Konten dari Pengguna

Mengapa KPK Harus Tolak Intervensi Wiranto

Abraham Samad
Ketua KPK 2011-2015
14 Maret 2018 14:34 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abraham Samad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung KPK. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung KPK. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Saya menilai, sudah tepat KPK menolak permintaan Menkopolhukam Wiranto untuk menunda pengumuman calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Jika meluluskan permintaan lembaga negara lain, KPK bisa diartikan memperlambat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jabatan yang melekat pada Pak Wiranto adalah Menkopolhukam. Jadi, permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah yang terlibat korupsi itu sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK yang merupakan lembaga independen. Jangankan kementrian, Presiden pun tidak bisa mengintervensi KPK.
Dalam sistem tata negara, KPK ditempatkan sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi, termasuk korupsi yang dilakukan di sejumlah daerah yang melibatkan calon kepala daerah petahana atau yang bukan petahana.
Saya dapat memahami, apa yang disampaikan Wiranto secara substantif bermuatan positif, yakni dalam penyelanggaraan Pilkada di 171 daerah agar tidak menimbulkan kegaduhan. Pengumuman calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diduga dapat mempengaruhi tahapan pilkada serentak dan pilihan rakyat terhadap calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
Namun demikian saya pikir, kalaupun KPK meluluskan permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka, maka dampak yang ditimbulkan atas penundaan itu tidaklah kecil dan bahkan semakin buruk.
Kalau seorang kepala daerah yang semula sudah dilakukan pengusutan terhadap kasus korupsi tapi kemudian ditunda karena adanya permintaan, setelah selesainya pilkada dan dilantik menjadi kepala daerah, persoalan akan kembali muncul.
Selain merugikan biaya, waktu, dan tenaga untuk menyelenggarakan Pilkada, hal itu juga merugikan rakyat pemilih yang tidak percaya lagi pemimpinnya sendiri karena mereka merasa dipimpin oleh kepala daerah yang korup.
Namun, dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, permintaan Wiranto tetaplah dapat dikategorikan intervensi terhadap tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga independen yang bertugas melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Jadi KPK tidak perlu menanggapi permintaan Pak Wiranto itu. Syukur kalau malah menolaknya secara tegas.
Tugas dan kewenangan KPK adalah mengusut tindakan korupsi yang dilakukan siapa saja dan menindak kapan saja. Kerja KPK tidak boleh batasi ruang dan waktu, bahkan tidak boleh dihentikan karena adanya intervensi dari pihak manapun, bahkan dari Presiden RI sekalipun.
Data dan fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan adanya aliran dana mencurigakan yang diduga digunakan terkait Pilkada Serentak 2018, di mana PPATK mencatat 53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai puluhan miliaran rupiah. Sedang perihal aliran dana yang terkait peserta pilkada tercatat 368 transaksi mencurigakan dan yang sudah ada hasil analisanya sebanyak 34 laporan.
ADVERTISEMENT
Bahayanya jika KPK tunduk pada intervensi sebagaimana yang dilakukan Wiranto, kasus-kasus yang melibatkan calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi bisa berjalan di tempat, bahkan alat-alat bukti terhadap kasus tersebut bisa hilang atau sengaja dihilangkan untuk menghapus jejak.
Jika tunduk kepada keinginan Pak Wiranto itu, KPK bisa ditafsirkan sebagai memberi toleransi terhadap kejahatan korupsi oleh KPK itu sendiri. Atau paling tidak dikategorikan sebagai upaya pembiaran terhadap terjadinya kejahatan korupsi.
Jadi teman-teman komisioner KPK harus tetap menjaga marwah dan kredibilitas KPK sebagai lembaga independen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Jangan terpengaruh intervensi lembaga negara lain.
Jakarta, 14 Maret 2018