Jejak Pergerakan Nasional Lewat Tetralogi Buru

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
16 Juli 2023 17:42 WIB
·
waktu baca 15 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kumpulan koleksi novel Tetralogi Buru milik penulis (foto: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kumpulan koleksi novel Tetralogi Buru milik penulis (foto: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tentunya pembaca familiar dengan Bumi Manusia. Novel karangan sastrawan ternama, Pramoedya Ananta Toer itu mendapatkan adaptasi filmnya pada 2019 silam dengan aktor Iqbaal Ramadhan sebagai tokoh utamanya.
ADVERTISEMENT
Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu mendapat banyak pro dan kontra dari berbagai pihak khususnya dari penggemar karya-karya Pram. Mulai dari pemilihan cast yang tidak sesuai sampai dinilai tidak mirip dengan versi novelnya.
Apapun itu, penulis sendiri merasa bersyukur bahwa Bumi Manusia mendapatkan adaptasi film sehingga penulis bisa melihat visualisasi dari novel yang tebal itu. Dan karenanya, penulis jadi tertarik dalam membaca karya-karya Pram yang lain terutama sequel dari Bumi Manusia yakni Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Keempatnya tergabung dalam sebuah tetralogi yang diberi nama Tetralogi Buru. Kata Buru diambil dari Pulau Buru yang merupakan tempat dimana Pram menulis empat novel itu semasa pengasingannya akibat keterlibatannya dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), suatu organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.
Ilustrasi perempuan yang sedang membaca buku. (foto: pexels.com)
Penulis sudah membaca keempat buku Tetralogi Buru, dan penulis tidak heran mengapa novel-novel itu disebut juga sebagai magnum opus dari Pram. Tetralogi Buru mengambil latar di masa-masa menuju pergerakan nasional di negeri Hindia.
ADVERTISEMENT
Tokoh utama dari seri ini adalah seorang siswa brilian dari HBS Surabaya bernama Minke, yang juga merupakan gambaran akan fantasi Pram dari sosok Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo. Minke digambarkan sebagai sosok pribumi terpelajar yang dengan tegas menentang segala bentuk kolonialisme Belanda.
Kesadaran itu ia dapatkan sejak di umur yang sangat muda dan memuncak di masa keemasannya ketika ia mempelopori organisasi modern serta surat kabar ala pribumi yang pertama.
Berikut penulis jabarkan secara singkat soal kisah perjalanan Minke sejak periode Bumi Manusia, hingga kematiannya di periode Rumah Kaca.

Bumi Manusia (Romansa dan Awal Kesadaran)

Ilustrasi salah satu halaman dalam novel Bumi Manusia. (foto: dokumen pribadi)
Dalam novel pertama dalam seri Tetralogi Buru, digambarkan bahwa Minke di sini masih sangat muda dan masih mencari makna dalam kehidupannya. Ia dipertemukan dengan sebuah keluarga yang ia sebut aneh, yakni keluarga Mellema.
ADVERTISEMENT
Dari sini, Minke berkenalan dengan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya seperti Nyai Ontosoroh atau Sanikem dan Annelies Mellema, yang nantinya akan menjadi istri pertama Minke. Ia juga bertemu dengan sosok bernama Darsam, seorang Madura yang bertugas untuk menjaga keamanan keluarga Mellema.
Mereka semua adalah orang-orang baik yang akan mendukung Minke di kemudian hari. Terutama Nyai Ontosoroh yang terus memberikan dukungan moral kepada Minke hingga ia dewasa, dan Annelies yang mendukungnya dengan cara yang penuh romansa.
Minke sering bercengkrama dalam keluarga ini, bahkan ia sering menginap disana sampai-sampai ia kerap dirumorkan telah terperangkap oleh godaan seorang nyai.
Julukan nyai sendiri ditunjukkan kepada wanita pribumi yang digundik oleh pria Eropa totok secara tidak sah. Para Nyai sering dianggap sebagai wanita murahan dan tidak terpelajar, namun Nyai Ontosoroh merubah pandangan itu karena untuk pertama kalinya, Minke melihat seorang Nyai yang memiliki wawasan Eropa yang sangat luas.
ADVERTISEMENT
Sisi feodalisme juga terlihat dalam novel ini. Minke merupakan anak seorang Bupati dari sebuah kota berinisial B. Ayah Minke kerap memarahi anaknya jika ia sering berhubungan dengan keluarga Mellema terutama karena terdapat seorang gundik di sana.
Seluruh keluarga Minke berharap bahwa ia mau melanjutkan jejak ayahnya menjadi seorang Bupati, namun Minke merasa ogah. Ia merasa bahwa ia tidak sudi harus hidup di dunia di mana ia mengemis kepada gubermen Hindia dengan berjongkok dan bersembah. Itu melanggar prinsip kebebasannya.
Ilustrasi pria yang bebas sebagai gambaran Minke yang berjiwa bebas. (foto: pexels.com)
Konflik baru memanas ketika Herman Mellema, selaku pemimpin keluarga Mellema ditemukan tewas dalam sebuah rumah bordir. Anak tertua dari keluarga itu, Robert Mellema juga diketahui sering bermain dengan wanita Jepang bernama Maiko di sana. Persidangan lalu dibuka untuk memecahkan kasus ini melalui hukum kolonial.
ADVERTISEMENT
Persidangan tahap pertama memang berhasil dengan kemenangan di pihak Minke dan Nyai Ontosoroh dan menetapkan Ah Tjong, selaku pemilik rumah bordir sebagai pembunuh dari Herman Mellema, namun persidangan tahap akhir berlanjut tidak lama setelah Minke menikahi Annelies.
Persidangan ini membahas soal hak asuh dari Annelies yang dimana secara hukum kolonial, Annelies sudah tidak ada hubungannya dengan Minke dan Nyai Ontosoroh, karena pada dasarnya Annelies telah kehilangan sosok ayah dan ia juga memiliki wali sah di Amsterdam.
Jadi pernikahannya dengan Minke dianggap tidak sah. Menghadapi hal ini, Minke marah besar dan berjuang sekuat tenaga agar bisa memenangkan sidang. Ia menulis artikel di banyak media massa dengan topik kesewenangan hukum kolonial yang merusak hukum muslim.
ADVERTISEMENT
Dari artikelnya, Minke mendapat dukungan massa namun tetap saja ia kalah di persidangan karena hukum kolonial berada di atas segalanya. Annelies lalu dibawa pergi dari rumahnya menuju Pelabuhan Tanjung Perak untuk diberangkatkan ke Amsterdam. Minke dan Nyai Ontosoroh hanya bisa menangis melihat kepergian Annelies.

Anak Semua Bangsa (Mengenal Bangsa Sendiri)

Ilustrasi dari halaman terakhir novel Anak Semua Bangsa. (foto: dokumen pribadi)
Periode ini merupakan periode pengenalan Minke untuk memahami bangsanya lebih baik lagi. Pasca ditinggal Annelies, Minke berduka untuk waktu yang sangat panjang terlebih ketika ia menerima kabar bahwa Annelies wafat di negeri kincir angin sana akibat depresi. Namun Minke tidak bisa terus bersedih. Ia harus bergerak dan menulis lebih banyak lagi soal negeri Hindia yang luas ini.
Minke bertemu dengan sosok pemuda asal Tionghoa bernama Khouw Ah Soe, seorang aktivis golongan muda Tiongkok. Minke kerap bertukar pikiran dengan Khouw Ah Soe soal pemikiran-pemikiran modern seperti nasionalisme, modernisme, dan lain-lainnya yang dihasilkan dari revolusi Prancis. Ia juga kerap berdiskusi soal negeri Jepang yang pada saat itu telah diakui sejajar dengan bangsa Eropa dan bahkan mulai menginvasi Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Minke juga turut mendapat saran dari beberapa teman-temannya seperti Jean Marais, seorang pelukis dan veteran perang Aceh yang berkebangsaan Prancis, serta Kommers, seorang Jurnalis etik berkebangsaan Belanda totok. Keduanya memiliki saran yang sama bahwasanya Minke harus belajar menulis artikel dengan bahasa Melayu atau bahasa mayoritas pribumi Hindia. Tujuannya tidak lain agar seluruh rakyat mengerti apa yang ia maksud dan pesannya dapat tersampaikan. Minke awalnya menolak karena pikirnya, menulis dengan Melayu sama saja berputar kembali pada masa-masa primitf, namun setelah banyak pertimbangan yang mendalam, Minke baru sadar bahwa jika ia ingin mengabdi pada bangsanya terutama pribumi, maka ia harus menggunakan bahasa yang dimengerti pribumi. Bukan Jawa, bukan Belanda, tapi Melayu.
ADVERTISEMENT
Pada suatu kesempatan, Minke pernah mengikuti Nyai Ontosoroh ketika berlibur di kampung halamannya di Sidoarjo. Di sana ia melihat dan melakukan observasi lapangan secara langsung dengan hidup bersama petani yang bernama Kromodongso. Ia merasakan langsung rasa sakit dan sedihnya hidup di kekuasaan kolonial seperti ini, sehingga Minke merasa bahwa ia harus menulis artikel soal kehidupan Kromodongso yang tertindas kolonialisme, mulai dari tanahnya yang harus diambil dan bahkan ia harus membayar terhadap tanahnya sendiri, dan ini tidak hanya nasib dari seorang Kromodongso, melainkan seluruh petani di daerah itu.
Ilustrasi Petani sebagai gambaran atas Kromodongso, petani yang tertindas sistem kolonial. (foto: pexels.com)
Naskah soal Kromodongso lalu ditolak dalam sebuah media pers karena dianggap sebagai tulisan yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya dan serat akan kritik pedas terhadap gubermen. Minke merasa kecewa terhadap hal ini. Ia sampai merobek naskahnya itu di perjalanan pulang. Terlebih, tidak lama setelahnya, ia menerima kabar atas tewasnya Khow Ah Soe, teman aktivisnya dari Tionghoa yang terbunuh akibat tindakan-tindakannya yang radikal. Sebelum tewas, Khouw Ah Soe sempat memberikan Amanah bagi Minke untuk memberikan sepucuk surat untuk temannya di Batavia. Minke yang saat itu memang berniat pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di STOVIA, berjanji untuk menyerahkan surat itu.
ADVERTISEMENT

Jejak Langkah (Sang Pemula)

Ilustrasi Novel Jejak Langkah. (foto: dokumen pribadi)
Minke pergi menuju Batavia, kota yang menjadi pusat pemerintahan gubernur jenderal. Ia melihat segala macam modernitas di kota ini. Segera ia menuju STOVIA, sekolah dokter Jawa untuk mengkonfirmasi ikutsertanya dalam sekolah itu.
Periode Jejak Langkah menjadi periode yang sangat menarik bagi penulis. Minke disini berkenalan dengan banyak tokoh penting. Mulai dari pihak gubermen seperti Gubernur Jenderal Van Heutsz dan anggota-anggota Tweede Kamer yang etik serta dewan-dewan di Algemenee Secretarie. Orang-orang dari pihak kolonial ini juga turut menjadi inspirasi dan teman diskusi Minke.
Setelahnya, Minke juga bertemu dengan Ang San Mei, teman Khouw Ah Soe yang ternyata juga merupakan tunangannya. Mei sangat sedih mendengar kabar kematian dan surat yang dilampirkan oleh Minke dari Khouw Ah Soe. Ang San Mei juga merupakan aktivis golongan muda Tionghoa yang mencari peruntungan di negeri Hindia. Hidupnya sangat menyedihkan dan tidak jelas kemana arahnya. Minke merupakan orang yang kemudian merawat Mei, sampai keduanya memutuskan untuk menikah.
ADVERTISEMENT
Pernikahan Minke dan Ang San Mei berlangsung sebentar namun bermakna besar. Dengan hidup bersama Mei, Minke mulai merumuskan organisasi modern yang sebelumnya telah banyak berdiri di Tiongkok. Keduanya juga pernah berdiskusi soal masa depan Hindia dan permasalahan pendidikan bersama R.A. Kartini. Begitu banyaknya kenangan yang menghiasi hidup Minke dan Mei sampai pada akhirnya maut memisahkan mereka. Ang San Mei wafat karena sakit di usia yang sangat muda. Dengan begini, Minke sudah dua kali menikah dan dua kali ditinggal istri.
Tidak patah semangat, Minke semakin berjiwa progresif pasca wafatnya Ang San Mei. Ia mulai merumuskan organisasi modern pertama yang akan ia dirikan. Bersama dengan Thamrin Muhammad Tabrie, Minke lalu sepakat mendirikan sebuah syarikat yang bertujuan untuk menaungi kumpulan prijaji. Syarikat itu disebut Syarikat Prijaji.
ADVERTISEMENT
Namun para anggota Syarikat Prijaji mandeg sehingga organisasi itu bubar sebelum sukses. Hal ini dikarenakan sikap para prijaji yang tidak progresif dan nyaman dengan situasi yang sudah ada.
Selanjutnya Minke juga turut berpartisipasi dalam Boedi Oetomo, sebuah organisasi Jawa yang didirikan oleh lulusan STOVIA dan berfokus dalam pengembangan pendidikan pribumi. Organisasi ini disebut Minke sebagai Jawa yang tidak Jawa, karena penggunaan bahasa yang didominan oleh Belanda, namun keanggotaanya hanya boleh diisi oleh orang Jawa, membuat Boedi Oetomo terkesan sebagai organisasi yang Jawasentris. Minke meninggalkan Boedi Oetomo karena faktor-faktor tersebut, terutama dirinya sendiri menentang Javaisme karena menurutnya, bangsa Hindia tidak hanya bangsa Jawa saja. Kita in berbangsa ganda bukan tunggal!
Diluar gerakan organisasi modern, Minke mendirikan suratkabar pertama yang dirintis oleh pribumi, yakni Medan Prijaji. Ini merupakan cita-cita besar seorang Minke, yakni mengelola sebuah media pers dengan bebas tanpa takut hukum kolonial. Karenanya juga Medan harus bisa menerbitkan koran-korannya setiap hari secara mandiri tanpa bantuan pihak lain. Kantor redaksi utama Medan terletak di Bandung, dekat dengan lokasi advokat milik mereka yakni Hendrick Frischboten, suami dari Miriam de la Croix, sahabat Minke dulu di Surabaya. Rumah redaktur Medan alias Minke sendiri berada di Buitenzorg (Bogor), jadinya kerap Minke bolak-balik Buitenzorg-Bandung-Batavia.
Ilustrasi Jurnalistik sebagai gambaran gerakan jurnalistik Medan Prijaji. (foto: pexels.com)
Tulisan-tulisan di Medan Prijaji dengan tegas menentang kebijakan dari Gubermen. Hal ini menyebabkan pihak Gubermen harus memantau aktifitas dari Medan beserta redaktur mereka. Terlebih ketika Minke kembali mendirikan sebuah organisasi modern yang berfokus pada bangsa pedagang dan umat muslim, bernama Syarikat Dagang Islam (SDI). Tidak seperti Boedi Oetomo yang kooperatif terhadap Gubermen, SDI bersikap non kooperatif dan lebih sering menunjukkan ketidaksenangannya terhadap kolonialisme. Sampai-sampai anggota SDI meluap hingga ratusan ribu orang dan cabangnya tersebar ke mana-mana. Membuat Gubermen harus lebih giat dalam merumahkacakan aktivitas dari Medan dan SDI sekaligus.
ADVERTISEMENT
Titik redup dari Minke dimulai ketika ia dihampiri oleh seorang komisaris polisi bernama Jacques Pangemanann. Ia adalah orang yang membawa kesialan pada hidup Minke. Pangemanann awalnya meminta naskah “Si Pitung”-nya dapat diterbitkan di Medan, namun tak lama setelahnya, Minke dihampiri oleh segerombolan orang-orang keturunan Indo Belanda yang merupakan anggota dari perkumpulan De Knijpers. Mereka dipimpin oleh Robert Suurhof, teman Minke saat di HBS dulu. Mereka mengancam akan menghabisi hidup Minke sebelum akhirnya istri Minke yang baru, Prinses van Kasiruta melayangkan peluru ke langit sehingga mereka pun melarikan diri.
Ancaman itu tidak main-main. Tak lama setelah peristiwa itu, De Knijpers atau Total Anti Inlander (T.A.I) yang telah bertransformasi menjadi De Zweep, kembali menyerang Minke dan menggebukinya. Minke babak belur dan harus di rawat intensif. Hal ini menyebabkan dendam yang bergejolak bagi Prinses van Kasiruta. Istri Minke itu lalu melaksanakan penyerangan terhadap De Zweep dengan melakukan penembakan terhadap Robert Suurhof dan bawahannya. Dua orang mati dan satu masih selamat.
ADVERTISEMENT
Peristiwa penembakan itu segera dikenali oleh Gubermen, dan Minke kemudian dituduh terlibat di dalamnya. Minke kemudian ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Upaya-upaya ini sebenarnya sudah direncanakan jauh hari oleh Gubermen demi meredupkan aktivitas pergerakan yang dimulai oleh seorang Minke. Yang menangkap Minke adalah Jacques Pangemanann, komisaris polisi yang ditemuinya belakangan hari ini.

Rumah Kaca (Ini Hanya Awal)

Novel Rumah Kaca. (foto: dokumen pribadi)
Minke telah berangkat menuju pengasingannya yang panjang dan mulai sekarang, roda alur akan dipegang oleh Jacques Pangemanann, komisaris polisi yang mendedikasian dirinya untuk mengabdi pada Gubermen, dan kerap ia merasa jijik dengan sikap patuhnya itu.
Pangemanann adalah orang yang ditugaskan untuk memata-matai aktifitas Minke. Ia adalah orang yang bertanggungjawab atas pengasingan Minke. Sebelumnya, ia juga pernah terlibat konflik dalam mereda pemberontakan yang dipimpin oleh Si Pitung di Batavia. Ketika ia sadar bahwa pemberontakan Pitung didasari atas kekecewaan pribumi Betawi terhadap Gubermen, Pangemanann merasa bersalah sama seperti ketika ia mengasingkan Minke yang sudah ia anggap guru spiritualnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Karena berhasil menyingkirkan tokoh sepenting Minke, Pangemanann menerima promosi jabatan dari komisaris polisi menuju dewan Algemenee Secretarie. Dalam dewan ini, Pangemanann berfokus dalam merumah-kacakan aktifitas pergerakan yang justru malah makin bangkit pasca pengasingan Minke. Hadirlah sebuah partai politik yang bernama Indische Partij yang didirikan oleh tiga serangkai Douwager (Ernest Douwes Dekker), Wardi (Suwardi Suryaningrat/ Ki Hajar Dewantara), dan Tjipto ( Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo). Partai ini berjuang untuk kebebasan bagi masyarakat Hindia. Meski begitu, Pangemanann menganggap bahwa mereka belum sebanding dengan Minke soal visi dari organisasinya. Karenanya dalam waktu singkat, tiga serangkai berhasil diasingkan ke negeri Belanda.
Ilustrasi ruang kerja Pangemanann, tempat ia merumah-kacakan pergerakan nasional. (foto: pexels.com)
Di sisi lain, SDI makin menguat. Kini kepemimpinannya dipegang oleh Haji Samadi (Samanhudi) yang memindahkan pusat organisasi di Solo. Namun, SDI kemudian bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI) setelah Haji Samadi menyerahkan tonggak kepemimpinannya kepada Mas Tjokro (H.O.S Tjokroaminoto), sang kaisar tanpa mahkota. SI di bawah Mas Tjokro semakin menguat dengan banyaknya massa yang bergabung. Mas Tjokro sendiri merupakan pemimpin yang tegas dan ia kerap berorasi keliling Jawa dan berteriak-teriak soal kemerdekaan Hindia.
ADVERTISEMENT
Hadir pula tokoh yang bernama Marco Kartodikromo yang dulu pernah bekerja di bawah kepemimpinan Minke, dan kini ia semakin subversif dalam menyebarkan semangat berorganisasi. Ia kerap keluar masuk penjara akibatnya dan ia menganggap itu sebagai sebuah kebanggaan bagi seorang tokoh pergerakan.
Di pihak wanita, Siti Soendari menjadi target baru dalam rumah kaca Pangemanann. Gadis ini merupakan aktivis yang sering berorasi di serikat buruh kereta api, Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP). Sayangnya Siti Soendari hanya tampil di panggung pergerakan untuk waktu yang singkat. Ia kemudian menghilang tidak lama setelah orasi terakhirnya.
Pangemanann-lah orang yang ada dibalik rumah kaca aktivitas pergerakan nasional ini. Ia memantau dan mengawasi setiap gerakan yang dinilai membahayakan Gubermen. Dalam aktivitas rumah kacanya, Pangemanann juga sering mempelajari naskah-naskah yang Minke tulis dulu. Terdapat tiga naskah dengan judul yang berbeda-beda, mulai dari Bumi Manusia, yang merupakan kisah semasa muda Minke dengan keluarga Mellema, berlanjut ke Anak Semua Bangsa, dan memoarnya selama ia terlibat dalam perintisan pergerakan nasional dalam naskah Jejak Langkah. Ketiganya dipelajari dengan baik oleh Pangemanann sebagai bentuk apresiasinya terhadap sosok Minke. Dari sini juga ia baru ketahui bahwa Minke bukanlah nama aslinya, melainkan T.A.S (Tirto Adhi Soerjo).
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun setelahnya, Minke pulang ke tanah Jawa dan disambut oleh Pangemanann. Ia berlabuh di Tanjung Perak sebelum berlanjut ke Batavia. Di sana, Minke diajak berkeliling kota Surabaya demi mengenang memori masa mudanya. Setelahnya ia baru kembali ke kapal dan berangkat ke Batavia. Di Batavia, Minke diperintahkan untuk menandatangani surat bebas yang ternyata terdapat peraturan bahwa Minke tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik dan organisasi di Batavia. Lantas ia menolak surat itu dan segera meninggalkan ruangan.
Sepanjang perjalanan, Minke melihat banyak perubahan yang terjadi sepeninggalnya dari pengasingan. Hotel Medan Prijaji di Batavia kini telah tiada dan digantikan menjadi hotel swasta. Di Buitenzorg, rumahnya telah diambil alih oleh Pangemanann, dan di Bandung, kantor redaksi Medan telah berganti peran. Minke menjadi gelandangan selama berbulan-bulan di jalanan hingga sakit. Lepas dari pengasingan, dirinya justru menerima situasi yang lebih parah. Minke ditemukan oleh salah seorang temannya dulu di SDI. Ia adalah Goenawan yang langsung mengizinkan Minke untuk tinggal di rumahnya. Karena sakitnya yang parah, Minke pun segera dibawa menuju rumah sakit terdekat namun ternyata dokter di sana telah dilarang untuk menerima pasien sehingga Minke harus dibawa pulang lagi. Karena sakitnya yang makin parah dan tidak terawat, Minke tewas dalam perawatannya. Ia kemudian dikubur dengan sedikit orang yang mengantarnya. Pangemanann yang melihat itu merasa sangat bersalah pada dirinya sendiri sehingga seorang sebesar Minke harus mengalami penderitaan karenanya.
Ilustrasi pemakaman yang menggambarkan pemakaman Minke. (foto: pexels.com)
Epilog
ADVERTISEMENT
Sekilas adalah penjabaran dari Tetralogi Buru. Lebih lengkapnya, pembaca bisa membaca sendiri masing-masing novelnya agar mendapat pengalaman membaca yang lebih baik, karena banyak detail-detail kecil yang terlewatkan dari penjabaran di atas.
Dari kisah yang dibawakan oleh Pram soal Minke ini terdapat makna yang besar bagi kita sebagai pembaca di mana kita dapat melihat gambaran dari perjuangan nyata seorang bapak pers nasional yang merintis dan menjadi pemula dalam pergerakan melawan kolonialisme secara modern. Tentu kita bisa lebih menghargai pahlawan nasional yang telah berjuang semaksimal mungkin khususnya untuk Tiro yang di mana namanya kian redup hingga hari ini, meskipun jasanya lebih daripada yang kita bayangkan.
Dengan segala keberaniannya, ia merinitis organisasi modern serta surat kabar pertama bagi pribumi. Karenanya, Tirto berhasil menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh lain dalam mendirikan organisasi modern dan ikut menentang kolonialisme. Indisch Partij, PNI, ISDV, dan VSTP merupakan contoh organisasi modern yang turut hadir pasca pengasingan Tirto. Meski Tirto, telah dilupakan hingga kematiannya, jiwanya tetap hidup hingga hari ini, sebagai bapak pers, sebagai perintis, dan sebagai Sang Pemula.[]
ADVERTISEMENT