Konten dari Pengguna

Puasa dan Politik: Menemukan Nilai di Balik Ritual

Abrar M Dawud Faza
WAKIL REKTOR II UIN SUMATERA UTARA MEDAN KATIB SYURIAH PWNU SUMUT DOSEN DAN PENELITI BIDANG SOSIAL KEAGAMAAN, TASAWUF, FILSAFAT ISLAM, PEMIKIRAN ISLAM, TEOLOGI ISLAM, KEMANUSIAAN DAN MULTIKULTURALISME
17 Maret 2025 11:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar M Dawud Faza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bulan Ramadhan | Sumber: pexels
zoom-in-whitePerbesar
Bulan Ramadhan | Sumber: pexels
ADVERTISEMENT
Puasa, khususnya dalam agama Islam, sering dipahami sebagai ibadah spiritual yang penuh makna personal: menahan diri dari makan, minum, dan hawa nafsu dari fajar hingga senja. Namun, jika kita telisik lebih dalam, puasa bukan sekadar ibadah individual. Di balik praktiknya yang sederhana, tersimpan nilai-nilai sosial dan politik yang mendalam serta relevan dengan kehidupan bermasyarakat. Puasa tidak hanya membentuk karakter pribadi, tetapi juga mencerminkan sistem nilai yang jika diterapkan dalam ruang publik, dapat membangun tatanan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
ADVERTISEMENT
Salah satu pelajaran utama dalam puasa adalah kesetaraan. Ketika seseorang berpuasa, status sosial, kekayaan, dan jabatan tidak lagi menjadi pembeda. Semua orang, tanpa kecuali, mengalami rasa lapar dan haus yang sama. Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa pada hakikatnya manusia adalah setara, sesuatu yang juga menjadi prinsip dasar dalam sistem demokrasi. Dalam kehidupan politik, prinsip ini menjadi kritik tersirat terhadap ketimpangan sosial yang masih banyak terjadi. Jika nilai kesetaraan yang diajarkan dalam puasa benar-benar dipahami dan diterapkan, maka politik bisa menjadi sarana untuk menciptakan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan bersama.
Puasa juga mengajarkan disiplin dan pengendalian diri, dua nilai yang sangat penting dalam dunia politik. Seorang yang berpuasa harus mampu menahan diri dari godaan dan berkomitmen terhadap aturan yang telah ditetapkan. Dalam konteks kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan, kemampuan untuk mengendalikan diri menjadi sangat krusial dalam menghadapi godaan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan pribadi. Lihat saja bagaimana banyak pejabat publik yang terjerat kasus korupsi karena tidak mampu menahan godaan uang dan kekuasaan. Jika prinsip menahan diri dalam puasa diterapkan dalam politik, maka pemimpin akan lebih mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Selain membentuk karakter individu, puasa juga memperkuat solidaritas sosial. Tradisi berbagi saat berbuka puasa menjadi simbol kebersamaan yang mendalam. Dari aksi bagi-bagi makanan gratis di masjid hingga gerakan sosial yang mengumpulkan donasi untuk kaum miskin. Di Indonesia, misalnya, banyak organisasi kemanusiaan yang semakin aktif selama Ramadan dalam memberikan bantuan kepada masyarakat yang kurang mampu. Solidaritas ini, jika diterapkan dalam kehidupan politik, akan menciptakan pola kepemimpinan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan bersama. Sayangnya, politik modern sering kali dipenuhi dengan persaingan yang destruktif dan perebutan kepentingan, sehingga nilai solidaritas kerap terpinggirkan.
Lebih jauh, puasa juga bisa menjadi bentuk perlawanan tanpa kekerasan terhadap ketidakadilan. Sejarah menunjukkan bahwa aksi mogok makan telah digunakan sebagai bentuk protes dalam berbagai perjuangan politik di seluruh dunia. Tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela menggunakan strategi ini sebagai alat perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan. Bahkan, di era modern, kita melihat aksi mogok makan yang dilakukan oleh aktivis politik untuk menekan pemerintah dalam menegakkan keadilan. Dalam konteks yang lebih luas, puasa mengajarkan umat manusia tentang pentingnya ketahanan dan kesabaran dalam menghadapi tantangan. Dalam politik, ketahanan seperti ini sangat diperlukan, terutama bagi mereka yang memperjuangkan keadilan di tengah tekanan dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
Namun, dimensi politik dalam puasa tidak selalu bernilai positif. Dalam praktiknya, nilai-nilai religius seperti puasa sering kali dimanfaatkan oleh aktor politik untuk kepentingan pragmatis. Narasi keagamaan kadang digunakan untuk memobilisasi massa atau memperkuat legitimasi kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa agama sering kali menjadi instrumen politik yang dapat digunakan untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu. Kita bisa melihat fenomena ini dalam banyak kampanye politik di berbagai negara, di mana simbol-simbol keagamaan digunakan untuk menarik dukungan massa, bukan karena niat tulus, melainkan demi kepentingan elektoral. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis terhadap upaya politisasi agama agar nilai-nilai murni yang terkandung dalam puasa tetap terjaga.
Selain itu, puasa juga mengajarkan konsep tanggung jawab moral dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang individu yang berpuasa belajar untuk menahan diri tidak hanya dari lapar dan haus, tetapi juga dari perbuatan yang merugikan orang lain. Dalam konteks politik, hal ini sejalan dengan konsep kepemimpinan yang berorientasi pada nilai-nilai moral dan etika. Pemimpin yang baik bukanlah mereka yang hanya mementingkan kekuasaan, tetapi juga yang mampu menahan diri dari kebijakan yang merugikan rakyat dan lebih mengutamakan kesejahteraan bersama.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah Islam, puasa juga menjadi momentum refleksi bagi para pemimpin dalam mengambil keputusan. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, dikenal sering berpuasa untuk merasakan penderitaan rakyatnya sebelum membuat kebijakan. Salah satu contoh nyata adalah ketika terjadi musim paceklik di Madinah, yang dikenal sebagai ‘Am al-Ramadah (Tahun Abu-abu). Saat itu, Umar menolak makan daging dan hanya mengonsumsi roti kering serta minyak, makanan yang sama dengan yang dikonsumsi oleh rakyat miskin. Ia ingin memastikan bahwa penderitaan yang dirasakan rakyatnya juga ia alami sendiri, sehingga kebijakan yang dibuat benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa puasa tidak hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai alat introspeksi bagi pemimpin agar lebih peka terhadap realitas sosial.
ADVERTISEMENT
Contoh serupa juga dapat ditemukan dalam kepemimpinan Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Dalam banyak kisah, diceritakan bahwa Salahuddin bukan hanya pemimpin militer yang ulung, tetapi juga pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Ia dikenal sering berpuasa tidak hanya dalam bulan Ramadan, tetapi juga di luar Ramadan sebagai bentuk pengendalian diri dan solidaritas dengan rakyatnya yang mengalami kesulitan ekonomi akibat peperangan. Baginya, puasa bukan sekadar ibadah, tetapi juga latihan empati untuk memahami penderitaan mereka yang dipimpinnya.
Jika kita tarik ke konteks kepemimpinan modern, nilai-nilai seperti ini tampaknya semakin terkikis. Dimana, para pemimpin cenderung hidup dalam kemewahan dan terpisah dari realitas keseharian rakyatnya. Mereka menetapkan kebijakan tanpa merasakan langsung dampaknya. Misalnya, ketika harga pangan naik, mereka tetap bisa menikmati makanan mewah tanpa kesulitan. Ketika rakyat merasakan kesulitan ekonomi, para pejabat tetap menikmati fasilitas negara yang nyaman. Kontras ini menunjukkan bahwa banyak pemimpin saat ini kehilangan esensi kepemimpinan yang berakar pada pengalaman langsung atas penderitaan rakyat.
ADVERTISEMENT
Puasa, jika benar-benar dihayati, seharusnya bisa menjadi sarana introspeksi bagi para pemimpin modern untuk lebih dekat dengan rakyatnya. Bayangkan jika pemimpin suatu negara, sebelum menaikkan harga bahan pokok atau memutuskan kebijakan yang berdampak luas, terlebih dahulu menjalani kehidupan seperti rakyat biasa. Dengan begitu, mereka tidak akan asal membuat kebijakan tanpa memahami kesulitan yang dihadapi rakyatnya. Sayangnya, politik modern lebih sering didominasi oleh kepentingan pragmatis dan keuntungan jangka pendek, sehingga nilai-nilai seperti pengorbanan, empati, dan keadilan sosial yang terkandung dalam puasa sering kali hanya menjadi simbol tanpa aplikasi nyata.
Seharusnya, nilai-nilai yang terkandung dalam puasa bisa menjadi pedoman bagi para pemimpin untuk lebih bijaksana, adil, dan peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Bukan hanya sebagai ritual tahunan yang dijalankan tanpa makna, tetapi sebagai momentum untuk merefleksikan kembali tujuan dari kepemimpinan: apakah benar-benar untuk melayani rakyat, atau hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok?
ADVERTISEMENT
Dengan semua nilai yang terkandung di dalamnya, puasa tidak hanya sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, tetapi juga sebuah refleksi sosial yang sarat dengan pesan kesetaraan, disiplin, solidaritas, dan ketahanan dalam menghadapi ketidakadilan. Jika nilai-nilai ini diterjemahkan ke dalam praktik politik yang nyata, maka bukan tidak mungkin kita dapat membangun sistem yang lebih adil, jujur, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Pada akhirnya, puasa tidak hanya membentuk individu yang lebih baik, tetapi juga dapat menjadi inspirasi dalam membangun tatanan sosial yang lebih bermartabat. Kini, tantangannya adalah bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diimplementasikan dalam sistem politik yang sering kali penuh dengan kepentingan dan ambisi kekuasaan. Jika puasa mengajarkan kita untuk menahan diri dari keinginan pribadi demi tujuan yang lebih besar, maka politik pun seharusnya dijalankan dengan semangat yang sama: mengedepankan kepentingan rakyat di atas segalanya.
ADVERTISEMENT