Konten dari Pengguna

Pejuang Kemerdekaan di Kiri Jalan

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
29 Juni 2023 10:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi majalah bertemakan Tan Malaka terbitan Tempo dan buku "Sukarno, Marxisme, & Leninisme" karya Peter Kasenda. (foto: dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi majalah bertemakan Tan Malaka terbitan Tempo dan buku "Sukarno, Marxisme, & Leninisme" karya Peter Kasenda. (foto: dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri dan dielakkan bahwa bangsa Indonesia ini bisa berdiri dengan lahirnya bentuk-bentuk dan manifestasi dari pemikiran kiri yang merasuki para tokoh-tokohnya.
ADVERTISEMENT
Mungkin pemikiran kiri itu terdengar sangat tabu di pikiran rakyat Indonesia hingga hari ini, terlebih dengan hadirnya gerakan tigapuluh September yang kian menyertai sejarah bangsa Indonesia beserta dogma-dogma yang orba berikan sepanjang tahunnya membuat stigma kiri menjadi sangat buruk. Padahal masyarakat sendiri belum mengerti betul apa makna menjadi seorang kiri.
Karenanya masyarakat harus mendapatkan pendidikan agar tidak terjadi salah kaprah. Terlebih dengan hadirnya sejumlah tokoh pejuang kemerdekaan yang menganut pemikiran kiri pastinya membuat masyarakat sadar bahwa kiri tidak selalu negatif.
Para pejuang yang dimaksud tidak semuanya dikategorikan pahlawan nasional, namun mereka memiliki jasa yang besar bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Berikut di antaranya:

Sukarno

Potret Bung Karno dalam buku "Sukarno, Marxisme, & Leninisme" karya Peter Kasenda, hal.142 (foto: dokumen pribadi)
Perlu diketahui bahwa bapak proklamator kita, Ir. Sukarno merupakan seorang marxis. Beberapa ajarannya juga kerap terpengaruh oleh marxisme, contohnya seperti marhaenisme yang ia gagas setelah bertemu dengan petani di Bandung.
ADVERTISEMENT
Marhaen jelas merujuk pada marxisme meski keduanya sebenarnya berbeda. Jika marxis itu menjunjung kesetaraan bagi kaum buruh, maka marhaenis memiliki cita-cita dalam mengangkat wong cilik atau orang kecil yang memiliki lahan produksi, namun belum bisa mencukupi dirinya sendiri.
Sukarno sendiri belajar Marxisme sejak ia bersekolah di Surabaya. Ketika ia ngekos di rumah Tjokroaminoto, ia kerap menerima ajaran-ajaran Karl Marx itu dari lingkungan sekitarnya. Kembali diingat bahwa rumah kos Tjokroaminoto banyak menghasilkan tokoh pemikir Marxis seperti Semaun, Musso, Alimin, dan tentunya Sukarno.
Pengaruh Marxisme banyak merasuki pemikiran Bung besar itu. Dalam pidato-pidatonya ia sering kali memasukkan unsur-unsur marxisme sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap imperialisme kolonialisme Belanda di Hindia kala itu. Bahkan ketika ia telah menjabat sebagai presiden pertama RI, ia turut memadukan paham marxisme sebagai pilar utamanya dalam demokrasi terpimpin yang diwujudkan dalam Nasakom (Nasionalis Agama Komunis).
ADVERTISEMENT

HOS Tjokroaminoto

Koleksi museum HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur, Senin (28/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Disebut sebagai guru bangsa, Tjokroaminoto yang kemudian melahirkan banyak para tokoh bangsa ini juga kerap menganut pemikiran kiri terutama ideologi sosialisme. Tjokroaminoto menganggap bahwa islam dan sosialisme merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Ia menuangkan pemikirannya itu dalam sebuah buku yang kelak menjadi mahakarya bejudul “Islam dan Sosialisme”. Buku itu secara praktis mendeskripsikan soal pemahaman Sosialisme ala Islam yang berlandaskan atas perintah Allah Swt. Pemahaman itu dianggap sebagai pemikiran paling ideal bagi umat muslim juga sebagai bangsa yang menolak imperialisme.
Ilustrasi buku "Islam dan Sosialisme" karya Tjokroaminoto, berdampingan dengan Babad Tanah Jawa (foto: dokumen pribadi)
Menurut Tjokroaminoto, jika seseorang terlahir Muslim maka ia turut lahir sebagai seorang sosialis dikarenakan banyaknya kesinambungan antara keduanya. Baik islam dan sosialisme, sama-sama menjunjung persaudaraan dan kebersamaan. Seorang muslim haruslah saling tolong menolong kepada sesama. Bukankah sosialisme turut berlaku demikian?
ADVERTISEMENT
Munculnya pemikiran Sosialisme kemudian Komunisme turut memecah organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto, Sarekat Islam. Kini hadir kubu SI Putih yang setia pada Tjokroaminoto dan SI Merah yang mengikuti jejak Semaun.

Tan Malaka

Tan Malaka Muda. Foto: Istimewa
Tan Malaka, Bapak republik yang terlupakan. Mengapa demikian? Tidak lain karena pemikirannya yang identik dengan marxisme sehingga namanya harus disembunyikan pada buku-buku pelajaran era orba meskipun Tan sendiri merupakan pahlawan nasional.
Keterlibatannya dengan pemikiran kiri boleh jadi dimulai sejak pertemuannya dengan Henk Sneevliet, seorang marxis Belanda yang kemudian mempelopori akar pemikiran kiri di Hindia. Tan kemudian turut bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kala itu berada di bawah kepemimpinan Semaun.
Ia juga pernah memimpin partai itu ketika Semaun meninggalkan Hindia dan dengan kepemimpinannya, PKI menjadi lebih radikal. Meski begitu ia melarang aksi pemberontakan kepada pemerintahan kolonial pada 1926/1927 karena dianggap masih belum matang.
ADVERTISEMENT
Wasiatnya bagi Indonesia di antaranya adalah gagasannya soal negara Republik Indonesia, ajuan penyatuan pan islamisme dan komunisme di sidang Comintern, dan karya-karya hebatnya seperti “Madilog” dan “Aksi Massa” yang masih relevan hingga hari ini.

Sutan Sjahrir

Sutan Syahrir. Foto: kemdikbud.go.id
Siapa yang menyangka bahwa perdana Menteri pertama bangsa Indonesia adalah seorang kiri. Sjahrir bersentuhan dengan pemikiran kiri ketika ia berkuliah di Leiden, Belanda. Ia mengaku tertarik dengan pemikiran sayap kiri seperti kubu sosial demokrat yang populer di Belanda karena dengan tegas menentang kolonialisme di Hindia. Semasa di Belanda, Sjahrir juga turut tergabung dalam organisasi berhaluan kiri seperti Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Dalam kancah nasional, Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis pada 19 November 1945 dan kemudian melakukan fusi dengan Partai Sosialis milik Amir Sjarifuddin dan menjadikannya Partai Sosialis Indonesia (PSI). PSI dalam periode demokrasi liberal, menjadi partai oposisi dari PKI meskipun keduanya menganut akar paham yang sama yaitu marxisme.
ADVERTISEMENT

Amir Sjarifuddin

Ilustrasi mengenai Jong Batak di kawasan museum Sumapah Pemuda, Jakarta. Kiri: Sanoesi Pane. Kanan: Amir Sjarifuddin. (foto: dokumen pribadi)
Amir merupakan satu-satunya dalam list yang berbeda dari yang lain. Ia adalah seorang Kristen dan bukan bagian dari pahlawan nasional. Meski begitu, kiprah dari Amir Sjarifuddin dalam mewujudkan kemerdekaan juga turut berpengaruh besar.
Salah satu jasanya adalah keterlibatan dalam kongres pemuda dua pada tahun 1928. Ia mewakili jong Batak dalam kongres pemuda itu yang kemudian melahirkan ikrar sumpah pemuda.
Di masa penjajahan Jepang, Amir mendirikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) demi perupayaan melawan fasisme dari negeri matahari terbit itu. Ia bahkan sampai dianggap berbahaya oleh Jepang dan ditangkap pada Januari 1943 dan menandakan terbongkarnya gerakan anti fasis Jepang.
Selain itu, Amir juga turut mendirikan Partai Sosialis (PARSI) yang kemudian fusi dengan Partai Rakyat Sosialis Sutan Sjahrir, menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI)
ADVERTISEMENT
Sayangnya Amir berbalik menjadi oposisi Sukarno-Hatta tak lama setelah ia diberhentikan sebagai perdana menteri kedua. Ia kemudian terlibat dalam aksi pemberontakan Madiun dan kemudian dieksekusi.
Sebenarnya masih banyak sekali tokoh pejuang kemerdekaan berhaluan kiri seperti Semaun, Wikana, Chaerul Saleh, dan lainnya. Kembali menegaskan bahwa upaya kemerdekaan juga turut disokong oleh para pemikir kiri yang bahkan nama-namanya cukup populer di telinga kita. Karena pada dasarnya, pemikiran kiri merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan kemerdekaan dari belenggu penjajahan dunia.