Konten dari Pengguna

Menjadi Bebas dan Otentik: Sebuah Refleksi Pemikiran Sartre

Abil Arqam
Mahasiswa Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta - Nyantri di Ngaji Filsafat MJS
26 April 2024 9:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abil Arqam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Image: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Semua orang mendambakan kebebasan, meski tidak tahu kebebasan macam apa yang dikehendakinya. Yang penting adalah dapat melakukan apa saja yang ia inginkan, terlepas dari berbagai perintah, peraturan, dan larangan macam apa pun. Bebas pun menjadi sebuah kata yang atraktif sekaligus pelik.
ADVERTISEMENT
Ketika masih remaja, kebebasan bagi kita adalah sebatas tidak diatur oleh orang tua. Seperti bisa kelayapan ke manapundengan kawan-kawan tanpa harus dibatasi jam berapa harus pulang, bergaul dengan siapa pun yang disenangi, dan mencoba-coba segala hal baru yang belum pernah dilakukan. Seiring berjalannya waktu, makna kebebasan itu pun terus berubah.
Pada tingkat yang lebih ekstrem lagi, kebebasan umumnya diartikan dapat melakukan apa pun sesuai keinginan tanpa batas, seperti minum minuman keras, bergaul dan bahkan nge—seks dengan lawan jenis tanpa ikatan pernikahan, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya. Gerakan Hippies yang berkembang di Amerika atau fenomena anak-anak hedon di Jaksel boleh jadi menggambarkan hal itu.
Akan tetapi, apakah seperti itu kebebasan yang dikehendaki dan ingin dicapai oleh semua orang? Bukankah itu sama halnya dengan melepas-bebaskan sisi kebinatangan yang ada pada diri manusia? Lebih dalam lagi, bukankah kebebasan macam itu malah menciptakan kesepian: sebuah keadaan hidup tanpa keterikatan dengan apa pun?
ADVERTISEMENT

Arti Bebas yang Membingungkan

Kita mengenal banyak tokoh revolusioner dalam catatan-catatan sejarah yang berjuang untuk mengubah situasi pada zamannya. Satu hal yang dapat kita soroti dalam sejarah perjuangan itu, bahwa mereka memiliki satu tujuan yang sama: pembebasan.
Pembebasan ini maknanya luas. Boleh jadi bebas dari kebodohan, bebas dari penindasan, bebas dari kesengsaraan, bebas dari dosa dan kemaksiatan, atau bahkan bebas dari segala sisi buruk diri manusia. Dari Buddha di India, Nabi Muhammad di Mekkah, Karl Marx di Eropa, Hingga Soekarno di Indonesia, semua memiliki corak pembebasannya masing-masing.
Oleh karenanya, kata kebebasan ini memiliki banyak perbedaan definisi, terlebih ketika dihadapkan dengan problem keterbatasan bahasa. Namun, apa pun itu kebebasan manusia selalu menyangkut soal bagaimana manusia dapat menyadari dirinya sendiri terlebih dahulu. Hal ini berkaitan dengan ihwal esensial dan eksistensial manusia.
ADVERTISEMENT
Untuk memahaminya lebih dalam, Ada baiknya kita memulai dengan satu definisi yang barangkali lebih sederhana dari Paul Vitols: bahwa kebebasan adalah kapasitas seseorang untuk dapat mencapai tujuannya (Their capacity to work towards their goal is their freedom). Kapasitas itu bisa naik dan turun tergantung seberapa banyak hambatan yang ada. Semakin banyak hambatannya, semakin rendah pula kapasitas kebebasannya.
Namun, definisi sederhana ini barangkali masih kurang untuk menggali kebebasan dengan lebih mendalam. Dari Vitols, kita bergeser jauh ke salah satu aliran filosofis paling kuno di Yunani, yakni Epicurreanisme. Menurut Epicuros (tokoh yang menginisiasi aliran ini), bahwa kebebasaan-bisa juga kebahagiaan-bukanlah memenuhi segala keinginan, akan tetapi adalah keterhindaran dari segala kesedihan, kesakitan, dan kesengsaraan.
ADVERTISEMENT
Jika mengacu pada pandangan Epicurros ini-merujuk pada Paul Stearns-maka kita dapat menarik satu pemahaman bahwa kebebasan terbaik adalah ‘bebas dari’ sesuatu, dan bukan ‘bebas untuk’ melakukan apapun (greatest freedom is ‘freedom from’ something, not ‘freedom to’ do something).

Dua Sikap/Iman dan Autentisitas dalam Pandangan Sartre

Melihat berbagai pengandaian tentang makna kebebasan di atas, manusia pada dasarnya tidaklah dapat benar-benar bebas. Manusia berada dalam kekangan bermacam sistem, hukum alam, norma sosial, dan lain sebagainya yang membatasi kebebasaannya. Karenanya, kebebasan menjadi satu hal yang utopis.
Seorang Filsuf asal Perancis, Jean Paul Sartre punya pandangan yang menarik mengenai problem kebebasan ini. Ia agaknya yang memulai pembahasan mengenai eksistensi dengan menggali sisi subjektivitas manusia.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah kalimat yang menjadikan Sartre masyhur, yakni “Eksistensi mendahului Esensi”. Baginya, kelahiran dan keberadaan manusia di dunia tidaklah membawa nilai, tujuan, kodrat, dan hakikat apapun. Proses dari kelahiran hingga kematian lah yang menjadi periode bagi seorang manusia untuk menciptakan esensi keberadaannya.
Eksistensialisme Sartre memuat kritik tajam atas determinisme biologis, Psikoanalisis, Marxisme dan berbagai aliran filosofis lainnya yang merumuskan kodrat dan hakikat tertentu bagi manusia. Aliran-aliran ini kemudian menjadi semacam penentu-atau barangkali peramal- bagaimana seharusnya manusia berlaku-hidup.
Bagi Sartre, kehidupan manusia adalah sebuah kontingensi, yakni proses keberlangsungan hidup yang terus-menerus mengalami perubahan menuju diri yang lebih autentik sehingga tidak dapat ditentukan kodrat dan hakikatnya begitu saja.
Apa yang Sartre katakan mengenai eksistensi dan esensi manusia ini berkaitan dengan bagaimana seseorang akan memandang kebebasan dirinya. Sartre menggunakan istilah dalam bahasa Prancis La Mauvais Foi dan La Bonne Foi untuk membagi dua sikap dan kepercayaan manusia dalam memandang eksistensi dan kebebasannya.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah La Mauvais Foi berarti sikap, iman, dan kepercayaan yang baik, sedangkan La Bonne Foi adalah kebalikannya, sikap, iman, dan kepercayaan yang buruk. La Mauvais Foi adalah sikap orang yang sadar atas kebebasan eksistensial pada dirinya yang memungkinkan dia untuk berani melawan hal-hal di luar diri yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu.
Ia berani menggali dirinya, mencari tau apa yang ia inginkan dan tidak inginkan tanpa intervensi dari sesuatu yang lain. Dengan kata lain, ia menjadi seseorang yang otentik. Sartre menyebutnya Etre Pour Soi (Being for-itself).
Sebaliknya, La Mauvais Foi, adalah sikap ikan mati: hanya mengikuti arus mainstream, tak peduli kemana ia akan dibawa. Seseorang yang bersikap seperti ini secara sadar ataupun tidak, enggan bertanggungjawab atas kebebasan eksistensialnya. Ia lebur dalam nilai dan kemauan pihak di luar dirinya, yang pada dasarnya sangat memenjarakan dan mengekang.
ADVERTISEMENT
Pengandaian paling terkenal dari Sartre mengenai hal ini adalah pelayan kafe (garcon de cafe). Seorang pelayan kafe sejatinya adalah orang yang bebas. Akan tetapi, karena tuntutan pekerjaan, SoP, dan lain-lain, ia harus melakukan segala sesuatu sesuai prosedur yang berlaku, semisal dengan kata-kata dan gerakan apa ia harus menyambut tamu, pada jam berapa ia boleh beristirahat, pakaian apa yang seharusnya dikenakan, dan lain sebagainya.
Orang-orang yang menjalani hidup seperti ini bagi Sartre adalah orang yang tidak autentik. Lebih jauh lagi, orang yang berlaku-hidup seperti ini bisa menjadi seorang hipokrit atau munafik.
Sartre adalah sosok yang penuh kontroversi. Sebagai seorang eksistensialis-ateis yang banyak memberikan kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, dia memiliki banyak musuh pemikiran. Kendati demikian, pemikirannya tetaplah segar dan menarik khususnya dalam filsafat eksistensialisme.
ADVERTISEMENT
Kita hidup dalam suatu era di mana hampir semua orang berlomba-lomba untuk menjadi lebih populer dari orang lain. Dalam upaya untuk mencapainya, berbagai hal dilakukan, termasuk sesuatu yang pada dasarnya bukan berasal dari kemauan diri sendiri, tetapi berdasarkan nilai-nilai atau barangkali tren yang sedang berkembang. Muda-mudi pun lalu cemas dan merasa FOMO jika ia tidak dapat mengikuti tren tersebut.
Buruknya, hal ini telah membangun jeruji transparan bagi kehidupan manusia: ia seolah-olah tak terlihat namun sangat memenjarakan. Proses seseorang untuk mencapai autentisitas dirinya terhambat oleh karena banyaknya distraksi yang muncul. Sosial media, iklan-iklan di TV, baliho-baliho yang berseliweran di jalanan, merancang-bangun pikiran masyarakat untuk ikut dalam perlombaan untung-rugi, kaya-miskin, cantik-jelek, terkemuka-terbelakang, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Dalam keadaan seperti ini, manusia perlu untuk menggali dan mempertanyakan lagi, apa yang sebenarnya penting dan tidak penting bagi dirinya, apa yang sejatinya ia inginkan dan tidak inginkan dalam hidupnya. Kita perlu lebih dalam lagi memaknai kebebasan eksistensial untuk kemudian menjadi autentik. Menjadi aku yang benar-benar aku.