Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Manusia dan Pertarungan Menghadapi Keterasingan terhadap Pekerjaan
7 Januari 2024 9:22 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkan kalian berpikir bahwa apa yang telah kita kerjakan selama ini merupakan naluri alamiah pribadi atau justru kehendak orang lain? Apakah jalan hidup kita harus terus bergantung pada arahan orang lain dan tidak bisa serta merta bebas menentukan nasib sendiri? Atau justru kita baru sadar bahwa selama ini kita semua mengalami alienasi terhadap pelbagai aktivitas pekerjaan? Namun, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita berdialektika secara material historis mengenai topik besar ini, yakni soal keterasingan atau alienasi.
ADVERTISEMENT
Jadi, apa itu keterasingan? Manusia mengalami kesesatannya dalam aktivitas yang selama ini ia jalani. Ia tidak menemukan sumber kebahagiaan pribadi juga tidak menemukan benefit apa pun dari suatu pekerjaan, sekalipun pekerjaan itu merupakan impiannya di masa lalu. Manusia kerap mengalami keterasingannya dari segi sosial melalui sudut pandang internal dan eksternal. Pekerjaan menjadi salah satu bentuk keterasingan terutama di era kapitalisme saat ini. Fokus utama artikel ini akan menjabarkan paradigma penulis mengenai keterasingan manusia terhadap pekerjaan. Mulai dari pengaruhnya bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sebelum masuk ke inti pembahasan, penulis sekadar mengingatkan bahwa berbagai opini soal keterasingan yang hadir dalam artikel merupakan hasil tafsir penulis terhadap pemikir-pemikir sosiolog dan ekonomi termasuk Karl Marx. Ide keterasingan sendiri hadir dari konsep Marx melalui naskah-naskah Parisnya di tahun 1844, namun penulis mencoba memberi alternatif lain soal keterasingan menggunakan hasil analisa pribadi.
ADVERTISEMENT
Diasingkan Oleh Kapital
Manusia hidup untuk mati, akan tetapi selagi perjalanan duniawinya menuju alam baka, manusia harus mengoptimalkan naluri hewani nabatinya untuk bertahan hidup. Dalam konsep nihilisme dan eksistensialisme, manusia diperintahkan untuk melakukan berbagai kegiatan sosial selagi menjalani hidup demi tidak terjatuh ke dalam jurang ketiadaan. Pekerjaan menjadi salah satu aktivitas yang harus dilakukan manusia untuk bertahan hidup. Ia juga menjadi pembeda antara manusia dengan hewan. Hewan hidup dengan mengandalkan alam. Apa yang mereka butuhkan telah tersedia dari alam. Berbeda dengan manusia di mana ia harus mengolahnya menjadi suatu komoditas. Ciri yang membedakannya juga terletak dari bagaimana hewan berproduksi dan hidup bersosial dengan sesama jenisnya. Berbeda dengan manusia yang harus berproduksi demi kepentingan sosialnya yang universal, mencakup tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain diluar kekerabatan.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan sejarah, manusia kian mengubah pandangannya terhadap pekerjaan. Yang awal mulanya berfungsi demi bertahan hidup di dunia dengan mengandalkan bahan yang datang dari alam, lalu berubah demi mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Transisi sejarah ini yang kemudian mengubah era feodalisme yang kental dengan kehidupan monarkis menuju era kapitalisme yang melekat dengan industrialisasi. Hadirnya nilai tukar universal yang direfleksikan melalui bentuk komoditi bernilai atau uang menjadi titik awal berkembangnya kapitalisme hingga hari ini. Tenang saja, kita tidak sedang mengkrtitik sistem produksi kapitalisme yang eksploitatif di era klasik karena era modern saat ini berbeda dengan di zaman Marx dulu. Namun yang patut dikritik adalah hasil dari kapitalisme yang berimplikasi pada kelas pekerja.
Kapital menjanjikan apa yang semua manusia di muka bumi ini butuhkan, yakni uang. Titik ini menjadikan manusia harus hidup dengan uang demi melangsungkan kehidupannya. Penulis bersyukur bahwa era ini bukanlah era revolusi industri di zaman Marx dulu yang eksploitatif dan penuh dengan pertumpahan darah buruh industri. Kini kita semua bisa memandang bahwa perlahan kapital justru menjadi penyelamat bagi kehidupan sosial dengan menjanjikan uang sebagai upahnya.
ADVERTISEMENT
Dan pembagian upahnya tergolong manusiawi meskipun tidak semua instansi bersifat demikian. Nyatanya masih banyak instansi kecil yang mempekerjakan manusia secara eksploitatif, dilihat dari jumlah upah yang diterima dan lamanya jam kerja. Namun sifat keterasingan tidak peduli dengan relevansi zaman. Keterasingan akan selalu ada menyertai setiap pekerjaan. Bagaimana kemudian keterasingan menanamkan sifatnya?
Pekerja bergantung pada kapital demi meraih upahnya, karenanya pekerja harus mengikuti sifat dari kapital. Sifat kapital dalam bentuk murni sendiri memiliki satu tugas besar demi meraih keuntungan semaksimal mungkin, yakni dengan menciptakan sistem waktu kerja lebih, menjadikan seorang pekerja harus terus menerus bekerja demi meraih upahnya, atau justru membantu sang kapitalis meraih keuntungannya sendiri.
Sistem waktu kerja lebih ini kiranya termodifikasi di era modern dengan sifat yang sama. Semisal seorang pekerja shift rumah makan meraih upahnya berdasarkan skala waktu perjam. Satu jam mendapat total Rp.20.000, dua jam mendapat Rp.40.000, dan seterusnya. Dengan begitu sang pekerja akan memaksimalkan pekerjaannya demi meraih upah yang terus bertambah tiap jamnya.
ADVERTISEMENT
Ditambah dengan praktik sang kapitalis yang menjadwalkan kerja teratur perminggunya yang jarang terdapat libur, mungkin hanya 1 hari libur dengan total waktu kerja yang terjadwalkan dan bisa bertambah dengan sistem waktu kerja lebih.
Proses ini, jika dipandang dengan logika, sesungguhnya tidak memiliki kesan eksploitasi, namun justru menghasilkan keterasingan baru. Manusia kemudian berlomba untuk menjadi yang terbaik demi meraih upah sebanyak-banyaknya. Bayangkan saja jika kita menggunakan konsep waktu kerja lebih tadi, dalam sehari total waktu kerja yang ideal adalah 8 jam dan tiap jamnya memperoleh satuan nilai Rp.20.000.
Totalnya untuk sehari adalah Rp.160.000. Jika dijalankan selama 1 bulan penuh (30 hari) dikurangi 4 hari minggu maka akan memperoleh sekitar Rp.4.160.000 dalam bentuk kasar dan belum terdapat pengurangan dari waktu istirahat dan aspek lainnya. Hitunglah sekitar Rp.3.800.000 untuk gaji si pekerja rumah makan untuk satu bulan dan bisa bertambah jika kerjanya dimaksimalkan dengan menggunakan waktu yang tersisa melalui konsep waktu kerja lebih.
ADVERTISEMENT
Tidak ada eksploitasi yang berlebihan sama sekali namun menciptakan keterasingan terhadap pekerja. Dengan proses bekerja seperti di atas, maka otomatis si pekerja akan bekerja mati-matian demi meraih maksimalisasi upah. Ia bisa menjadi pekerja terbaik untuk satu bulan dan menjadi yang terkaya dibanding pekerja lainnya. Dengan begitu, kapital kembali pada sifat murninya yakni meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi pekerja tanpa mengeksploitasi pekerja. Karena sang pekerja yang bergerak dengan keinginannya sendiri. Karena keinginannya atas bekerja dan meraih upah, maka sang pekerja teralienasi tanpa sadar dari nilai fungsinya sebagai manusia sosial. Ini yang menjadi kekhawatiran kita semua yakni keterasingan manusia dari fungsinya yang disebabkan oleh pekerjaan. Hal serupa terjadi di negara Jepang di mana habit orang-orang di sana adalah work holic. Kerja menjadi nomor satu sehingga enggan memiliki keturunan dan berhubungan sosial. Atas hal tersebut Jepang menjadi salah satu negara yang darurat dalam segi populasi akibat rakyatnya yang sepenuhnya telah terasingkan atas pekerjannya sendiri.
Tidak hanya terasingkan dari fungsi sosialnya, manusia juga bisa kehilangan potensi alamiahnya. Kapital dapat menggiring manusia untuk bekerja terhadap pekerjaan yang tak sesuai dengan potensi tiap-tiap individu yang gagal digali. Semua ini kembali pada kaitannya terhadap uang sebagai nilai tukar universal. Karena uang, manusia menghamba kepadanya dan akan melakukan apa pun demi meraihnya, termasuk membuang potensinya sendiri. Hal ini tidak lepas dari pandangan masyarakat dan minimnya pekerjaan yang bervariasi dalam menumbuhkan potensi masyarakat. Bayangkan, berapa banyak calon ilustrator atau seniman harus membuang mimpi mereka demi tuntutan sosialnya terhadap pekerjaan seperti arsitektur dan teknik sipil yang memiliki gaji lebih tinggi? Berapa banyak calon sastrawan dan budayawan harus membuang mimpi mereka demi tuntutan sosial terhadap pekerjaan macam PNS? Dan berapa banyak calon ahli matematika harus mengubur mimpi mereka demi tuntutan sosial terhadap pekerjaan seperti Dokter? Semuanya kembali pada uang dan uang adalah tujuan utama dari kapital. Karenanya, manusia terasingkan dari potensinya yang bernilai lebih demi satu pekerjaan yang tidak diminatinya.
ADVERTISEMENT
Solusinya dalam menangani keterasingan harus dikaitkan dengan pembentukan kesadaran sesungguhnya bagi masyarakat. Pemerintah harus berani membuka lapangan pekerjaan yang bervariasi agar calon-calon anak bangsa yang potensial tidak harus kehilangan potensinya lagi. Begitu juga dengan masyarakat yang harus mengubah pola pikir mereka, bahwa kebahagiaan abadi bukanlah uang melainkan jiwa raga yang sehat sentosa jauh dari keterasingan. Lalu bagaimana dengan keterasingan diri pribadi? Cobalah untuk perbanyak istirahat dari dunia kerja. Bacalah banyak buku yang dapat membersihkan pikiran dari sistem kapitalisme. Cobalah refreshing dengan melakukan hal yang disuka. Dengan begitu, sejatinya keterasingan dalam diri anda pribadi telah hilang dan anda bisa membawa keseimbangan dalam memenuhi jiwa sosial yang sehat dan memenuhi kebutuhan hidup.
ADVERTISEMENT