Konten dari Pengguna

Sejarah Ditulis Penguasa, Bukan oleh Pemenang?

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
30 Juli 2023 14:16 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku sebagai gambaran buku sejarah (foto: pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku sebagai gambaran buku sejarah (foto: pexels.com)
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas mungkin sudah sering didengar oleh telinga banyak orang. Kutipan yang dikutip oleh Mantan Perdana Menteri Britania Raya itu sering menjadi bahan perdebatan bagi segelintir peneliti sejarah maupun rumpun ilmu humaniora yang lain. Pertanyaan yang sering muncul di benak kita sebagai pengamat: “Apa benar sejarah hanya ditulis oleh para pemenang?”
ADVERTISEMENT
Dalam artikel ini, penulis akan mencoba untuk menguak opini pribadi penulis terkait pernyataan Churchill yang satu itu. Kita akan berfilsafah bersama mengenai makna sejarah, penulisan sejarah atau historiografi, dan juga mengapa sejarah sebenarnya tidak selalu ditulis oleh pemenang.
Tentunya dengan sedikit pemahaman penulis sebagai mahasiswa ilmu sejarah sekaligus pengamat kesejarahan baik skala nasional maupun internasional.

Siapa Itu sang Pemenang?

Pertama-tama sebelum kita menyelam lebih jauh, pembaca sekalian harus memahami apa makna dari kutipan Churchill diatas. “Sejarah ditulis oleh pemenang”. Setidaknya ada sedikit gambaran dari pemahaman sekilas bukan mengenai kalimat tersebut?
Dari kalimat itu, dapat kita pahami bahwa penulis atau peneliti sejarah yang menulis Historiografi hanya didasarkan pada pemenang. Siapa yang dimaksud pemenang itu? Mungkin ada beberapa versi soal pemenang yang dimaksud tapi yang sangat menjurus dalam konteks ini jelas pertarungan politik.
ADVERTISEMENT
Politik atau ilmu yang berkaitan pada kekuasaan dan upaya-upaya perebutannya sangat mencolok di pelbagai negeri di muka bumi ini. Misalnya pertarungan politik di Rusia pada sekitar tahun 1917, dimana kubu Bolshevik mencoba untuk mengambil alih pemerintahan yang telah diambil oleh kubu Menshevik dari otoritas Tsar.
Contoh lainnya ada di negeri kita sendiri. Tahun 1965 hingga 1966 menjadi tahun-tahun yang amat fatal bagi lembar sejarah Indonesia. Terdapat turbulensi politik dan peralihan dari orde lama menuju orde baru. Pergantian kekuasaan Sukarno yang digencarkan oleh suatu aksi kudeta berencana yang hingga kini masih diperdebatkan siapa sosok di baliknya.
Malam berdarah yang menyebabkan terbunuhnya 6 Jenderal dan 1 perwira TNI AD menjadi sebuah gerakan yang mengubah sejarah untuk selama-lamanya. Pertanyaan yang sering muncul adalah siapa sebenarnya pelaku peristiwa itu? Apa benar PKI yang bertanggung jawab penuh terhadap penculikan jenderal dan merekalah yang merencanakan kudeta?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan itu sudah cukup sering dipertanyakan secara klise oleh orang banyak, namun pernahkan terlintas di benak pembaca sebuah pertanyaan yang menanyakan: “Apa sejak saat itu, rezim Soeharto yang mengontrol penuh penulisan sejarah di tanah air? Bagaimana jika PKI berhasil dalam aksi G30S-nya? Apakah justru kubu Komunis yang menulis alur sejarah?
Ilustrasi dolar dan bendera Amerika Serikat sebagai gambaran pemenang dalam penulisan sejarah adalah mereka yang memenangkan kontes politik. (foto: pexels.com)
Dari segala pemikiran-pemikiran ini muncul suatu kesimpulan tanpa sadar bahwa pernyataan Churchill itu benar adanya. Karena memang alur sejarah berhasil ditulis oleh rezim Soeharto dengan penuh subjektivitasnya.
Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) menjadi sebuah buku yang merupakan kiblat dalam sejarah Indonesia. Terdapat 6 jilid dalam SNI namun yang justru jadi kontroversial adalah jilid keenam yang dinilai sangat subjektif terhadap pihak TNI AD. Mulai dari aksi patriotik Jenderal Sudirman yang sangat dibesar-besarkan hingga peristiwa G30S yang secara langsung menunjuk PKI sebagai dalang utamanya.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini terlebih di era reformasi, mulai muncul teori berbagai versi G30S, sehingga membuka lebar mata segelintir warga dalam melihat perspektif lain dari tragedi itu, dan tentu tidak menjustifikasi PKI sebagai dalangnya. Karena sejatinya, peristiwa G30S masih belum bisa diungkap motif asli beserta dalang pelakunya.
Dari sini kita baru saja menyadari bahwa selama ini, sejarah tidak ditulis secara metodologi penelitian yang tepat, melainkan dengan unsur keberpihakan dari pihak pemenang dari pertarungan politik di 1965-1966, yakni Soeharto. Sehingga membuat kita menyadari bahwa memang sejarah ditulis oleh pemenang.

Yakin, Sejarah Ditulis oleh Pemenang?

ilustrasi pria dengan mimik ragu sebagai gambaran rasa skeptis terhadap pernyataan Churchill tersebut. (foto: Pexels.com)
Sesuai judul dari sub-bab artikel ini, apa pembaca sekalian merasa yakin bahwa sejarah ditulis oleh pihak yang memenangkan pertarungan politik? Bagaimana dengan buku-buku pelurusan sejarah melalui sudut pandang mantan PKI? Bukankah mereka berada di pihak yang kalah?
ADVERTISEMENT
Atau buku-buku soal kolonialisasi Belanda di Indonesia yang menyebutkan bahwa masa penjajahan mereka di negeri ini hingga berumur 350 tahun. Padahal secara historis, awal kedatangan bangsa Belanda di Nusantara itu berdagang, bukan melakukan kolonialisasi.
Negara kolonial Hindia Belanda sendiri baru berdiri di 1816, alias hanya 126 tahun saja masa penjajahan mereka. Namun kenapa kita masih percaya bahwa penjajahan Belanda berlangsung selama 350 tahun?
Ini ada sangkut pautnya dengan historiografi kolonial yang ditulis oleh orang Belanda. Ingat, orang Belanda! Mereka pihak yang kalah bukan pada akhirnya? Mengapa tulisan mereka soal sejarah justru yang kita pakai hingga hari ini?
Terdapat satu pernyataan dari diri penulis yang ingin menegaskan bahwa sejatinya, sejarah tidak selalu ditulis oleh pemenang, melainkan ditulis oleh penguasa. Lho, bukankah penguasa itu sama saja dengan pemenang dalam pertarungan politik?
ADVERTISEMENT
Kiranya baik penguasa maupun pemenang memiliki makna yang sedikit berbeda, dan penulis akan meletakkan makna penguasa dalam hal yang lebih luas. Yakni tidak harus penguasa dalam negara, melainkan bisa saja penguasa dalam suatu partai, penguasa dalam suatu organisasi, penguasa dalam suatu komunitas, dan sebagainya.
Misalnya penulis beri contoh negara Jepang. Negeri matahari terbit itu jelas mengalami keterpurukan dalam Perang Dunia 2 usai Hiroshima dan Nagasaki di leburkan bom atom. Dalam skala internasional, Jepang adalah pihak yang kalah, akan tetapi apakah Jepang menulis sejarah sesuai dengan fakta sejarah yang ada?
Belum tentu! Beberapa survei dan tanya jawab terhadap murid sekolah di Jepang soal kesejarahan, banyak dari mereka yang tidak pernah tahu bahwa Jepang pernah menjajah Indonesia. Bukankah seharusnya Jepang memberikan kurikulum sejarah yang objektif dan mau mengakui aksi imperialisme fasis mereka di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dari kasus Jepang ini, kita dapat menyadari bahwa sejarah tidak ditulis oleh pemenang, melainkan oleh penguasa dari suatu negara tertentu.
Ilustrasi bom atom yang menggambarkan peristiwa Hiroshima dan Nagasaki. (foto: Pexels,com)
Kita ambil contoh lain lagi dan kita akan kembali ke negeri sendiri. Pasca reformasi, gerakan kiri yang dulu pernah dimusnahkan semasa orde baru mulai bangkit perlahan-lahan. Dari setiap organisasi sayap kiri ini memiliki penjelasan sejarahnya masing-masing.
Jika orde baru menyudutkan PKI sebagai pelaku utama G30S, maka jelas sayap kiri menolak argumen itu. Orang-orang ini menjelaskan sudut pandang lain misal dari perspektif internal TNI AD atau keterlibatan CIA AS dalam G30S.
Mereka juga punya sudut pandang lain terhadap peristiwa Madiun 1948 dengan menyebut aksi FDR Musso itu bukan bentuk pemberontakan. Dari sini, Sejarah kemudian ditulis oleh para penguasa organisasi sayap kiri yang sejatinya telah kalah dalam partisipan politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kita coba sudut pandang lain lagi, yakni dari kubu Islam Radikal. Penulis kerap berbenturan dengan beberapa orang yang identik dengan Islam radikal sehingga penulis mengerti bagaimana penjelasan sejarah dan pelbagai doktrinnya bisa merasuki tiap anggota maupun eksternal.
Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat sisi lain sejarah mengenai masuknya Islam di Jawa yang menurut mereka tidak datang dari peran Wali Sanga. Maju ke depan, kita juga bisa melihat sisi kelam dari peristiwa Madiun 1948 dari sudut pandang kaum Islam Radikal yang mengecam segala aksi-aksi PKI yang membantai banyak ulama muslim di Madiun beserta bupati sekitarnya.
Begitu juga dengan orang-orang kontra revolusioner yang menolak PKI, juga ikut dibasmi habis. Hal ini terdapat perbedaan subjektivitas antara kaum kiri dan kaum Islam radikal, sehingga menimbulkan banyak versi penulisan sejarah dan sukar ditemukan siapa yang benar.
ADVERTISEMENT

Ditulis Seobjektif Mungkin Adalah Jalan Keluar yang Baik

ilustrasi pria yang menulis di kertas sebagai gambaran penulisan sejarah yang objektif. (foto: pexels.com)
Satu kata yang meliputi penulisan sejarah adalah subjektivitas. Menulis sejarah itu kental akan unsur subjektivitasnya terbukti dari berbagai macam versi perbedaan penulis dari tiap-tiap penguasa suatu instansi kecil maupun besar. Penulis kira, jalan terbaik dalam menulis sejarah adalah dengan ditulis seobjektif mungkin.
Memang dalam historiografi, unsur subjektivitas pasti sangat kental. Namun menurut hemat penulis, bergerak menuju objektivitas sejarah adalah yang terbaik. Karenanya, tidak sembarang orang bisa melakukan penelitian terhadap sejarah. Para sejarawan dan pengamat sejarah juga belum tentu bisa melaksanakan metode serta metodologi penelitian yang tepat.
Apalagi dengan para penguasa yang menulis sesuai keinginan mereka tanpa perlu melihat banyak sumber lainnya. Seakan-seakan sejarah ditulis seenak jidat tanpa tahu malu meletakkan unsur faktualitasnya. Selagi ada subjektivitas yang sangat berlebihan, maka kesesatan akan selalu membersamai di tiap lembar sejarah.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, mulai banyak komunitas sejarah yang mendukung penelitian sejarah secara metodologi yang tepat dengan unsur objektivitas setinggi mungkin. Mereka-mereka yang harusnya bisa menjelaskan sejarah dengan baik kepada khayalak ramai.
Dan kiranya para sejarawan ini sangat amat diharapkan bisa menulis secara objektif sejarah nasional Indonesia untuk kurikulum siswa sekolah. Karena hingga hari ini, kurikulum sekolah dari SD hingga SMA masih terpatok pada unsur orde baru yang subjektif.
Dengan begitu justru para siswa tidak bisa melihat fakta sejarah yang benar dan akan terus tenggelam pada kesesatan, dan ini akan sangat disayangkan bagi masa depan ilmu sejarah dan humaniora.