Sebab-Sebab Keruntuhan Khilafah Turki Utsmaniyah

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
18 Desember 2023 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wali Kota Yerusalem, Husayn Salim, dengan bendera putih, menyerahkan kota Yerusalem kepada tentara Inggris. (foto: gettysimages)
zoom-in-whitePerbesar
Wali Kota Yerusalem, Husayn Salim, dengan bendera putih, menyerahkan kota Yerusalem kepada tentara Inggris. (foto: gettysimages)
ADVERTISEMENT
Keruntuhan Khilafah Turki Utsmaniyah atau yang juga biasa dikenal sebagai Kekaisaran Ottoman, disebut-sebut sebagai akhir dari pemerintahan Khilafah Muslim secara global. Negeri yang telah berdiri sejak abad ke-14 itu telah memerintah dunia timur tengah bahkan sedikit wilayah Eropa selama masa kejayaannya. Namun tidak ada negeri yang bertahan selamanya, begitu juga dengan Utsmaniyah yang harus berakhir setelah lebih dari 600 tahun masa kejayaannya.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Khilafah Turki Utsmani mengalami keruntuhan, mulai dari faktor eksternal hingga faktor internal. Beberapa orang terutama muslim di beberapa wilayah luar Turki, menyebut bahwa sosok Mustafa Kemal Ataturk menjadi yang paling bertanggung jawab atas keruntuhan Utsmaniyah. Hal ini berkaitan dengan sistem republik yang dihadirkan oleh Ataturk dalam mereformasi Turki serta beberapa kebijakannya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun, warga Turki sendiri sangat mengkultuskan sosok Mustafa Kemal Ataturk atas perannya sebagai penyelamat bangsa Turki di masa lalu. Maka, melalui artikel ini penulis ingin mencoba untuk menjabarkan sebab-sebab keruntuhan Utsmaniyah melalui analisa historis dan sebisa mungkin untuk tidak subjektif. Berikut adalah beberapa sebab-sebabnya yang sudah penulis teliti melalui beberapa sumber kredibel:
ADVERTISEMENT
Perang dengan Rusia dan Permasalahan Balkan
Ilustrasi Sultan Abdulhamid II. (Foto: Shutterstock)
Memasuki abad ke-19, bibit-bibit kehancuran Utsmaniyah sudah terlihat dari hadirnya beberapa perang dan konflik internal. Pemerintahan Sultan Abdulhamid II menjadi tolak ukur atas perubahan dan kemunduran yang diterima oleh Utsmaniyah. Semasa pemerintahan Abdulhamid II, Utsmaniyah menerima total 3 perang yang berimplikasi atas penyusutan wilayah territorial. Yang pertama adalah perang dengan Kekaisaran Rusia, yang mengidamkan ibukota Utsmaniyah Istanbul (pada masa itu masih bernama Konstantinopel). Rusia merasa bahwa mereka adalah penerus dari Kekaisaran Bizantium serta pemimpin spiritual Gereja Ortodoks. Sudah sangat wajar jika kita melihat ambisi Rusia mengingat Istanbul di masa Bizantium merupakan pusat dari agama Kristen Ortodoks. Tidak hanya soal masalah budaya, ambisi Rusia menguasai Istanbul juga dipererat dengan faktor geostrategis dimana terdapat dua selat yang mampu menghubungkan Laut Hitam dan Laut Tengah, yakni Selat Bosporus dan Selat Dardanella. Rusia yang kesulitan dalam masalah Pelabuhan hangat, sangat mengidamkan Istanbul yang memiliki sarana penghubung dua laut. Maka dengan beberapa alasan tersebut, Rusia menyatakan perang terhadap Utsmaniyah pada April 1877.
ADVERTISEMENT
Sultan Abdulhamid II yang tidak bisa menahan serangan Rusia lalu memutuskan untuk genjatan senjata dengan Rusia di Januari 1878. Atas kekalahan Utsmaniyah itu, diadakan kongres Berlin demi membahas permasalahan perang Turki-Rusia, dan Utsmaniyah terpaksa harus kehilangan 2/5 dari wilayahnya di Balkan dan Anatolia Timur yang meliputi Kars, Ardahan, dan Batum, kepada Rusia. Tidak hanya itu, Utsmaniyah juga terpaksa melepas beberapa wilayahnya kepada negara-negara Eropa seperti Inggris yang memang berhasrat menguasai daerah Arab dan Anatolia. Utsmaniyah lalu kehilangan Tunisia kepada Prancis, dan Siprus kepada Inggris, bahkan setelah krisis Mesir di 1882, Inggris berhasil menempatkan wilayah Otonom Utsmaniyah Mesir dibawah kekuasaan kolonialnya. Atas kerugian besar itu, Sultan Abdulhamid II memutuskan menggerakan pemerintahannya kearah otoriter demi menjaga wilayahnya untuk tidak jatuh ke tangan asing lagi. Gaya pemerintahan Abdulhamid II ini kemudian menyebabkan diskriminasi dan penindasan terhadap bangsa minoritas di seluruh wilayah Utsmaniyah.
Ilustrasi Sultan Abdulhamid II (Foto: Shutterstock)
Kekalahan Utsmaniyah atas Rusia disebabkan mandegnya modernisasi di Utsmaniyah. Pemerintahan Sultan dinilai kurang modern sehingga menyebabkan Utsmaniyah ketinggalan zaman dan kerap diserang oleh kelompok nasionalis yang menuntut pemisahan atau wilayah otonomnya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan dua perang yang terjadi setelah perang Turki-Rusia, yakni Perang Balkan I (1912-13) dan Perang Balkan II (1913). Negara-negara Balkan yang diduduki oleh Utsmaniyah merasa bahwa negeri ini telah sekarat, karenanya juga Utsmaniyah mendapatkan julukan “Orang Sakit di Eropa”. Maka dari itu, muncul sebuah gerakan nasionalis separatis untuk memisahkan diri dari pemerintahan Sultan dan mengembalikan negerinya kembali.
ADVERTISEMENT
Adalah Liga Balkan yang menjadi sebab utama Perang Balkan I. Kelompok yang diikuti oleh beberapa negara Balkan meliputi Serbia, Yunani, Montenegro, dan Bulgaria, kemudian bersatu melawan Utsmaniyah. Ditambah dengan serangan Italia yang mengincar wilayah Libia juga memperburuk situasi bagi Utsmaniyah. Hasil akhirnya adalah kekalahan bagi Utsmaniyah yang lagi-lagi melepaskan wilayah teritorinya kepada negara-negara Balkan bahkan termasuk Kota Edirne yang menjadi Kota Kelahiran Gerakan Turki Muda. Edirne baru berhasil direbut oleh Utsmaniyah ketika Perang Balkan II meletus dan memecah kesatuan negara-negara Balkan. Pada momen ini, Utsmaniyah berhasil merebut kembali Edirne dari tangan Bulgaria berkat pimpinan seorang perwira militer Turki Muda, Ismail Enver yang kemudian menerima gelar Pasha atas pencapaiannya menaklukan Edirne.
ADVERTISEMENT
Konflik Internal: Revolusi Turki Muda dan Isu Minoritas
Enver Pasha dan Cemal Pasha, dua dari tiga CUP Turki Muda yang memerintah Utsmaniyah. (foto: gettyimages)
Konflik internal didalam Khilafah juga kerap disebut sebagai biang dari keruntuhannya. Terdapat beberapa konflik internal yang menjadi poin penting seperti pergerakan Turki Muda dan isu bangsa minoritas. Yang pertama, mari kita bahasa soal Turki Muda. Organisasi ini merupakan koalisi oposisi rezim Abdulhamid II yang diisi oleh pemuda progresif dan bertujuan untuk mengembalikan sistem pemerintahan konstitusional di Utsmaniyah. Salah satu komite yang paling menonjol dalam gerakan Turki Muda adalah Komite Persatuan dan Kemajuan (CUP: Committee of Union and Progress).
Aksi revolusi Turki Muda kemudian meletus di pertengahan tahun 1908, dimana terdapat aksi tuntutan pembentukan pemerintahan konstitusional. Melihat aksi tuntutan yang terus bergejolak selama 3 minggu, Abdulhamid II lalu memutuskan untuk menuruti tuntutan dan mendirikan pemerintahan konstitusional usai berdebat bersama menteri-menterinya. Dengan didirikannya model monarki konstitusional di Utsmaniyah, menjadikan pergerakan Turki Muda dipuji oleh masyarakat karena dianggap telah mengobarkan api revolusi. Dalam aksi ini, terdapat 3 tokoh CUP Turki Muda yang disebut paling berpengaruh selama menjalankan aksi, yakni: Ismail Enver, Ahmet Cemal, dan Mehmed Talat. Ketiganya disanjung oleh masyarakat karena berhasil membawa Utsmaniyah menjadi lebih demokratis.
Talat Pasha, salah satu dari tiga CUP Turki Muda yang memerintah Utsmaniyah. (foto: gettyimages)
Meski menyetujui pembentukan pemerintahan konstitusional, Abdulhamid II sejatinya tidak menyenangi sistem ini. Satu tahun setelah revolusi, musuh-musuh CUP dan Sultan sendiri kemudian merancang aksi kontra-revolusi yang dibentuk melalui angkatan perang pertama Utsmaniyah yang masih setia kepada Sultan. Namun, aksi kontra-revolusi ini berhasil ditangani oleh “Pasukan Aksi”, sebuah korps berisikan loyalis Turki Muda yang dipimpin oleh Mayor Ahmed Niyazi. Pada 27 April 1909, kontra-revolusi berhasil dipadamkan dan Abdulhamid II digulingkan dan digantikan oleh adiknya, Mehmed Reshad dengan gelar Sultan Mehmed V, sebagai khalifah baru Utsmaniyah.
ADVERTISEMENT
Mehmed V tidak sepenuhnya memerintah. Ia hanya berperan sebagai Khalifah Muslim global dan popular figurehead, sementara yang memerintah secara keseluruhan adalah Wazir Agung atau Perdana Menteri serta CUP Turki Muda sendiri. Bahkan, memasuki tahun 1913, Wazir Agung Said Halim Pasha menunjuk 3 pentolan CUP, yakni Enver, Cemal, dan Talat (yang kala itu ketiganya telah menerima gelar Pasha), sebagai triumvirate CUP Turki Muda dalam pemerintahan. Periode ini disebut juga dengan Three Pashas Gouvernment. Di periode ini Utsmaniyah kembali menerima banyak konflik internal terkait permasalahan bangsa minoritas.
Potret genosida bangsa Armenia di sekitaran tahun 1915-1916. (foto: gettyimages)
Sempat terpikir bagi para bangsa minoritas di Utsmaniyah bahwa kehadiran Turki Muda yang progresif akan membawa kesejahteraan dan demokrasi yang lebih kental. Namun, nyatanya tidak seindah itu. Terdapat dua konflik besar yang meliputi bangsa minoritas, yakni konflik dengan bangsa Armenia yang berujung pada genosida dan bangsa Arab yang berakhir dengan revolusi Hijaz yang dipimpin Sharif Hussein.
ADVERTISEMENT
Terkhusus bangsa Armenia, sesungguhnya telah mengalami konflik dengan Abdulhamid II di akhir abad 19. Bahkan banyak orang Armenia yang ditargetkan untuk dibantai. Hal ini karena sikap otoritas Sultan yang melihat gerakan nasionalis Armenia sebagai gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari Utsmaniyah dan mendirikan negara sendiri. Sejak lama, Armenia memang telah mengalami diskriminasi, terkhusus di rezim Abdulhamid II, sehingga banyak pentolan Armenia yang menuntut wilayah otonom atau kemerdekaan bagi bangsa mayoritas Kristen itu.
Kehadiran Turki Muda awalnya disambut baik oleh bangsa Minoritas akibat janji-janji yang diberikan oleh petinggi CUP perihal perdamaian dengan bangsa Armenia. Namun, lagi-lagi tak seindah itu. Enver Pasha adalah seorang yang mirip dengan Abdulhamid II. Ia akan mengutamakan kejayaan dibanding kemanusiaan. Melihat gerakan separatis nasionalis Armenia, Enver bersama Cemal dan Talat segera mengirim pesan perdamaian agar bangsa Armenia tidak memisahkan diri dan memilih untuk merdeka atau bergabung dengan Rusia yang memiliki kesamaan agama dengan mereka. Awalnya Armenia setuju dengan janji-janji 3 Pasha, namun semua berubah ketika memasuki perang dunia tepatnya di tahun 1915-1916. Kekalahan Utsmaniyah di front timur melawan Rusia, dicurigai atas intervensi Armenia didalamnya. Mengingat Armenia merupakan bangsa yang memiliki banyak kesamaan terutama faktor agama dengan Rusia ditambah muncul desas desus pengkhianatan kelompok nasionalis Armenia, menyebabkan paranoia dari pemerintah Utsmaniyah bahwa pasukan Armenia telah membelot dan melaporkan segala rencana perang serta misi Khilafah terhadap Rusia. Hasilnya adalah genosida terhadap bangsa Armenia. Tidak ada angka resmi jumlah kematian namun diperkirakan mencapai angka 800.000 hingga 1.500.000 jiwa Armenia musnah akibat rezim 3 Pasha. Ironinya adalah, meskipun banyak merebut ratusan jiwa Armenia dengan aksi genosida, Utsmaniyah tetap mengalami kekalahan beruntun di front timur terutama di Kaukasus.
Kota Mekkah sebagai Kota Islam yang dikontrol oleh Keluarga Hashemite yang memberontak terhadap Utsmaniyah. (foto: gettyimages.com)
Orang-orang Arab juga turut membelot terhadap Utsmaniyah meskipun tidak berakhir tragis seperti Armenia. Namun, keluhan mereka sama dengan bangsa Armenia, yakni diskriminasi berlebihan atas perasaan paranoia pemerintah. Bangsa Arab memiliki sokongan dari sekutu Inggris untuk menjalankan aksi revolusi. Puncaknya adalah meletusnya aksi revolusi Arab di tahun 1916 yang dijalankan oleh Keluarga Hashemite pimpinan Sharif Hussein, seorang Sharif wilayah Hijaz yang juga mengontrol dua kota penting Islam: Mekkah dan Madinah. Aksi revolusi itu berhasil secara praktis dan sukses memukul mundur pasukan Utsmaniyah kembali ke Suriah, namun dunia muslim global melihat aksi revolusi Sharif Hussein sebagai perbuatan terkutuk karena memberontak terhadap khalifah Islam.
ADVERTISEMENT
Kekalahan Perang Dunia
Tentara Turki Utsmaniyah di Front Palestina. (foto: gettyimages)
Kegagalan Turki Utsmaniyah di perang dunia disebut sebagai faktor paling besar keruntuhannya menurut para pengamat. Dari awal memasuki perang di tahun 1914 bersama blok sentral, Utsmaniyah telah merenggut banyak kekalahan yang sia-sia. Sebut saja ekspedisi Kaukasus dan Sinai, yang menghabiskan banyak korban jiwa. Ditambah dengan beberapa pertarungan di akhir perang yang menyebabkan banyak wilayah strategis Arab berhasil direbut oleh sekutu. Mulai dari Kota Bagdad di Irak, Wilayah Suriah, hingga yang paling mencengangkan adalah kejatuhan Yerusalem di Palestina yang berujung pada deklrasi Balfour di tahun 1917 berisikan pernyataan deklrasi atas dukungan zionisme dan Palestina sebagai tempat kembali orang-orang Yahudi. Kita mengenal wilayah ini sebagai Israel di masa modern.
ADVERTISEMENT
Meskipun Utsmaniyah telah menunjukkan kemampuan bertarung mereka dan dibuktikan dengan kemenangan di Dardanella dan Gallipoli yang dipimpin Mustafa Kemal Pasha, juga kemenangan di front Mesapotamia terhadap serangan Inggris dari Basrah, Utsmaniyah tidak bisa menahan banyaknya serangan bertubi-tubi blok sekutu yang semakin bertambah banyak. Revolusi Bolshevik di Rusia memang sempat membuat Utsmaniyah bernapas sejenak, namun hal itu diperumit dengan kekalahan Jerman serta Austria-Hungaria di front barat dan bergabungnya Yunani ke blok sekutu, menyebabkan wilayah barat daya Anatolia harus dianeksasi.
Alur perang dunia menyebabkan Utsmaniyah harus mengalami keruntuhannya. Perjanjian Versailles 1918 turut mengakhiri perang besar itu dengan kekalahan blok sentral. Maka, wilayah Utsmaniyah yang sudah diidamkan bangsa-bangsa Eropa mulai di klaim oleh sekutu. di Anatolia sendiri, seluruh wilayah strategis berhasil di klaim oleh sekutu Inggris, Prancis, Italia,Yunani, dan bahkan Armenia. Menyisakan wilayah Anatolia Tengah seperti Ankara yang tidak memiliki nilai fungsi dimata Eropa. Pembagian wilayah ini resmi ditandatangani di perjanjian Sevres tahun 1920. Alasan Sultan Mehmed VI (yang telah menggantikan Sultan Mehmed V) melakukan ini semua adalah demi keselamatan khilafah dan yang ia yakini adalah penyerahan wilayah demi menuruti perintah Inggris yang menjanjikan perdamaian di suatu hari nanti.
Mustafa Kemal Pasha bersama pendukungnya semasa perang kemerdekaan Turki melawan Yunani di tahun 1922. (foto: gettyimages)
Di masa-masa sulit ini, seorang perwira militer Utsmaniyah sekaligus pahlawan pertempuran Gallipoli, Mustafa Kemal Pasha memilih untuk tidak menuruti sekutu. Ia kemudian mendirikan gerakan nasional bangsa Turki di Ankara pada tahun 1919, dengan tujuan mengusir seluruh sekutu Imperialis. Pada awalnya, Mustafa Kemal mewakili Utsmaniyah dalam gerakan nasionalnya, namun penandatangan perjanjian Sevres dinilai Mustafa Kemal beserta pendukungnya sebagai hal yang tak bisa ditoleransi. Pakta Nasional Mustafa Kemal lalu menggunakan identitas Turki sebagai gerakannya, bukan lagi sebagai Utsmaniyah. Maka dimulailah perang kemerdekaan Turki di tahun 1920 yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha.
ADVERTISEMENT
Akhir dari perang kemerdekaan ini adalah perjanjian Lausanne 1923 yang ditandangani kelompok nasionalis Mustafa Kemal dengan pihak sekutu. Perjuangan Mustafa Kemal dalam mengusir seluruh “penjajah” Turki kemudian berakhir dengan pendirian negara Republik Turki yang diproklamirkan pada 29 Oktober 1923. Republik baru ini juga turut mendapatkan simpati dan pengakuan Internasional. Parlemen Turki lalu menobatkan Mustafa Kemal dengan gelar Ataturk yang memiliki arti “Bapak Bangsa Turki” atas perannya dalam mendirikan Republik Turki dan mengusir penjajahan sekutu.
Kesimpulan
Potret Mustafa Kemal Ataturk, bapak bangsa Turki, berdiri diatas panggung tengah melihat sebuah parade. (foto: gettyimages)
Khilafah Utsmaniyah sejatinya memang telah ditakdirkan untuk berakhir dan ditinggal oleh zaman. Mulai dari kekalahan atas Rusia pada tahun 1878 hingga kekalahan di perang dunia, sejarah membuktikan bahwa khilafah ini tidak bisa berkembang lagi. Cukup sudah kejayaan Utsmaniyah di masa lalu, dimana Mehmed II berhasil menaklukan Konstantinopel dan memulai ekspansi ke Eropa. Namun waktu terus bergerak. Suatu negeri juga harus bisa beradaptasi dengan zaman jika ingin bertahan, dan itu tidak dilakukan lebih dini oleh Utsmaniyah yang konservatif dan menolak liberalisasi. Akhirnya adalah keruntuhan dan peralihan ke pemerintahan Republik. Dan kiranya, apa yang Mustafa Kemal lakukan merupakan langkah yang tepat dalam menyelamatkan bangsa Turki yang hampir kehilangan seluruh wilayahnya. Maka penulis katakan bahwa Mustafa Kemal adalah penyelamat Turki di tengah pemerintahan Utsmaniyah yang ingin melepaskan wilayahnya demi janji kosong Inggris.[]
ADVERTISEMENT