Konten dari Pengguna

Sudah Saatnya Pemerintah Berantas Kapitalisme Kroni

Abraham Samad
Ketua KPK 2011-2015
9 Maret 2018 11:00 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abraham Samad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi uang rupiah. (Foto: REUTERS/Thomas White)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi uang rupiah. (Foto: REUTERS/Thomas White)
ADVERTISEMENT
Ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi nasional sudah mencapai taraf mengkhawatirkan dengan angka mencapai 49,3 persen. Ironisnya, 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 49 persen total kekayaan negara. Terciptanya segelintir orang kaya di Indonesia tak lepas dari lemahnya pemerintah dalam memberantas kapitalisme kroni atau “Crony Capitalism”.
ADVERTISEMENT
Jangan tunda-tunda lagi, sudah saatnya Pak Jokowi, Presiden kita, menghapus ketimpangan dan kesenjangan ekonomi ini dengan tidak lagi menggelar karpet merah kepada segelintir konglomerat yang menguasai hampir setengah total kekayaan negara kita.
Jokowi dan Abraham Samad (Foto: Dok. Biro Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Abraham Samad (Foto: Dok. Biro Setpres)
Mengutip angka yang pernah dikeluarkan World Bank di mana lembaga itu menempatkan Indonesia pada peringkat 7 “Crony Capitalism” paling tinggi di dunia, hampir dua pertiga harta kekayaan konglomerat Indonesia didapat dari hasil bisnis yang terkolaborasi dengan penguasa.
Kapitalisme kroni atau “Crony Capitalism” merupakan istilah di dunia ekonomi untuk menyebut harta kekayaan konglomerat yang kesuksesan bisnisnya didapat dari kolaborasi atau hubungan dekat antara pengusaha dan penguasa.
Pertumbuhan ekonomi yang diklaim pemerintah itu sebenarnya hanya dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya di Indonesia, sedangkan penduduk di level bawah tidak mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi ini.
ADVERTISEMENT
Abraham mengemukakan data yang juga hasil riset Word Bank di mana 304 perusahaan besar di Indonesia menguasai 26 juta hektar konsesi hutan. Ia membandingkan dengan 23,7 juta petani Indonesia yang memiliki luas tanah lebih kecil dibanding yang dimiliki para konglomerat, yakni 21,5 juta hektare lahan.
Fokus pemerintah seharusnya ditujukan kepada ketersedian lahan bagi petani yang tidak memiliki lahan pertanian atau perkebunan yang bisa mereka garap,agar terjadi distribusi pemerataan pengelolan kekayaan alam.
Ditengarai masih tumbuh suburnya kapitalisme kroni di Indonesia tidak lepas dari perilaku koruptif selain rendahnya integritas atau moralitas bangsa.
Pemberian konsesi dan fasilitas luar biasa terhadap konglomerat, tidak lepas dari faktor kesejarahan di mana pada masa lalu konsesi lahan hanya diberikan kepada kroni-kroni penguasa. Demikian juga kesempatan dalam mengelola kekayaan alam selalu jatuh kepada orang dekat, kerabat dan kroni penguasa.
ADVERTISEMENT
Akibatnya ketika rezim berganti, konsesi lahan masih dimiliki konglomerat besar karena masa konsensinya belum habis. Di sisi lain, eksploitasi sumber daya alam yang terbatas mengakibatkan kerusakan lingkungan parah.
Tetapi jika ada kemauan politik dari pemerintah, regulasi pemberian konsensi itu bisa saja ditinjau-ulang melalui regulasi baru. Selain itu, pemerintah bisa menciptakan garapan baru bagi tiga belas juta petani yang belum memiliki lahan ini.
Jakarta, 9 Maret 2018