Konten dari Pengguna

Cerita dari Bener: Memorie van KKN

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
22 April 2025 12:31 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa KKN UNNES GIAT 11 Desa Bener kala survey lokasi posko di rumah Pak Carik. (Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa KKN UNNES GIAT 11 Desa Bener kala survey lokasi posko di rumah Pak Carik. (Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Pertama kali mendengar kata KKN atau Kuliah Kerja Nyata, yang aku pikirkan adalah kesuraman. Aku selalu merasa bahwa ini adalah hal yang merepotkan. Karena aku ini mahasiswa Ilmu Sejarah, lantas mengapa turut ikut serta dalam program KKN GIAT 11 UNNES? Sungguh tidak masuk akal. Rasanya ingin ku lempar laptop di depan wajahku yang tengah membuka laman MBKM demi mendaftar KKN. Namun, hidup harus terus berjalan. KKN adalah syarat lulus bagi Universitas yang terbelakang ini. Mau tidak mau ku tekan tombol daftar dan memasukkan identitas diri di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, aku masih liburan semester di rumah, di Cileungsi. Masih menikmati rasa sejuk dari penatnya mengerjakan seminar proposal yang kurasa masih harus disempurnakan lagi. Kabar KKN merusak rencana liburanku di rumah. Akan tetapi, kucoba lawan pikiran seperti itu. Ayolah, itu tidak seburuk penari. Kamu bisa selamat jika kamu bisa beradaptasi. Namun, aku ini tidak terbiasa dengan kehidupan desa. Lahir di Tanjung Priok, Jakarta Utara dan besar di lingkungan heterogen Cileungsi membuat sikapku sangat individualis. Berbeda dengan desa, pasti memiliki lingkungan yang homogen, yang sangat berlawanan dari individualisme. Juga, aku ini tidak bisa berbahasa Jawa. Kota Semarang yang kosmopolitan mungkin masih memperkenankanku untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai lingua franca, tetapi desa di Jawa Tengah itu masih kental dengan budaya Jawanya.
Situasi di depan posko KKN Desa Bener, terdapat masjid yang terletak persis di depannya memudahkan kami untuk urusan ibadah. (Dokumen Pribadi)
Beralih ketika momen pemilihan desa, aku sempat survei beberapa lokasi di Google Maps. Yang jelas, desa pilihanku harus memiliki fasilitas yang baik atau setidaknya dekat dari kampus. Bandungan, Ungaran, dan Mijen adalah yang terdekat. Aku mau satu dari ketiga lokasi itu. Sayangnya kemauan itu sirna. Semua lokasi strategis yang berada di dekat kampus telah kosong. Hanya sisa Tengaran, Susukan, dan Klaten. Tidak akan aku pilih Klaten karena itu yang terjauh. Tersisa dua opsi, Tengaran dan Susukan. Secara geografis, Tengaran jauh lebih terjangkau sehingga aku menaruh mataku di opsi Tengaran. Namun, secara tidak sengaja aku memilih satu desa yang urutannya berada di posisi atas. Desa Bener.
ADVERTISEMENT
Aku belum sempat melihat-lihat lingkungannya dari Google Maps. Panik dan gelisah. Takut bahwasannya desa ini tergolong plosok. Takdir memintaku untuk mengurus Desa Bener. Yang terburuk adalah kelompok KKN-ku beranggotakan 11 orang dengan hanya 2 laki-laki di dalamnya, ditambah aku ditunjuk sistem sebagai Kormades mereka. Benar-benar kacau.
Beberapa minggu setelahnya, pembekalan dari Pusbang KKN UNNES pada tanggal 24 Januari dimulai. Aku bertemu dengan teman-teman sekelompokku. Biar ku absen satu-satu. Pertama-tama, aku akan memanggil sekretarisku. Mereka adalah Pudya (Matematika) dan Santy (PNF). Berikutnya ada bendahara. Ia adalah teman satu jurusanku. Namanya Najwa (Ilmu Sejarah). Selanjutnya adalah pekerjaan terpenting sebagai penyambung lidah rakyat, yakni Humas yang diisi oleh Annisa (PNF). Tak lupa divisi punggawa yang bekerja seperti infanteri yakni Publikasi Dokumentasi atau Pubdok yang beranggotakan 4 orang, yakni Slivi (PNF), Aulia (Bimbingan Konseling), Fiki (Psikologi), dan Ayu (Matematika). Dan terakhir tidak lupa dengan divisi Logistik yang beranggotakan Ica (Psikologi) dan Arief (Psikologi), satu-satunya teman laki-lakiku. Dosen pembimbing kami bernama Pak Hafiz dari prodi PKN, FISIP.
ADVERTISEMENT
Tidak ada kesan yang begitu besar ketika pertama kali bertemu mereka. Mungkin karena sikap individualis ini masih meronta-ronta dalam pikiranku. Pertemuan pertama kami di pembekalan menghasilkan satu keputusan untuk survei posko KKN pada hari Minggu, 26 Januari.
Survey Posko
Mahasiswa KKN Desa Bener berfoto bersama Mbah Putri, Ibu Pak Carik. (Dokumen Pribadi)
Minggu pagi. Hari yang cukup cerah untuk survei lokasi menuju Desa Bener. Perjalanan dari UNNES menuju Bener sekitar satu jam lebih sedikit. Informasi terbaru adalah bahwa Pak Lurah Bener, Pak Saefudin Beni, tidak bisa menampung kami di dekat rumahnya sehingga kami dialihkan ke rumah Pak Carik (Sekretaris Desa). Jujur, ini pertama kalinya aku mendengar kata Carik. Di Jakarta tidak ada istilah carik. Hanya Sekdes. Namun, itu berarti aku dan rekan-rekanku akan beradaptasi dan tinggal di rumah Pak Carik beserta keluarganya selama 2 bulan kedepan.
ADVERTISEMENT
Perjalanan menuju Bener tidak mengalami kendala. Kami sampai dengan selamat di Rumah Pak Carik. Kesan pertamaku ketika sampai di Bener adalah, “Tidak seburuk itu”. Desa ini terletak di dekat Kota Salatiga. Secara fasilitas sangat terpenuhi. Desa yang terbagi menjadi 6 dusun ini bersifat sebagai desa semikota. Aku terselamatkan. Namun, rumah Pak Carik yang berada di Dusun Cebongan mengubah perspektifku. Cebongan menjadi satu-satunya dusun yang terletak cukup plosok dibanding 5 dusun lainnya.
Sesampainya di rumah Pak Carik, seseorang dengan rambut tipis dengan kemeja polo dan rokok di tangannya muncul di hadapan kami. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Aries Wibowo, Carik Desa Bener. Wajahnya humoris dan memang sifatnya sesuai dengan wajahnya. Pak Carik berbincang-bincang dengan kami. Terutama tujuan kami pagi itu adalah menanyakan seputar posko. Beliau bilang bahwa kami boleh tinggal di rumah Mbah, orang tua Pak Carik yang terletak di sebelah persis rumahnya.
ADVERTISEMENT
Pak Carik dengan ramah menyatakan bahwa kami tidak perlu mengeluarkan sepeserpun untuk membayar biaya tinggal. Kami dibiarkan tinggal di rumah Mbah secara cuma-cuma. Tak lama setelahnya, Mbak Ana, istri Pak Carik datang dan menyambut kami dengan senyumnya. Dirinya diikuti oleh kedua buah hati pasangan itu yang masih berumur sangat muda. Kedua-duanya laki-laki, kurasa. Namun, si kakak mengapa mengenakan anting ya?
Mahasiswa KKN Desa Bener bersama Keluarga Pak Carik. (Dokumen Pribadi)
Setelahnya, kami dipersilakan untuk melihat-lihat rumah Mbah, dipandu langsung oleh Mbah Putri sementara Mbah Kakung berada di kamarnya karena kondisi kesehatan. Rumah klasik ala Jawa yang indah. Kamar mandinya ada dua, tapi yang satu hanya dikhususkan bagi Mbah. Kami bisa mengakses kamar mandi Pak Carik bila mengantre di kamar mandi Mbah. Sejenak setelah melihat-lihat, kami bertemu dengan Mas Febi, keponakan Mbah dan sepupu Pak Carik yang usianya hanya terpaut 6 tahun dari rata-rata usia kami.
ADVERTISEMENT
Mas Febi adalah manusia yang sangat dibutuhkan oleh seluruh Desa Bener. Rasanya satu desa mengenal pribadi Mas Febi karena keaktifannya dalam membangun desa. Mas Febi akan menjadi teman terdekat kami selama KKN dan sebagai pribadi yang mengasyikkan bahkan senantiasa mengajak kami berjalan-jalan.
Secara mendadak, Pak Carik mengajak kami untuk makan Mi Ayam bersama di siang harinya. Beliau yang mentraktir kami. Sungguh baik sekali sekdes yang satu ini. Kesanku kembali menjadi positif karena kebaikan dan keramahannya yang humoris. Di agenda makan siang ini juga yang membuatku mengenal kedua anak Pak Carik. Yang kecil masih duduk di bangku kelas 3 SD, bernama Firaz dan yang satunya, aku salah menebak, dia adalah seorang anak perempuan bernama Vanessa yang baru menginjak kursi SMP.
ADVERTISEMENT
Bagaimana aku tidak mengira bahwa Vanessa adalah laki-laki karena potongan rambutnya yang sangat pendek dan pakaiannya yang terkesan sangat tomboi. Dia selalu mengenakan jersey Badminton di kehidupan sehari-harinya. Setelah nanti aku ketahui, bahwa Vanessa adalah seorang atlet Badminton yang sangat berprestasi. Firaz juga begitu tapi jejaknya masih sangat panjang.
Setelah makan siang, kami lantas berpamit undur diri untuk kembali ke UNNES. Kesanku untuk keluarga Pak Carik sudah sangat positif dan aku yakin kedepannya adalah petualangan tanpa batas. Aku yakin aku bisa betah tinggal di lingkungan Cebongan berkat aura positif Pak Carik dan keluarganya. Penerjunan KKN di mulai tanggal 30 Januari. Itu sebentar lagi. Aku harus mempersiapkan diri.
Keseharian Selama KKN
ADVERTISEMENT
Rapat Senenan bersama Perangkat Desa. (Dokumen Pribadi)
Tiba saatnya untuk penerjunan KKN. Aku tidak akan menceritakan secara detail karena aku sedang tidak menulis novel, hanya membagikan pengalaman dan transformasi pribadi kala memandang desa. Keberangkatan menuju Desa Bener terkendala hujan deras yang membuat kami beserta rombongan mahasiswa KKN lain kewalahan. Sesampainya di posko, kami langsung berbenah dan pada detik itu juga petualangan di Desa Bener dimulai.
Seperti yang harus dilakukan oleh semua mahasiswa KKN, kami mampir ke rumah Pak Lurah, Saefudin Beni dan masing-masing Kadus (Kepala Dusun) untuk sowan dan menanyakan informasi terkait kegiatan di desa seperti PKK, Posyandu, dan sebagainya. Tidak lupa sowan ke rumah Pak RT dari Dusun Cebongan dan tetangga di sekitar posko untuk meminta restu sekaligus menanyakan terkait informasi mengenai lingkungan dusun. Baik Pak Lurah maupun Kadus hingga tetangga sekitar sangat antusias dan berharap banyak dengan kedatangan mahasiswa KKN. Menjadi tanggungan juga pujian bagi kami semua.
ADVERTISEMENT
Selama menjalani KKN, aku mengalami transformasi psikologis dalam pikiran dan perbuatan. Mungkin lebih menerima dan memahami kultur dan cara kerja komunal ala desa. Menghapus segala jenis egoisme seperti yang Max Stirner suarakan. Membangun kembali gaya hidup kolektif seperti yang Bakunin kejar. Patuh dan ramah adalah kunci agar diterima di desa. Aku ikut serta dalam kerja bakti membersihkan sungai dan memasang tiang lampu jalan bersama warga. Momen ini yang membuatku menjadi lebih humanis karena bisa merasakan langsung kerja kolektif secara homogen.
Di sela-sela kerja bakti, Pak Carik mengeluarkan satu kutipan yang akan selalu kukenang dan berbunyi; “Brar, hidup tidak selalu soal materi, tetapi juga kebersamaan seperti ini”. Mungkin karena kutipan itu yang membuatku sangat mengagumi Carik Desa Bener. Kutipan yang merubah persepsiku soal kebersamaan dan merangsang hasratku untuk terus bekerja keras.
Ilustrasi tradisi Nyadran di Desa Bener. (Dokumen Pribadi)
Beberapa kebudayaan masih dan terus dihidupkan oleh masyarakat desa. Di antaranya adalah tradisi nyadran yang merupakan tradisi bersih makam secara serentak dalam menyambut Ramadan. Sebuah tradisi yang nampaknya sudah mati jika kita melihat keadaan kota-kota besar. Selain nyadran, beberapa tradisi sakral seperti malam selikuran juga menyelimuti kawasan desa yang umumnya berdekatan dengan wilayah Kasuhunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Tidak luput dengan Desa Bener yang masih merawat tradisi selikuran.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, terdapat makam Nyai Ageng Kebo Kanigoro di kawasan makam Cengklik yang merupakan sosok pengasuh dari Joko Tingkir, Raja pendiri Pajang. Tradisi yang cakupannya lebih besar dan selalu seremonial bagi Kabupaten Semarang yang melibatkan seluruh desa di masing-masing kecamatan adalah susuk wangan. Susuk wangan adalah proses pengambilan air di tiap-tiap mata air dan diarak ke seluruh desa melalui proses Kirab Merti Bumi Serasi sebagai bentuk seremonial menyambut ulang tahun Kabupaten Semarang.
Kegiatan aktif rutinan seperti PKK, Posyandu, Kumpulan Remaja, Ertenan merupakan ladang bagi penyuksesan proker kami. Banyak program kerja yang kami eksekusi bersama dengan kegiatan-kegiatan ini karena dapat meraih massa yang banyak. Di luar itu, kegiatan seperti Posyandu merupakan media yang wajib kita jalani dalam membantu menangani dan mengecek rutin kesehatan balita maupun lansia. Posyandu mengenalkanku terhadap hal-hal pengasuhan, Kumpulan Remaja dan Ertenan mengajarkanku soal berkomunikasi dengan masyarakat, PKK memperlihatkanku soal keguyuban dan kemajemukan ibu-ibu. Di luar itu, piket di balai desa juga menjadi aktifitas rutin yang bergilir di antara kami dalam membantu perangkat desa mengurus hal-hal administratif. Meski membosankan, banyak pengalaman selama menjadi orang “magang” di balai desa.
ADVERTISEMENT
Kami menghidupi diri dengan iuran untuk kegiatan proker dan masak bersama untuk makan. Beberapa kali mendapat berkat dari desa dan membuat kami bisa lebih berhemat. Sesekali juga makan di luar bila bosan dan bila situasi tidak memungkinkan untuk masak di posko. Melalui kegiatan masak bersama ini, aku jadi setidaknya bisa memahami cara memasak meskipun aku sadar betul bahwa aku ini beban ketika urusan memasak. Pasalnya aku tidak pernah mahir dalam melakukan hal tersebut. Kemahiranku hanya memuncak di bidang akademis saja. Pusbang KKN memang pelit. Mereka tidak memberikan sepeserpun untuk mendanai kami sementara proker yang dituntut kelewat banyak. Untung saja DPL kami, Pak Hafidz, cukup dermawan dalam menyisihkan dananya untuk menyukseskan proker.
Prosesi penyerahan buku "GKJTU Tugu dalam Pluralisme" di GKJTU Jemaat Tugu, Desa Bener. (Dokumen Pribadi)
Dalam kegiatan keagamaan, aku bersyukur jadi bisa lebih sering salat di Masjid jika dibandingkan dengan di rumah, meskipun pada beberapa minggu terakhir aku jadi jarang ke masjid. Beberapa acara kecil diadakan di masjid depan rumah Pak Carik seperti makan-makan selepas Salat Isya. Pondok Pesantren Al-Manaar yang terletak juga menjalin kerjasama dengan kami. Beberapa kali kami mengikuti agenda mereka seperti jalan pagi bersama dan pelepasan santri atau yang biasa disebut Haflah Akhirusannah.
ADVERTISEMENT
Kami juga mengajar TPQ kepada anak-anak setempat selama Ramadan. Yang membuatku cukup terganggu adalah maraknya kegiatan seperti selawatan yang menggunakan pengeras suara dengan bass yang cukup keras. Beberapa kali aku dada dan telingaku merasa sakit jika suara tersebut terdengar lebih keras. Ditambah aku juga tidak terbiasa dengan tarawih super ngebut 23 rakaat. Sebuah hal yang jarang terjadi di kehidupanku sebagai orang Muhammadiyah. Nyatanya kehidupan Nahdiyyin seperti itu ya.
Selain kegiatan keagamaan Islam, Desa Bener juga memiliki dusun dengan penduduk mayoritas Kristen yakni Tugu. Ada gereja yang bersinode kepada GKJTU (Gereja Kristen Jawa Tengah Utara). Proker individu yang kugarap adalah mengerjakan sebuah buku dengan tema pluralisme masyarakat Desa Bener melalui perspektif minoritas pemeluk Kristen di Tugu. Karena proker ini aku menjadi satu-satunya mahasiswa dari kelompok kami yang aktif mengunjungi gereja dan menyaksikan ibadah Minggu pagi demi bisa memahami ritus umat Kristiani.
ADVERTISEMENT
Kesanku terhadap jemaat Tugu sungguh positif. Mereka sangat menyambut baik mahasiswa KKN sekalipun kami semua Muslim. Aku tidak peduli itu disebut misionaris atau apapun, tapi kehidupan plural ini yang harus kita jaga. Tinggalkan sejarah kelam yang menyulut konflik antar agama kami. Justru bangunlah hubungan yang harmonis dari jejak sejarah itu.
Beberapa kali tidak ada kerjaan, aku biasanya lebih memilih untuk membaca buku di posko. Maraknya kegiatan di desa membuat rutinitas membacaku cukup terganggu. Bersyukur aku bisa menghabiskan 2 dari 3 buku yang kubawa selama 2 bulan itu. Membaca menurutku jauh lebih penting dibanding menghabiskan waktu untuk keluar bermain.
Aku juga gemar sesekali ke Salatiga untuk refreshing, tapi membaca itu adalah kewajiban. Selain itu, selagi senggang, juga menggarap proker yang melimpah. Beberapa kali aku juga menemani Mas Febi untuk mengantar dan menjemput Firaz dan Vanessa latihan Badminton. Pernah sekali dua kali aku menyaksikan Vanessa bertanding. Dirinya meraih podium pertama. Memang ada bakat yang bergairah dalam dirinya.
ADVERTISEMENT
Aku sungguh mengidolakan dia. Rekan-rekanku juga pasti sadar bahwa aku yang paling bersemangat jika ingin mengantar jemput Vanessa. Sekalipun aku jarang sekali berinteraksi dengannya. Dia memang gadis yang manis. Aku akan selalu mendoakannya sukses sebagai atlet. Firaz juga sama. Kelak dia akan menyusul bayang-bayang kakaknya dan meraih tempatnya sendiri di dunia.
Penyerahan sertifikat dalam prosesi penarikan mahasiswa KKN di Balai Desa Bener. Pak Lurah, Saefudin Beni menyerahkan sertifikat kepadaku selaku Kormades. (Dokumen Pribadi)
Dua bulan di Bener mengubah perspektifku soal desa. Mengajarkanku soal solidaritas dan praksis. Menyeimbangkan antara teori dan kerja nyata. Sedikit banyak membawaku pada “Turba” agar bisa melihat langsung realita sosial di desa. Tidak hanya dengan diskusi aktivisme di kedai kopi mahal, juga melihat langsung kondisinya. Di saat tiba waktu penarikan, jujur terasa berat meninggalkan Desa Bener. Banyak dari kami menangis. Aku menangis dalam hati saja. Mau bagaimanapun, KKN mengajarkanku soal ilmu bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Sebuah program yang awalnya sangat kubenci beralih menjadi kenangan layaknya kisah 1001 malam. Hingga ketika mengetik tulisan ini, aku masih merindukan suasana desa dan masyarakatnya. Terlebih dengan keluarga Pak Carik. Rindu akan suara keras Pak Carik, rindu akan guyonan Mas Febi, rindu akan nasihat Mbah, rindu dengan Firaz dan Vanessa. Mereka yang telah menerima kami dengan sangat baik hingga hari terakhir.
Pesan dariku satu bagi kalian yang mungkin hendak KKN. Jangan takut. Jangan ragu. Seberapa lamanya waktu KKN, itu tidak akan terasa, namun kenangannya tetap akan teringat. Setidaknya itu yang aku rasakan.