Marxisme Telah Mati Sejak 1924

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
12 Agustus 2023 9:30 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patung Karl Marx dan Friedrich Engels. (foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Patung Karl Marx dan Friedrich Engels. (foto: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak orang menyebut Marxisme merupakan sebuah pemikiran usang. Tidak lain dikarenakan anggapan yang menyudutkan paham tersebut sudah tidak lagi relevan bagi perkembangan global dunia hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Jatuhnya Uni Soviet pada 26 Desember 1991, merupakan penanda berakhirnya perang dingin abadi antara blok timur Soviet dengan blok barat Amerika Serikat, sekaligus menjadikan Negeri Paman Sam itu sebagai penguasa dunia dengan ideologi ekonomi kapitalisnya.
Soviet telah hancur dan pemikiran Marx seperti sosialisme komunisme juga turut meredup seiring dengan perkembangan zaman. Beberapa partai sosialis dari seluruh negara banyak tergabung dalam Internasional kelima, organisasi buruh Internasional dengan ideologi komunis.
Namun lagi-lagi, itu tidak memberikan dampak signifikan bagi dunia. Bahkan hanya sedikit orang awam yang mendengar nama organisasi itu. Semua orang sudah terpaku oleh sistem kapitalisme begitu juga dengan banyak negara-negara komunis seperti China, Vietnam, dan Cuba.
Negara-negara komunis itu sudah mengkhianati jejak pemikiran yang telah dibawa Marx sejak Manifesto Communist dan Das Kapital ditulis. Bahkan sejak Internasional Pertama didirikan olehnya.
ADVERTISEMENT
Marxisme secara pandangan filsafah telah mati dalam sunyi dan jalan pemikirannya disebut banyak orang tidak relevan. Memang, membaca dan belajar soal Marxisme itu masih sangat dianjurkan terlebih bagi para aktivis buruh dan mahasiswa dalam melawan kebijakan birokrat yang dinilai memberatkan satu kelas atau estate.
Namun, secara global dan untuk jangka waktu panjang, Marxisme hanya akan bertahan sementara dan tinggal menjadi suatu ide yang melalui pikiran akan tetap bertahan selamanya tapi dari segi praktik, tidak lagi dapat bertahan secara utuh dan murni.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, negara-negara palu arit di seluruh dunia sudah tidak lagi menerapkan jejak Marxisme secara murni dan justru belok ke kanan menuju kapitalisme.
Jatuhnya Republik Sosialis Uni Soviet pada 1991 disebut sebagai akhir dari komunisme, namun penulis memiliki anggapan lain terkait hal ini. Terdapat satu momen yang sesungguhnya menjadi akhir dari marxisme secara wujud utuh, yakni di tahun 1924. Ada apa di tahun itu?
ADVERTISEMENT

Kematian Lenin dan Bangkitnya Stalinisme

Ilustrasi Vladimir Lenin. Sosok yang membawa kemenangan di Revolusi Oktober 1917, juga pemimpin pertama Uni Soviet. (foto: pixabay.com)
Ada apa di tahun 1924? Mengapa penulis menyebut tahun itu adalah momentum berakhirnya pemikiran Marx secara utuh? Tahun 1924 lebih tepatnya pada 21 Januari, seorang revolusioner kelahiran Simbirsk (Ulyanovsk), Vladimir Ilyich Ulyanov, atau yang akrab dipanggil Lenin meninggal dunia atas penyakit stroke yang telah lama dideritanya.
Orang yang membawa revolusi Bolshevik di Oktober 1917 serta yang kemudian mendirikan negara buruh, Uni Soviet itu harus meregang nyawa di tahun kedua kepemimpinannya sebagai pemimpin Soviet. Pada masa-masa ini, Soviet berada dalam bimbang karena pemimpin berikutnya akan merubah nasib dari pemikiran Marxisme-Leninisme untuk selama-lamanya.
Joseph Stalin, bocah ingusan dari Georgia ini yang kemudian mengambil alih stir yang ditinggalkan Lenin dalam memimpin Soviet. Setelah berhasil mengalahkan Trotsky dalam menggugah massa, Stalin dengan sukses meraih kursi pemerintahan dalam waktu yang singkat.
ADVERTISEMENT
Dari momentum ini, Marxisme telah mati. Joseph Stalin menjalankan pemerintahan yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme. Semua hal yang datang dari semangat Revolusi Oktober 1917, dihapusnya secara menyeluruh. Dengan praktis, Stalin menyetir Soviet menuju borjuasi nasional yang sama sekali tidak demokratis dan justru menjadikan Soviet terkesan seperti negara fasis.
Tidak menjalankan pemikiran yang lahir dari Bolshevik, Stalin justru menggunakan sistem yang Partai Menshevik usung dalam teori revolusinya. Pertama-tama, apa sistem teori revolusi ala Menshevik? Secara singkat, Menshevik menggagas teori revolusi borjuis demokratis yang dilakukan dengan teori dua tahap.
Teori dua tahap adalah teori revolusi sosial yang mengatakan bahwa revolusi sosialis dapat terwujudi dengan dua tahap yang dimulai dari dari pembangunan kapitalisme yang mapan di satu negeri. Jika telah mencapai tingkat yang mapan, maka kelas proletar dapat memulai tahap kedua yakni revolusi sosialis.
ADVERTISEMENT
Teori ini disebut kesalahan dalam sebuah praktik revolusi yang bertujuan mewujudkan kediktatoran proletariat, karena yang memimpin revolusi dalam teori dua tahap adalah kaum borjuis nasional. Sehingga kelas proletar akan dengan mudah disetir dan dikhianati oleh para borjuis ketika pemerintahan pasca revolusi sukses berdiri.
Selain teori dua tahap, Stalin juga ikut menulis teori baru yang bertujuan untuk memperkuat rezimnya sendiri yakni teori sosialisme di satu negeri. Secara ringan, teori sosialisme di satu negeri besutan Stalin bertujuan untuk mempertahankan sosialisme dalam skala nasional dan bukan secara internasional.
Hal ini bertentangan dengan pemikiran Marxisme-Leninisme di mana setidaknya terdapat tiga tokoh perjuangan kaum buruh, yakni Marx, Lenin, dan Trotsky yang menyebut bahwa sosialisme harus disebarkan secara internasional dengan tujuan mewujudkan revolusi sosialis sedunia.
Kota Moskow, Rusia. (foto: Pixabay.com)
Mengapa Stalin berbalik arah dari pemikiran kaum Bolshevik menuju jejak langkah Menshevik yang kooperatif terhadap borjuis? Sedari awal sebenarnya baik pemikiran Lenin dan Stalin sudah sangat berbeda jauh.
ADVERTISEMENT
Lenin adalah seorang internasionalis dan Stalin lebih condong pada chauvinisme nasionalis. Stalin memang menyetujui rencana revolusi sosialis namun cara-caranya lebih condong kepada Menshevik yang kala itu kontra dari Bolshevik.
Lenin sendiri pernah mencap Stalin sebagai seorang Nasionalis-Sosialis karena aksinya yang sepihak melakukan invasi pada Georgia dengan tujuan memaksa negara kelahiran Stalin itu untuk bergabung pada Soviet. Ke depannya, sikap Stalin ini makin menggila terlebih setelah ia berhasil merebut kursi pemerintahan.
Ia akan melakukan banyak cara untuk menjaga kepentingannya pribadi serta kaum birokrat Stalinist di Soviet, karenanya dia menentang Internasionalisme dalam revolusi permanen. Revolusi yang menyeluruh ke penjuru dunia hanya akan merepotkan birokrat yang telah nyaman hidup bersama kapitalisme.
ADVERTISEMENT

Proletar Murni Melawan Birokrasi Borjuis

Ilustrasi massa yang tengah berdemo. (foto: Pexels.com)
Teori revolusi permanen kemudian hadir sebagai anti-tesis dari dua pemikiran birokrat Stalinist yang kacau itu. Teori ini sebenarnya telah lahir jauh sebelum revolusi Rusia pertama kali meletus di 1905, yakni di sekitar tahun 1850 oleh Marx dan Engels. Kemudian teori revolusi permanen kembali dikembangkan oleh Leon Trotsky.
Trotsky kembali mengembangkan teori revolusi permanen sebagai kontra dari teori-teori Stalin yang telah disebutkan tadi. Trotsky menilai bahwa rezim otokrasi Stalin merupakan sebuah praktik kontra revolusi. Bagaimana tidak? Stalin menerapkan banyak kebijakan yang memberatkan proletar.
Teori-teorinya menyimpang dari jalan Marxisme-Leninisme, bahkan Stalin juga tidak segan menghancurkan orang-orang yang menentang kebijakannya sehingga lahir suatu momentum bersejarah bernama The Great Purge, suatu aksi pembersihan pihak-pihak ‘kontra revolusi’ yang banyak didominasi dari kubu oposisi kiri Trotsky dan kubu oposisi kanan Bhukarin.
ADVERTISEMENT
Menghadapi hal ini, Trotsky dan pendukung-pendukungnya (Trotskyist) melakukan banyak cara untuk menghentikan kediktatoran borjuis nasional Stalin. Salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan memurnikan teori revolusi permanen yang ia kembangkan sejak 1904, setahun sebelum revolusi Rusia pertama.
Dalam ranah luas, ia juga mendirikan Internasional keempat pada 1938 sebagai wadah persatuan Trotskyist. Hal ini dilakukan karena Comintern atau Internasional ketiga dinilai sudah gagal sebagai organ perjuangan proletar dan hanya menjadi instrumen kebijakan asing Moskow (Sprague, 2011).
Dan memang terbukti benar dengan dibubarkannya Comintern pada 1943 oleh Stalin secara sepihak dengan alasan partai-partai komunis telah mandiri dan tidak perlu organisasi internasional. Padahal, alasan utama Stalin membubarkan Comintern adalah untuk menjaga birokrasi borjuisnya dari revolusi sosialis yang justru membahayakan posisi mereka.
Potret Joseph Stalin di Kiev Children Railway's Museum, Kiev, Ukraina. (foto: unsplash.com)
Jadi jangan heran mengapa Stalin dan seluruh Stalinist sangat membenci Trotsky dan pendukung-pendukungnya. Hal ini karena Trotsky disebut sangat membahayakan birokrasi Stalin dengan segala pemurnian ajaran-ajaran Marxisme-Leninismenya.
ADVERTISEMENT
Stalin yang takut akan ancaman dari Trotsky ini telah melakukan berbagai cara untuk menghapus gerakan-gerakan "kontra revolusioner", mulai dari The Great Purge yang membasmi kubu oposisi kiri dan kanan, membunuh seluruh keluarga Trotsky, memboikot ajaran Trotsky, dan yang terakhir membunuh Trotsky secara diam-diam menggunakan agen rahasia pada 21 Agustus 1940 di Mexico.

Internasionalisme dan Revolusi Permanen Sebagai Arwah Perjuangan Marxis

Buku Revolusi Permanen, Leon Trotsky yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ted Sprague. (foto: dok pribadi)
Tahun 1924 menjadi momen krusial bagi negara buruh Soviet. Sang pendiri negara harus memenjamkan mata untuk selamanya dan penerusnya justru menyimpang dari ajaran-ajarannya. Matinya Lenin dan bangkitnya Stalin adalah momentum dari kehancuran Marxisme.
Seperti yang telah dijelaskan secara panjang lebar oleh penulis diatas, rezim Stalin jauh lebih terasa sebagai kediktatoran borjuis dibanding kediktatoran proletariat. Misi menyebarkan revolusi sosialis ke seluruh dunia terutama Eropa harus gagal karena teori itu sendiri di gantikan oleh teori sosialisme di satu negeri yang secara praktiknya telah menunjukkan kegagalan.
ADVERTISEMENT
Gagalnya marxisme ditandai dengan teori sosialisme di satu negeri. Dan sejatinya hal ini telah diramal jauh hari, baik oleh Marx, Lenin, dan Trotsky. Ketiganya percaya bahwa kesuksesan mendirikan federasi sosialis sedunia adalah dengan menyebarkan revolusi sosialis terlebih ke Eropa yang menjadi pusat peradaban pada masa itu. Teori ini diterapkan dalam revolusi permanen dan prinsip internasionalisme.
Dalam karyanya yang berjudul Hasil dan Prospek (1906), Trotsky berkata bahwa kaum proletar harus melihat dengan jelas jalan yang ditempuhnya dan terutama harus bebas dari ilusi sedangkan ilusi terburuk adalah bergantung pada orang lain.
Hal ini sedikit menyindir teori dua tahap Menshevik yang berdasar pada aliansi bersama kaum borjuis. Trotsky menilai bahwa teori ini salah dalam revolusi sosialis yang sesungguhnya, karena proletar tidak boleh bergantung terhadap orang lain terlebih pada borjuis nasional.
ADVERTISEMENT
Mari mengaca pada revolusi sosial yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya. Di tahun 1848 hingga 1849, kerajaan Austria dan Prusia diselimuti oleh gerakan revolusi borjuis demokrat yang berakhir dengan pengkhianatan borjuis terhadap proletar.
Tidak hanya itu, revolusi paling megah di seluruh dunia yakni revolusi Prancis juga merupakan bentuk dari revolusi gaya borjuis yang pada akhirnya juga memberatkan kaum proletar.
Patung pekerja yang merepresentasikan persatuan kaum proletar di Kolkhoz, Moscow. (foto: Pixabay.com)
Satu-satunya cara bagi kaum proletar dalam meyokong revolusi sosialis adalah dengan revolusi dunia internasional. Hal ini yang diyakini kaum Bolshevik ketika revolusi Oktober meletus. Lenin berkata bahwa kemenangan mutlak proletar adalah dengan prinsip internasionalisme yakni menyebarkan teori revolusi sosialis ke seluruh dunia.
Dengan begitu, federasi sosialis dunia akan terbentuk dan marxisme akan bertahan hingga hari ini. Namun teori itu terkesan sangat utopis dimana usai revolusi Oktober, Uni Soviet yang masih muda justru digempur oleh serangan tentara putih dan 21 pasukan negara Imperialis yang menolak terbentuknya negara buruh.
ADVERTISEMENT
Dari sini juga, kita dapat melihat keterbelakangan dari Soviet yang miskin dan awal kemunculan kaum birokrasi. Soviet kemudian berhasil mengatasi keterbelakangannya melalui bantuan para birokrasi ini, namun tujuan mereka kemudian gagal total karena revolusi dunia internasional tidak berjalan mulus. Revolusi di negara-negara Eropa barat mengalami kegagalan dan Soviet kembali terisolasi.
Kaum birokrat sempat mengatasi keterbelakangan Soviet dan dari sini para kaum birokrat yang nantinya akan menjadi fraksi pendukung Stalin, mulai mengambil tuas pemerintahan secara diam-diam dan terstruktur. Puncaknya adalah kematian Lenin di mana pada akhirnya Stalin berhasil mengambil alih kemudi berkat bantuan birokrat yang sebenarnya telah memiliki banyak massa.
Sehingga Soviet setelah 1924 menjadi negara yang di kontrol oleh kaum birokrat yang borjuis. Mereka memiliki mental yang menginginkan kedamaian dan kestabilan bagi previlise yang mereka miliki karenanya para Stalinist dan birokrat menentang ajaran Leninisme-Bolshevisme yang diteruskan oleh Trotsky sebagai oposisi kiri.
ADVERTISEMENT
Padahal satu-satunya cara dalam mempertahankan Marxisme adalah dengan revolusi sosialis. Ketika dunia telah menjadi sebuah federasi sosialis, maka sejak saat itu pula marxisme akan kekal hingga hari ini dan kapitalisme bisa menemui ajalnya.
Memang terdengar sangat utopis terlebih di era saat ini yang kehidupannya sangat bergantung pada kapitalisme. Karenanya, perjuangan menciptakan negara komunis sejatinya telah usai semenjak Stalin mengambil alih kemudi. Teori murni Marx dan Lenin dilupakan sehingga tidak ada negara-negara komunis yang berinisiatif menerapkan teori revolusi permanen dan internasionalisme.
Salah satu dampaknya terjadi di Indonesia. PKI yang kala itu berkiblat pada Peking atau komunis China, menerapkan teori dua-tahap ala Menshevik. China sendiri berkiblat pada Stalinisme karenanya RRC memutuskan hubungan dengan Soviet era Khrushchev.
ADVERTISEMENT
PKI saat itu sangat bergantung pada Sukarno yang dapat disebut sebagai sosok borjuis bonapartis. Aidit dan banyak petinggi PKI lebih memilih cara koperatif ini daripada revolusi sosialis. Karena terlalu lama menunggu momen yang tepat untuk revolusi sosialis, PKI kemudian berakhir pada suatu Coup yang terpimpin dalam menumbangkan orde lama.
Tampak bukti gagalnya teori Stalin di Indonesia. PKI seharusnya bisa merebut kursi pemerintahan secepat mungkin sebelum TNI AD merencanakannya. Karenanya PKI harusnya bisa menerapkan prinsip revolusi permanen jika ingin sukses. Namun nasi telah menjadi bubur. PKI telah hancur lebur dan menjadi partai terlarang di Indonesia menurut keputusan TAP MPRS No.25/1966 dan Pasal 188 RUU KUHP.
Ilustrasi miniatur rakyat tengah berdemo membelakangi mimbar besar dengan foto Lenin-Stalin. (foto: Unsplash.com)
Oleh karena itu penulis menyebut bahwa marxisme telah hancur sejak tahun 1924. Yakni karena ajaran-ajarannya tidak diterapkan secara murni oleh penerus-penerus Soviet. Trotsky yang mencoba memurnikannya juga turut gagal akibat rezim Stalin yang terlalu kuat.
ADVERTISEMENT
Implikasinya berimbas kepada banyak negara komunis lain yang hingga hari ini tidak dapat menerapkan prinsip marxisme sebaik mungkin dan justru condong pada kapitalisme liberalisme. Selain itu, efeknya juga berimbas pada negara dunia ketiga macam Indonesia yang turut gagal melaksanakan revolusi sosialis.
Daftar Referensi
Grant dan Wood. (2020). Sosialisme dan Hak Bangsa Menentukan Nasib Sendiri. Resist Book.
Kasenda, P. (2017). Sukarno, Marxisme, dan Leninisme. Depok: Komunitas Bambu.
Sprague, T. (2009). Revolusi Permanen: Teori Revolusi Sosialis untuk Dunia Ketiga. Yogyakarta: Resist Book.
Trotsky, L. (1906). Result and Prospects. St. Petersburg.
Trotsky, L. (1930). The Permanent Revolution. Berlin.