Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Meninjau Dasar Hukum Adat di Indonesia: Perlukah Perbaikan?
11 April 2025 13:58 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Abiyyu Rafif Salman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hukum adat adalah sistem hukum yang tidak tertulis, bersumber dari kebiasaan masyarakat, dan berlaku di suatu wilayah atau negara. Hukum adat juga disebut hukum kebiasaan. Berbeda dengan hukum positif yang terkodifikasi, Hukum adat memiliki ciri khas, yaitu tidak tertulis, tidak dikodifikasi, tidak tersusun secara sistematis, dan berakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat. Hukum adat merupakan hukum yang hidup di dalam Masyarakat dan menjadi pedoman hidup bagi mereka. Hukum adat berasal dari kebiasaan hidup Masyarakat adat sehingga hukum adat diyakini sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, konflik yang melibatkan masyarakat adat kembali mencuat. Di Rempang, batam, sekelompok warga adat terlibat sengketa tanah leluhur yang kini dikuasai perusahaan asing. Sementara di Kalimantan, masyarakat adat Dayak berselisih dengan perusahaan perkebunan sawit yang dituding menyerobot lahan adat tanpa izin.
Fenomena seperti ini bukan hal baru. Namun yang menjadi perhatian, intensitas konflik hukum adat justru makin meluas dalam beberapa tahun terakhir. Melansir datri tempo, menurut data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hingga bulan maret saja, sudah terdapat 110 konflik yang melibatkan masyarakat adat. Selain itu, berdasarkan laporan akhir tahun yang mereka rilis pada tahun 2023, AMAN menyatakan bahwa terdapat 2.578.073 Ha tanah/wilayah adat yang dirampas, 247 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi, serta 204 orang mengalami luka-luka dalam konflik hukum adat. Hukum adat yang seharusnya menjadi penopang kearifan lokal, kerap kali tersisih oleh hukum positif yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai adat.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah peraturan yang ada sudah cukup melindungi hak-hak masyarakat adat? ataukah negara perlu kembali meninjau dan memperbaiki kebijakan agar hukum adat mendapat tempat yang semestinya dalam sistem hukum nasional?
Penulis berpendapat, konflik antara hukum adat dan hukum negara bukan sekadar soal siapa yang benardan siapa yang salah, tapi lebih pada ketidakharmonisan dua sistem hukum yang berjalan berdampingan. Di banyak wilayah Indonesia, masyarakat adat memiliki aturan tersendiri yang sudah dijalankan turun-temurun, terutama soal pengelolaan tanah, hutan, dan sumber daya alam. Namun dalam praktiknya, aturan adat ini kerap kali tidak diakui secara formal oleh negara dan bahkan bertentangan dengan aturan yang ada.
Salah satu penyebab utama konflik adalah tumpang tindih klaim atas tanah. Banyak wilayah adat belum memiliki pengakuan hukum yang kuat dalam bentuk sertifikat atau dokumen resmi. Ketika wilayah tersebut masuk dalam proyek pembangunan, konsesi tambang, atau izin perusahaan, masyarakat adat sering kali dianggap tidak memiliki dasar hukum yang sah untuk mempertahankan tanahnya. Selain itu, kemunculan proyek strategis nasional (psn) yang dianggap memiliki kekuatan hukum yang besar seringkali seolah menggeser hak-hak adat, seperti di rempang misalnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perubahan sosial dan ekonomi turut memperbesar potensi konflik. Masuknya investor ke wilayah adat membawa perubahan yang tidak selalu diterima oleh masyarakat setempat. Di sisi lain, sebagian generasi muda adat mulai meninggalkan nilai-nilai lama, membuat posisi masyarakat adat semakin terkikis, dan penyelesaian konflik secara adat menjadi semakin sulit dilakukan.
Faktor lain yang memperparah situasi adalah lemahnya pemetaan wilayah adat dan minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 melalui Pasal 18B Ayat (2) secara eksplisit mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Sayangnya, pengakuan ini belum sepenuhnya terimplementasi dalam regulasi turunannya. Tanpa kejelasan hukum dan perlindungan yang kuat, konflik demi konflik terus bermunculan dan sering kali masyarakat adat lah yang berada di posisi yang dirugikan.
ADVERTISEMENT
Konflik-konflik adat ini dapat berujung pada munculnya ketidakpastian, lebih tepatnya ketidakpastian hukum. Ada ketidakpastian yang harus dihadapi masyarakat adat, bukan hanya soal nasib tanah atau hutan yang mereka kelola selama puluhan bahkan ratusan tahun, tetapi juga soal masa depan identitas, budaya, dan keberlanjutan hidup mereka sendiri.
Ketika wilayah adat tidak memiliki dasar hukum yang diakui secara formal, masyarakat adat hidup dalam keadaan yang rentan. Mereka bisa sewaktu-waktu digusur, kehilangan akses terhadap sumber daya alam, atau bahkan dikriminalisasi saat mempertahankan haknya. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, posisi masyarakat adat dalam sistem hukum nasional menjadi sangat lemah.
Ketidakpastian ini tidak hanya menciptakan rasa ketidakadilan, tapi juga memperlebar jurang antara negara dan masyarakat adat. Banyak masyarakat adat yang merasa tidak didengar, tidak dilibatkan, dan tidak dihargai dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut tanah dan wilayah hidup mereka. Akibatnya, kepercayaan terhadap negara pun perlahan-lahan menghilang. Hal ini dapat berdampak serius di masa depan, hilangnya kepercayaan terhadap negara berpotensi memunculkan konflik yang lebih besar lagi, bahkan berujung pada konflik bersenjata, seperti yang terjadi di aceh atau papua.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, konflik hukum adat yang tidak segera diselesaikan berpotensi menjadi konflik berkepanjangan yang merugikan semua pihak. Bagi masyarakat adat, ini berarti kehilangan ruang hidup dan budaya. Bagi pemerintah, ini bisa memicu ketidakstabilan, baik di bidang kemanan hingga ke bidang ekonomi. Bagi pelaku usaha, konflik berarti ketidakpastian investasi dan risiko gangguan operasional yang tinggi.
Penyelesaian konflik hukum adat tidak cukup hanya dengan mediasi atau pendekatan keamanan. Diperlukan kepastian hukum yang adil, yang mengakui keberadaan hukum adat secara substansial, bukan sekadar simbolik. Tanpa itu, konflik akan terus muncul dan masyarakat adat akan terus berada di ujung tanduk.
Melihat kondisi yang demikian, salah satu solusi yang banyak disoroti adalah perlunya revisi terhadap regulasi yang selama ini belum mampu mengakomodasi keberadaan hukum adat secara utuh. Saat ini, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat memang tercantum dalam beberapa aturan, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18B hingga peraturan Menteri ataupun peraturan daerah. Akan tetapi, pada kenyataannya, produk hukum yang menjadi dasar hukum adat hanyalah sebatas UUD dan peraturan Menteri saja. Padahal, sejatinya pasal dalam UUD tersebut perlu diturunkan dalam undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya. Meski sudah terdapat beberapa peraturan daerah yang mengatur tentang hukum adat, penulis merasa peraturan daerah tidaklah cukup untuk mengatasi berbagai permaslahan hukum adat yang ada. Hal ini disebabkan keterbatasan kewenangan yang dimiliki peraturan daerah. Peraturan daerah hanya mencakup daerah(baik provinsi maupun kabupaten/kota) tempat ia dibuat saja dan tidak berlaku secara nasional, sehingga masih banyak daerah yang tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat dalam menjalankan hukum adat. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah perlu membuat suatu UU yang secara khusus mengatur tentang hukum adat secara lengkap, baik dasar berlakunya maupun hal-hal yang terkait dengan hukum adat
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi sangat krusial. Negara tidak hanya bertugas membuat aturan, tetapi juga memastikan bahwa aturan tersebut berpihak pada kepentingan masyarakat adat, bukan hanya kepentingan negara saja. Pemerintah pusat dan daerah perlu hadir secara aktif, tidak hanya saat konflik meledak, tetapi sejak tahap awal pengambilan keputusan. Keterlibatan masyarakat adat dalam proses penyusunan kebijakan harus dilakukan.
Lebih jauh, pemerintah juga perlu membangun mekanisme penyelesaian sengketa yang berfokus pada nilai-nilai adat. Pendekatan yang dilakukan selama ini seringkali hanya berfokus pada ekonomi saja, pemerintah seolah menganggap hak hak msayarakat adat dapat terpenuhi hanya dengan melakukan ganti rugi ketika terjadi penggusuran masyarakat adat dari tanah adat. padahal, duduk permasalahan konflik yang terjadi bukan hanya sekedar tempat tinggal saja, namun nilai sejarah, nilai budaya, dan lainnya juga terdapat didalamnya. Dengan menggunakan pendekatan yang lebih luas dalam menyelesaikan sengketa , potensi konflik hukum adat bisa ditekan dan diminimalisir.
ADVERTISEMENT