Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Tajdid NU di Abad Kedua: Gerakan Lokal dan Global
11 Februari 2025 6:51 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Abrar M Dawud Faza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kedigdayaan NU di abad kedua menggemparkan kelompok keagamaan dan dunia Internasional, pasalnya di tahun 2024 NU menginisiasikan tawaran Fikih Peradaban (Fiqh al-Hadharah) dan Humanitarian Islam (al-Islam li al-Insaniyah) untuk kemanusiaan global.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya ini bukanlah sebuah hal baru dalam kajian keislaman, akan tetapi gagasan besar ini muncul di saat dunia berpotensi mengalami eskalasi konflik menuju Perang Dunia ketiga. Sejumlah kawasan di belahan dunia menjadi titik fokus geopolitik global, dan sejumlah kekuatan bersaing untuk memperebutkan otoritas (authority) dan menjadi adidaya (super power).
Ketegangan Indo-Pasifik, konflik Timur-Tengah, perang dagang, perang militer, perang nuklir, perebutan teritorial, pengkudetaan, perbedaan ideologi-teologi, konflik minoritas-mayoritas, hingga genosida menjadi permasalahan yang kronis di kehidupan yang sudah modern dan serba digital di belahan dunia. Itu artinya masalah “kemanusiaan” dan “manusia” itu sendiri di dunia internasional tidak bisa diselesaikan dengan mudah.
Meski secara de jure sejumlah hukum internasional (international law) sudah disepakati dan diterbitkan, kehidupan manusia global tidak bisa diatur secara seksama. Begitu juga dengan kehadiran Mahkamah Internasional yang tidak bisa memberikan kepastian hukum dan menegakkan keadilan. Apalagi urusan “kemanusiaan” dan “manusia” global hanya dilegetimasi secara de facto (pengakuan).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil kajian pemberitaan dunia sebagaimana disebut Aljazeera Centre For Studies (2022) bahwa sejumlah konflik global mempercepat dunia multipolar, dimana perang dunia besar bisa terjadi dikarenakan setiap kekuatan merasa apatis (mementingkan kebaikan internal) dan mengabaikan kebaikan kolektif (kepentingan bersama).
NU memotret fenomena tersebut, dan tampil sebagai Influencer keagamaan global dan mengambil peran. Mengajarkan cinta dan mengedepankan kebijaksanaan dengan memanusiakan manusia. Bersikap toleran dalam hal beragama, menghormati sesama manusia dan mengambil langkah konkret untuk peradaban manusia.
Komite Hijaz dan Respons Keagamaan Global
Sedikit balik ke belakang, bahwa Komite Hijaz merupakan salah satu embrio lahirnya NU. Permasalahan keagamaan global yang sudah dihadapi oleh para Kiyai, Masyayikh, Pesantren, Tokoh Islam Indonesia ketika Dinasti Saud Arab Saudi berpaham Wahabi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah muslim dunia yang dianggap sebuah perbuatan mungkar (ingkar) dan bid’ah (mengada-ada). Serta ingin menerapkan paham keagamaan Wahabi sebagai paham keagamaan kerajaan dan menolak praktik paham keagamaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Mengetahui permasalahan tersebut KH. Abdul Wahab Chasbullah bergerak cepat untuk mengutus delegasi di acara Muktamar Dunia Islam di Makkah pada tahun 1926. Delegasi tersebut harus bisa mendesak Raja Ibnu Saud untuk melindungi dan memberikan kebebasan paham keagamaan lainnya, akan tetapi gagasan KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak direspon positif oleh tokoh-tokoh modernis Indonesia pada saat itu.
Dibuatlah langkah strategis oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan membentuk panitia sendiri yang kemudian populer dengan “Komite Hijaz” pada Januari 1926 yang sebelumnya sudah mendapatkan restu dari KH. Hasyim Asy’ari. Setelah mematangkan konsep, maka pada 31 Januari 1926 dibuatlah gerakan terukur oleh Komite Hijaz. Diundanglah para ulama terkemuka di Kertopaten Surabaya untuk memusyawarahkan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam dan sepakat menunjuk KH. Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.
ADVERTISEMENT
Permasalahan belum selesai, setelah KH. Raden Asnawi Kudus terpilih timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim KH. Raden Asnawi Kudus ? maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926.
Peristiwa tersebut menggambarkan peranan NU di kancah internasional, bahwa NU lahir bukan hanya merespons situasi masyarakat yang sedang terbelenggu, masalah sosial keagamaan lokal, tetapi juga membawa misi peradaban Islam.
Gus Dur dan Konflik Palestina-Israel
Sebagai Ketua Umum PBNU (1984-1999) Gus Dur yang memiliki nama Abdurrahman Wahid merupakan sosok kelas bangsawan dalam dunia pesantren, pasalnya nasab beliau tersambung kepada KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan merupakan sosok kiyai yang karismatik dan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia (1999-2001).
ADVERTISEMENT
Mengenai konflik Timur-Tengah antara Palestina dan Israel, Gus Dur sangat memahami sekali perasaan jasmani dan batin masyarakat Palestina. Hal ini yang mendasari Gus Dur ketika jadi Presiden Republik Indonesia mewacanakan hubungan diplomatik dengan Israel. Pikirannya sederhana, Indonesia tidak bisa berperan dalam perdamaian keduanya jika tidak menjalankan hubungan diplomatik dengan keduanya.
Ada motif lain sebenarnya yang dilakukan Gus Dur, dengan kata lain Gus Dur memerankan taktis. (1) Gus Dur tidak menginginkan Yahudi mengacaukan pasar modal, (2) meningkatkan posisi tawar Indonesia di kancah internasional. Inilah langkah Gus Dur yang tidak bisa orang lain pahami.
Dari gerakan tersebut Gus Dur sudah memahami pentingnya perdamaian (islah), saling berkasih sayang (marhamah) dan hidup dalam toleransi (moderat). Pemahaman mendalam ini bukan hanya dipraktikkan Gus Dur dalam panggung dunia, melainkan pada jenjang lokal. Gus Dur merupakan sosok pejuang yang membela hak-hak minoritas, melindungi setiap warga Negara, dan hidup tentram dalam berbagai perbedaan.
ADVERTISEMENT
NU dan Politik Luar Negeri Indonesia
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan nasional. Pada dasarnya prinsip ini membawa Indonesia tidak pada politik netral melainkan bebas dalam menentukan sikap untuk kepentingan Indonesia itu sendiri, akan tetapi regulasi ini akan jadi isu krusial ketika Indonesia membangun hubungan diplomatik kepada Negara penjajah seperti Israel. Konstitusi (UUD 1945) berbicara bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Perdebatan panjang berkenaan NU yang pada saat itu direpresentasikan oleh Gus Dur dianggap telah menyalahi aturan dengan berusaha membuka hubungan dengan Israel dan berujung pemakzulan dengan disahkannya TAP/II/MPR Tahun 2001. Hingga akhirnya pada September 2024 MPR mencabut TAP MPR tersebut, hal ini menunjukan stigma negatif terhadap Gus Dur melanggar konstitusi terbantahkan secara hukum.
ADVERTISEMENT
Peranan NU terhadap Politik Luar Negeri Indonesia sudah dilakukan pada masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama baik pada bidang keagamaan maupun secara politik. Begitu juga dari orde lama hingga sampai saat sekarang ini yang sudah banyak berdedikasi terhadap kemajuan Indonesia.
Meskipun pada tahun 2024 NU sangat menyesalkan 5 (lima) orang nahdliyyin yang bertemu Presiden Israel Isaac Herzog. Kendati kunjungan tersebut tidak atas nama NU atau organisasi, tetapi kunjungan itu dinilai sebagai tindakan yang tidak memahami kebijakan NU secara organisasi, perasaan warga NU dan tidak memahami geopolitik serta memperburuk citra NU di ranah publik.
Itu artinya NU secara organisasi tidak bersebrangan dengan Pemerintah Indonesia dalam kebijakan luar negeri, justru NU mendukung Pemerintah Indonesia dalam hal-hal yang membangun kemaslahatan dengan berpijak pada kaidah “al-muhafadzatu ala al-qadim al-salih wal aghzu bi al-jadid al-aslah” (menjaga hal terdahulu yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik lagi).
ADVERTISEMENT
Tajdid NU di Abad Kedua: Gerakan Lokal dan Global
NU sebagai sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia melakukan upaya adaptif. Dari yang awalnya ormas Islam tradisional menjadi ormas Islam modern, dari lokal menjadi nasional bahkan internasional, dari perlawanan terhadap penjajah hingga misi peradaban dunia. NU mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Hal tersebut dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur yang sudah dihidupkan dan dipraktikkan selama satu abad.
Secara lokal NU sudah memainkan peran keagamaan untuk menanamkan paham moderat, mengusir penjajah dan mitra Pemerintah Indonesia sebelum dan pasca merdeka. Budaya NU yang nyentrik di bidang pesantren membantu Pemerintah Indonesia dalam menjalankan amanah UUD 1945 dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa.
ADVERTISEMENT
NU tidak pernah mengkudeta Pemerintah yang sah, tidak pernah bertindak makar. Terlebih lagi filosofi “hub al-wathan min al-iman” (cinta tanah air bagian dari iman) sudah mengakar dari sebelum Indonesia merdeka. Dengan kata lain dari awal pendiriannya NU konsisten memperkuat bangsa dan Negara. Filosofi bola dunia di logo NU tetap menjadi filosofi pijakan bahwa NU peranannya akan tetap cemerlang di alam ini.
Tradisi lokal membawa NU harus siap bertransformasi ke setiap eranya, setiap zaman dan waktunya. Identitas Santri tidak hilang, identitas modern tidak lekang, karena sedari awal NU sudah mengadopsi prinsip menjaga yang baik dan mengambil yang lebih baik lagi (al-muhafadzatu ala Qadim ash-shalih walaghzu bi al-jadid al-ashlah) dan prinsip al-ashlah ila mahuwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah.
ADVERTISEMENT
NU memiliki “seni” dalam memainkan peran, melakukan inovasi dan trobosan spektakuler. Oleh karena itu nahdliyyin dituntut kreatif dan aktif. NU harus menjadi “fa’il” (subjek atau produsen) dan jangan menjadi maf’ul (objek atau konsumen). Gagasan Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam nusantara, Moderasi beragama sudah digaungkan di Indonesia, kini muncul Fikih Peradaban dan Humanitarian Islam.
Sebenarnya sudah dari lahir NU memikirkan ruang publik, ruang nasional dan ruang internasional hal ini untuk menggapai tujuan dari maqasid syariah itu sendiri dengan tetap menata nilai-nilai universal yang belum terjamah nilai Islam. Di usianya yang sudah lebih dari 1 abad, NU dituntut untuk membawa misi peradaban Islam, misi kemanusiaan, dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Quran dan Sunnah.
ADVERTISEMENT
Tentu pergerakan NU sudah dari dahulu mendapatkan rintangan, tidak heran NU dalam perjalanannya sampai di abad kedua mengalami tindakan represif. Ocehan dan cemoohan kaum tekstual dan Islam garis keras menyerang NU dari luar dan dalam, tetapi itu semua bisa dihadapi NU sampai saat sekarang ini.
Kini zaman berubah, pesan ilahi akan tetap terus di suarakan dan diimplementasikan. NU dihadapkan dengan persoalan filosofis, sosiologis, antropologis, empiris, Agamis serta kecerdasan buatan (AI). Di abad kedua, NU menata infrastruktur yang berdampak untuk alam raya, bukan hanya pada persoalan perbedaan mazhab, tetapi untuk kemaslahatan manusia, kelangsungan makhluk hidup, dan untuk alam raya ini.
Pendekatan politis, penyesuaian paradigma dan hal fundamental turut diperankan NU dalam membangun tata kelola peradaban, NU menjadi sumber mata air, NU seperti ungkapan “al-ilmu yu’ta wala ya’ti” (ilmu itu didatangi bukan ilmu yang mendatangi). NU menjadi rujukan Islam dunia dalam menjawab persoalan kemanusiaan, sains dan teknologi. Hingga pada akhirnya rujukan dunia terhadap gagasan dan ide Islam tidak hanya di Eropa, Afrika dan Asia Tengah. Tetapi juga datang dari Timur yaitu Indonesia.
ADVERTISEMENT
Semua itu bisa diwujudkan dengan beberapa cara seperti: NU harus jadi episentrum subjek dunia dalam mengatasi permasalahan global, ide dan gagasan NU terhadap permasalahan global harus terus dibicarakan dari tingkat lokal, nasional bahkan internasional, NU harus menggandeng lintas sektoral yang mendukung NU di kancah dunia, tokoh; kader; pengurus NU harus militan dalam soal-soal agama, kebangsaan dan kenegaraan, serta yang terpenting adalah untuk terus meningkatkan kualitas dibarengi kuantitas.
Belum lagi faktor internal dan eksternal yang lain yang bisa untuk memajukan NU di pentas global. Semua itu perlu dilakukan dan diusahakan sampai Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam.