Konten dari Pengguna

Fenomena Paslon Tunggal dalam Pilkada: Ancaman Demokrasi di Tingkat Lokal

Abira Massi Armond
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia
18 Agustus 2024 13:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abira Massi Armond tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pilkada serentak akan kembali digelar dalam waktu dekat. Namun, alih-alih menampilkan persaingan politik yang kompetitif, fenomena pasangan calon (paslon) tunggal diprediksi kian meningkat pada Pilkada 2024 nanti. Tanpa kompetisi yang sehat, proses pilkada dengan paslon tunggal melawan kotak kosong hanya menjadi sekadar formalitas dan pertunjukan belaka. Demokrasi kehilangan esensi, sehingga menjadi peringatan bagi masa depan demokrasi tingkat lokal di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejak pertama kali muncul dalam Pilkada 2015, jumlah daerah yang menggelar pilkada dengan paslon tunggal terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Kompas, pada Pilkada 2015, hanya tiga daerah yang menggelar pilkada dengan paslon tunggal. Angka ini meningkat menjadi sembilan daerah pada Pilkada 2017, 16 daerah pada Pilkada 2018, dan terakhir mencapai 25 daerah pada Pilkada 2020. Tren ini tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan, dan pada Pilkada 2024 mendatang, jumlah paslon tunggal diprediksi akan semakin meningkat.
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
Fenomena melawan kotak kosong ini merupakan konsekuensi dari strategi pemenangan politik. Banyak partai politik memilih untuk berkoalisi dan mengusung satu calon yang dianggap paling berpeluang untuk menang, sehingga menghalangi munculnya calon alternatif.
Strategi ini dianggap cukup berhasil dan hampir terjamin dalam memenangkan pemilu, mengingat hanya satu kasus, yaitu pemilihan wali kota Makassar pada 2018, paslon tunggal yang kalah melawan kotak kosong di Indonesia.
ADVERTISEMENT

Fenomena Paslon Tunggal: Tanda Kelemahan Demokrasi

Paslon tunggal dalam pilkada memberi sinyal bahwa demokrasi di tingkat lokal sedang tidak baik-baik saja. Dalam sebuah sistem demokrasi yang sehat, hadirnya lebih dari satu paslon saat pilkada menandakan bukti bahwa proses demokrasi berjalan dengan baik—masyarakat diberikan pilihan alternatif yang mewakili berbagai kepentingan. Namun, ketika hanya satu paslon saja yang berkontestasi, esensi berdemokrasi dalam pilkada menjadi kabur.
Tanpa lawan yang kompetitif, paslon tunggal dengan mudahnya “menang” hanya melalui proses pemilihan yang bersifat teknis. Pada masa yang akan mendatang, hal ini akan menimbulkan pertanyaan besar mengenai legitimasi pemimpin tersebut. Bagaimana masyarakat bisa merasa suaranya berharga jika mereka tidak diberikan kesempatan untuk memilih? Adapun legitimasi yang dipertanyakan bisa menimbulkan permasalahan kepercayaan terhadap pemerintahan yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT

Dampak Jangka Panjang Paslon Tunggal bagi Demokrasi Lokal

Salah satu penyebab utama hadirnya paslon tunggal pada pilkada adalah dominasi partai politik besar yang cenderung membentuk koalisi untuk mengamankan kekuasaan. Dalam banyak kasus, partai-partai bergabung dan menyepakati satu calon yang dianggap memiliki peluang menang paling besar, serta berusaha untuk ‘menghalangi’ munculnya calon-calon alternatif.
Sementara itu, partai-partai kecil dan calon independen sering kali terkendala oleh berbagai persyaratan administratif dan finansial yang memberatkan, sehingga menghambat mereka untuk maju dalam kontestasi.
Photo by Louis Hansel on Unsplash
Fenomena seperti ini tidak boleh dianggap remeh. Jika terus dibiarkan, esensi berdemokrasi dapat merosot kian tajam. Ketika masyarakat terus-menerus disuguhkan pemilihan tanpa pilihan, mereka akan mulai meragukan efektivitas proses demokrasi, yang bisa mengarah pada political indifferentism, atau kecuekan politik, seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx (1847).
ADVERTISEMENT
Efeknya, partisipasi pemilih dapat menurun drastis, karena pemilih merasa suaranya tak lagi berarti dan menganggap kompetisi demokrasi tak lagi penting.
Pemimpin yang terpilih tanpa kompetisi serius mungkin kurang merasa bertanggung jawab kepada masyarakat. Tanpa adanya tantangan politik yang signifikan, ada kans risiko bahwa mereka akan memerintah dengan lebih otoriter dan kurang transparan, sehingga membuatnya rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang lebih masif. Hal ini tentu akan berdampak negatif pada kualitas pelayanan publik dan akuntabilitas pemerintah, khususnya di tingkat lokal.

Mencari Solusi untuk Menjaga Demokrasi Lokal

Untuk mencegah dampak buruk ini, pemerintah memerlukan langkah strategis, salah satunya adalah dengan melakukan reformasi regulasi sistem pemilihan agar mendorong lebih banyak kandidat untuk maju. Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk memudahkan dalam hal administratif dan finansial bagi calon independen dan partai kecil, sehingga mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi.
Photo by Parker Johnson on Unsplash
Pada akhirnya, inti dari berdemokrasi dalam pilkada adalah tentang pilihan. Tanpa pilihan, pilkada akan kehilangan maknanya. Fenomena paslon tunggal dalam pilkada di Indonesia adalah ancaman yang nyata bagi masa depan demokrasi lokal.
ADVERTISEMENT
Jika kita tidak segera mengambil langkah untuk mengatasinya, kita berisiko merusak struktur politik yang seharusnya menjadi fondasi kuat bagi pemerintahan yang adil dan transparan di daerah-daerah kita. Oleh karena itu, mari menjaga demokrasi agar tetap hidup, bukan hanya sebagai ‘ritual’ lima tahunan, tetapi sebagai proses yang benar-benar mencerminkan aspirasi dan kehendak masyarakat.