kasus yang terjadi bahwa anak muda saat ini mengalami gangguan jiwa bahkan sampai bunuh diri akibat stres yang dialaminya. Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku. Dibuktikan dari data tersebut, masih banyak remaja yang membutuhkan konsultasi untuk penyembuhan mental health nya. Saat mereka mengalami kecemasan diri, lama kelamaan menjadi kurang percaya diri dan berujung pada gangguan mentalnya. Hal ini jangan sampai disepelekan begitu saja. Karena dampak dari rendahnya kesehatan mental pada Gen Z memicu tingginya kematian pada akhir – akhir ini. Media sosial, adalah tangan kanan bagi remaja untuk mencari hiburan disaat sedang kesepian. Namun, saat ekspektasi tak sesuai dengan harapan yang dipikirkan, maka mulai timbul keresahan pada setiap individu. Terutama, netizen media sosial Indonesia dapat dikategorikan netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Data terbaru oleh Digital Civility Index (DCI) telah mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, menunjukkan bahwa warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara yang dimana dikatakan paling tidak sopan. Hal ini memang sudah benar dibuktikan. Sehingga banyak yang mendapatkan bullying dan mempengaruhi psikis seseorang. Serangan tersebut banyak terjadi pada Generasi Z.
ADVERTISEMENT
Gambar membullying sesama. Sumber Foto: Keira Burton/Pexels
Tidak hanya itu, kesehatan mental juga dapat disebabkan karena terlalu overthinking. Memikirkan hal yang sebenarnya belum tentu terjadi, namun terus dibawa kedalam pikiran negatif. Overthinking membuat individu menjadi lebih pasif dan takut untuk mengeksplorasikan dirinya. Jika ini terus tertanam maka akan bertumbuh dalam benaknya hingga membuatnya mudah digoyahkan.
Nahh.. untuk mengurangi kecemasan diri serta tetap menjaga stabilitas kesehatan mental, maka perlu memperbanyak hal yang positif, memulai karya dengan ciri khas unik dengan branding diri masing – masing. Istirahatkan diri, karena tubuh yang sudah lelah melakukan kegiatan seharian penuh butuh dirileksasikan dengan cukup agar otak kita kembali fresh. Kita pun tidak perlu menerima semua insight buruk yang hanya untuk menjatuhkan diri kita saja. Menyenangkan serta memberi apresiasi pada diri merupakan hal yang sangat penting sebagai perayaan bahwa kita mampu melewatkan semuanya sampai pada saat ini. Ketika kita sudah bisa berdamai dengan diri sendiri, semua pasti akan berjalan sesuai dengan tujuan.
Sumber Foto: Anna Shvets/Pexels
Abigail Febriannie, (2210411029)
ADVERTISEMENT
Referensi:
Cindy Mutia Annur. (2022). Survei; Pecandu Internet Terbanyak Dari Kalangan Gen Z
Willy Medi Christian Nababan. (2023). Cita – cita Indonesia 2045 Terhalang Masalah Kesehatan Mental Remaja.
M. Ikhsan. (2021). Riset; Netizen di Indonesia Paling Tak Sopan se-Asia Tenggara