Konten dari Pengguna

Hustle Culture, Media Sosial, dan Kesehatan Psikologis Gen-Z

Abimanyu Ismoyo Santoso
Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya
5 Desember 2024 19:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abimanyu Ismoyo Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Hustle culture kurang lebih banyak mempengaruhi kesehatan masyarakat Indonesia secara struktural. Istilah ini tentunya menjadi banyak dibahas dan sering digunakan akhir-akhir ini lewat sosial media. Istilah ini banyak ditekankan kepada generasi yang lebih muda dan akhirnya lebih banyak diteliti melalui generasi yang terbuka dengan penggunaan media sosial. Penggunaan media sosial sendiri menjadi penting untuk dibahas lebih lanjut dikarenakan algoritma dan juga penggunaan sosial media tidak hanya didasari oleh kebutuhan hiburan saja.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal tersebut, apakah akhirnya fenomena hustle culture ini dipengaruhi secara langsung oleh penggunaan sosial media? Apa juga dampaknya bagi kesehatan baik secara fisik maupun jasmani? Penggunaan media sosial telah banyak merubah persepsi kita mengenai cara merespons pekerjaan. Apakah akhirnya pekerjaan tersebut dinilai memiliki worth yang sesuai dengan apa yang sudah dilakukan oleh pekerja? Tentunya hal ini menjadi kajian tertentu yang menarik bila dibahas dari segi kesehatan mental. Dalam penelitian menyatakan bahwa generasi saat ini cenderung mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan dengan motivasi bekerja yang cukup keras. Kadang ada hashtag yang menyatakan seperti, “NoDaysOff, #ThankGodItsMonday, dan masih banyak hashtag lainnya yang mengglorifikasi pekerjaan yang lebih dari seharusnya. Pekerjaan yang lebih dari seharusnya ini menghasilkan adanya pandangan bahwa bekerja dibawah rata-rata jam kerja menjadi suatu hal yang buruk. Lebih buruknya lagi, hal ini dijadikan motivasi bekerja yang seakan toxic bila dibiasakan (Perić, 2024).
ADVERTISEMENT
Adanya hustle culture ini kurang lebih banyak mengakibatkan burnout dan stress secara tidak langsung. Badan dan pikiran yang akhirnya digunakan untuk bekerja terus menerus ini merasa kelelahan karena harus memenuhi ekspetasi yang berasal dari lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar ini tidak hanya berbentuk lingkungan secara fisik, akan tetapi melalui lingkungan dunia maya juga. Dalam hal ini, media sosial banyak berkontribusi dalam terbentuknya hustle culture.” Some people work to life, some people life to work” adalah frasa yang mampu menggambarkan bahwa adanya garis tipis antara bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja. Adanya batas tipis antara bekerja ini menjadi hal yang seringkali miris karena seakan-akan melupakann kehidupan yang seharusnya tidak hanya bekerja, melainkan untuk hidup di dalam kehidupan itu sendiri (Absher, 2020).
ADVERTISEMENT
Generasi Z menjadi salah satu generasi yang terlihat mulai untuk indikator dari hustle culture. Ini dimulai pada saat pandemi Covid-19 yang melanda secara global, hal ini tentunya mengakibatkan semua orang harus bekerja baik dalam posisi daring. Posisi daring ini memudahkan bagaimana generasi Z mampu untuk membagi pekerjaan utamanya dengan pekerjaan lain yang dianggap bisa untuk menambah penghasilan. Akan ada kecenderungan untuk orang-orang yang melakukan hustle culture untuk akhirnya melakukan pekerjaan utamanya sesuai bare minimum atau tidak melakukan hal yang berlebih untuk akhirnya dapat melakukan pekerjaan sampingan guna menambah penghasilan (Tselepis, n.d.).
Bagaimana akhirnya hustle culture yang sering dialami oleh Gen-Z ini mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari? Ada beberapa penelitian yang akhirnya menjelaskan bahwa Gen-Z memiliki kecenderungan untuk menjadi penyendiri dan lebih memilih untuk mengedepankan pekerjaannya. Hal ini dibuktikan dengan salah satu penelitian yang menyatakan bahwa generasi Z ke bawah menghindari untuk mengonsumsi alkohol dan merasa lebih kesepian. Alkohol dalam konteks penelitian ini digunakan sebagai media untuk mendekatkan diri antar individu dengan individu yang lain. Namun, dengan adanya kecenderungan untuk mengurangi konsumsi alkohol, generasi Z memiliki kemungkinan untuk merasa lebih sendiri dan memfokuskan diri untuk hanya menghasilkan pendapatan. Ini dikarenakan mereka memiliki banyak opsi untuk melakukan hal yang lain selain bekerja, akan tetapi tidak adanya waktu untuk melakukan opsi-opsi tersebut. (Burgess et al., 2022)
ADVERTISEMENT
Sistem bekerja yang mengedepankan hustle culture ini bersifat masokis dan terkadang dapat menimbulkan rasa tidak peduli terhadap diri sendiri. Rasa tidak peduli terhadap diri sendiri ini ditunjukkan melalui bagaimana beban pekerjaan yang akhirnya terlalu banyak dan bertabrakan satu sama lain, mengakibatkan seseorang akan berusaha untuk menyelesaikan segala sesuatunya secara cepat dalam waktu yang bersamaan. Adanya kebiasaan untuk menyelesaikan segala hal dalam waktu yang bersamaan ini menghasilkan adanya anggapan bahwa produktif haruslah bersifat memiliki banyak pekerjaan dan melakukan pekerjaan dalam satu waktu yang sama. Padahal, hal yang disebut sebagai produktif ini tidak hanya memiliki arti untuk melakukan semua pekerjaan dalam waktu yang sama, melainkan mampu untuk membagi waktu antara diri sendiri dengan segala pekerjaan yang akhirnya dilakukan (Casali, 2022).
ADVERTISEMENT
Tentu penting bagi kita untuk memahami lebih lanjut mengenai kenapa hustle culture bisa dinormalisasi di lingkungan kita. Pertama, faktor penggunaan media sosial yang menjadikan seseorang merasa harus memiliki standar yang sesuai dengan yang ada di media sosial. Hal ini diakibatkan adanya influencer yang selalu memperlihatkan keseharian mereka yang penuh dengan kesibukan dan akhirnya mempengaruhi pola pikir penontonnya untuk mengikuti kebiasaan yang dimiliki oleh influencer. Kedua, adanya kesadaran bahwa akhirnya memang ada standar yang tinggi bahkan di dunia kerja yang akhirnya mempersulit semua orang untuk mendapatkan penghasilan yang sesuai. Karena hal ini, seseorang akhirnya sangat termotivasi untuk memiliki banyak pekerjaan dan juga produktivitas agar akhirnya memiliki penghasilan yang cukup dan dapat bersenang-senang di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya hustle culture, ada beberapa hal yang perlu direfleksikan. Beberapa diantaranya adalah bagaimana masyarakat sudah dibentuk untuk selalu bekerja di kemudian harinya dan ditempa untuk selalu menghasilkan penghasilan. Hal ini tentunya memang umum bagi semua orang untuk menginginkan penghasilan, akan tetapi hidup untuk bekerja sepertinya sudah mengakar terlalu dalam di pemikiran masyarakat yang menjadikan sistem bekerja yang tidak sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Absher, E. (2020). What You Love is Killing You: Stopping Hustle Culture in the Performing Arts. Texas State University, May, 1–36. https://digital.library.txstate.edu/handle/10877/12095?show=full
Burgess, A., Yeomans, H., & Fenton, L. (2022). ‘More options…less time’ in the ‘hustle culture’ of ‘generation sensible’: Individualization and drinking decline among twenty-first century young adults. British Journal of Sociology, 73(4), 903–918. https://doi.org/10.1111/1468-4446.12964
ADVERTISEMENT
Casali, E. (2022). Disrupting Hustle Culture : An explorative research project addressing the question, “what does it mean to be productive?”. 23.
Perić, N. (2024). Hustle Culture and Mental Health. 104–116.
Tselepis, T. (n.d.). Making Work or Making it Work : Generation Z Redefines the Hustle Culture. 1–20.