Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Sophrosune: Seni Mengenali dan Mengendalikan Diri
22 Januari 2024 11:05 WIB
Tulisan dari Abil Arqam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sokrates. Sumber: Pixabay](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01hmqmymprv5pg5s96wj7fszfg.jpg)
ADVERTISEMENT
Ada sebuah adagium yang masyhur dari tanah Arab "خَيْرُ الأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا" yang artinya “sebaik-baik perkara adalah pertengahannya”. Ungkapan ini menjadi pesan bahwa segala hal tidaklah baik bila dilakukan secara berlebihan. Bahwa yang baik adalah yang pertengahan, sesuai kadar, proporsional, dan tidak keterlaluan.
ADVERTISEMENT
Jika memiliki seorang kekasih, maka cintailah ia sekadarnya saja. Tidak terlalu biasa hingga Anda kehilangan dirinya dan tidak terlalu lebay hingga Anda kehilangan diri sendiri. Kalau kata Efek Rumah Kaca: Jatuh Cinta itu Biasa Saja.
Memang, orang yang hidupnya paling santai di dunia adalah orang yang biasa-biasa saja. Tidak terlalu miskin dan tidak terlalu kaya. Tidak terlampau pintar dan tidak terlampau bodoh. Tidak cantik-cantik amat dan tidak jelek-jelek amat. Di tengah-tengah, medioker dan standar.
Ada sebuah istilah menarik dari tradisi keilmuan Yunani kuno yang barangkali dapat menggambar konsep ini: Sophrosune. Pada dasarnya, agak sulit menemukan padanan kata yang sesuai dengan Sophorosune dalam bahasa Indonesia. Kata yang umumnya digunakan adalah Ugahari. Secara kasar, istilah ini memiliki arti pertengahan, moderat dan sederhana.
ADVERTISEMENT
Namun, terdapat beberapa pemaknaan lain yang lebih luas untuk menggenapi pemahaman kita terhadap kata tersebut. Untuk itu, marilah kita mulai dengan memahami asal-usulnya.
Sophrosune: Kesahajaan dalam Pengenalan dan Pengendalian
Suatu waktu, saat Sokrates telah berpulang dari perang Poteidaia, ia berjalan-jalan menuju Gymnastikue. Tak sesempit kata nge-gym, yang kita pahami hari ini, Gymnastikue pada masa Yunani kuno bukan hanya tempat latihan kebugaran tubuh, tetapi juga tempat para pemuda mempelajari banyak hal seperti sastra, musik, ilmu hitung, dsb. Karenanya, di Gymnastikue, begitu banyak pemuda yang tak hanya baik secara fisik, tetapi juga memiliki otak yang encer.
Di tempat inilah, Sokrates bersama murid setianya Platon, bertemu dengan beberapa orang untuk berbincang dan berembuk dengan gaya elenchos-nya: seni berdialog dengan gaya naif untuk memancing dan menguji argumen mitra wicara. Mereka bertemu dengan Kritias, Xairephon, dan juga Xarmides si tokoh kunci yang akan mengawani Sokrates dalam perbincangannya terkait Sophrosune atau keugaharian. Xarmides adalah keponakan Kritias yang dipanggil oleh Kritias sendiri untuk menunjukkan keugaharian dalam diri Xarmides kepada sokrates.
ADVERTISEMENT
Xarmides pada awalnya bertanya kepada Sokrates tentang obat yang dapat menyembuh sakit kepala yang sedang dideritanya. Alih-alih, memberikan jawaban mengenai obat, Sokrates-yang pada dasarnya berpura-pura tahu-mengatakan bahwa pokok dari penyakit yang diderita oleh seseorang bukanlah terletak pada bagian-bagian tertentu, tetapi pada keseluruhan tubuh. Maka, hal yang pertama kali perlu diperiksa ialah kondisi jiwa manusia. Dari pertanyaan inilah kemudian pembahasan mengenai Sophrosune bermula.
Xarmides dan juga Kritias mengajukan percobaan definisi kepada Sokrates mengenai definisi Sophrosune. Xarmides mengatakan keugaharian adalah ketenangan, rasa malu, dan melakukan urusannya sendiri. Percobaan definisi ini kemudian dilanjutkan oleh Kritias dengan mengatakan bahwa keugaharian adalah melakukan urusan sendiri, melakukan hal-hal baik, mengenali diri sendiri, dan memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri serta pengetahuan-pengetahuan universal lainnya.
ADVERTISEMENT
Menariknya, tidak ada satupun dari definisi di atas yang diterima oleh Sokrates. Setiap kali Xarmides dan Kritias mengajukan pengertian mengenai Sophrosune, Sokrates selalu menyanggah pengertian tersebut dengan memberikan pertanyaan seturut kasus-kasus tertentu yang akan menggoyahkan definisi mereka.
Inilah yang agaknya menjadi ciri utama dialog Sokrates: Aporetik. Suatu model dialog yang tidak menemukan titik temu dan jawaban, dengan melakukan penyanggahan demi penyanggahan untuk mengetes kesahihan suatu argumen. Namun, penyanggahan yang dilakukan oleh Sokrates, bukanlah berarti penolakan. Hal ini adalah semacam upaya untuk menunjukkan bahwa baik Xarmides dan Kritias tidak memahami makna keugaharian itu sendiri.
Jika kita membaca teks dialog antara Sokrates dengan Kritias dan Xarmides, maka poin utama mengenai definisi Sophrosune adalah melakukan urusan masing-masing dalam hal kebaikan dengan dibekali pengenalan dan pengendalian atas diri sendiri serta pengetahuan tentang baik-buruk (Xarmides, h. 64).
ADVERTISEMENT
Pengertian Sophrosune nantinya juga akan dikembangkan lagi oleh Platon dan akan sangat berkaitan dengan pandangan tiga aspek jiwanya: Thumos (syahwat biologis), Ephitumos (hasrat bangga diri), dan Rasio (akal). Tiga hal ini terdapat pada jiwa setiap orang. Maka, seorang ugahari atau sophron adalah ia yang dapat mengendalikan tiga aspek ini secara harmonis.
Ringkasnya, Sophrosune adalah kemampuan mengenali dan mengendalikan diri sendiri.
Mengapa Perlu Bersikap Ugahari?
Yang ugahari adalah yang dapat mengenali dan mengendalikan diri sendiri. Jika pengertian sederhana ini kita terima, maka akan sangatlah sulit menemukan orang yang benar-benar ugahari, khususnya dalam konteks zaman ini.
Pasalnya, kehidupan manusia saat ini telah terbagi ke dalam 2 bagian: dunia nyata dan dunia maya. Dalam dunia maya kita tidak dapat membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong. Semua lebur dalam gimmick. Siapa pun selalu ingin menampilkan sisi-sisi paling baik dari dirinya. Walhasil, apa yang tampak mendahului apa yang sebenarnya terjadi.
ADVERTISEMENT
Lebih buruk lagi, kita yang menonton pencapaian dalam kehidupan orang lain di media sosial dan terkadang merasa resah. Baik resah terhadap diri sendiri maupun resah terhadap masa depan yang sedang menanti. Kita lalu mulai membanding-bandingan diri sendiri dengan orang lain yang lebih berhasil dalam kehidupan. Dan pada akhirnya, kita yang telah terjebak dalam cengkraman dunia maya akan mengalami keterasingan, tak dapat mengenali diri sendiri lagi.
Oleh karenanya, dalam model kehidupan yang kian membuat tidur tak nyenyak ini, menjalankan sikap Sophrosune atau ugahari adalah pilihan yang cermat. Hal ini menyangkut soal kembali mengenali diri kita yang mulai terasing; suatu sikap untuk menjadikan kita lebih jujur terhadap diri sendiri. Pengenalan diri yang akan memberikan kita kemampuan untuk memilih dan menentukan apa yang baik bagi diri kita masing-masing dan tidak melulu menautkan kehidupan kita pada penilaian orang lain.
ADVERTISEMENT
Sophrosune akan mengantarkan kita pada pemaknaan hidup yang sederhana. Tidak kurang dan tidak lebih, pertengahan dan harmonis. Siapa pun hanya perlu melakukan apa yang baik bagi dirinya masing-masing terlepas dari standar-standar yang diciptakan orang lain. Dan yang paling penting adalah tidak membohongi diri sendiri.
Oleh seorang Sufi nusantara terkenal bernama Hamzah Fansuri, diri manusia ditamsilkan sebagai sebuah perahu. Jika seseorang pelaut mengenali dan mengetahui ihwal perahu yang akan digunakannya, maka selamatlah ia dalam pelayaran yang akan ditempuh. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hal tersebut niscaya ia akan tenggelam, dibunuh oleh ketidaktahuannya.
ADVERTISEMENT