Konten dari Pengguna

Akhir Kisah 5 Wabah Terganas dan Cara Manusia Menghentikannya

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
9 Mei 2020 16:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter wabah abad ke-17 | foto oleh Kuma Kum dari Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter wabah abad ke-17 | foto oleh Kuma Kum dari Unsplash.
ADVERTISEMENT
Banyak kerugian telah didapatkan manusia dari setiap kali wabah. Kenyataannya, meski beberapa pandemi baru memudar setelah memusnahkan banyak jiwa, tatkala waktunya tiba, kemajuan medis dan wawasan kesehatan masyarakat yang turut berkembang ternyata mampu menghentikan penyebaran penyakit ganas lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai ikhtisar, beginilah cerita akhir dari lima penyakit paling mematikan, yang merenggut banyak korban, dalam lini masa hidup manusia.

Wabah Justinian

Kredit Gambar: Wikimedia Commons
Yersinia pestis, sebelumnya bernama Pasteurella pestis, adalah bakteri tunggal yang bertanggung jawab terhadap Wabah Justinian. Gejalanya terlihat melalui kondisi yang menakutkan, dengan tangan penderita yang mengalami nekrosis.
Tangan yang jaringannya dirusak oleh bakteri itu terlihat menghitam; dan darah yang mengalir ke organ tersebut mulai berkurang.
Infeksi fatal ini tiba di Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium, pada tahun 541 Masehi. Diangkut melalui Laut Mediterania dari Mesir, wilayah yang baru saja ditaklukkan Bizantium untuk membayar upeti kepada Kaisar Justinian.
"Kutukan", begitu orang-orang kala dahulu menyebutnya. Sementara bagi kita yang hidup pada masa modern, akan menyebutnya pandemi mematikan. Yersinia pestis berasal dari kutu yang menempel pada tikus hitam. Hewan pengunyah biji-bijian dari upeti yang diberikan Mesir kepada Bizantium.
ADVERTISEMENT
Wabah Justinian menghancurkan Konstantinopel dan menyebar seperti api ke seluruh Eropa, Asia, Afrika Utara, dan Arab. Menewaskan sekitar 30 hingga 50 juta orang, sekitar setengah dari populasi dunia pada saat itu.
"Orang-orang tidak memiliki pemahaman yang nyata tentang bagaimana cara melawannya selain mencoba menghindari orang sakit (yang terinfeksi)," tutur Thomas Mockaitis, seorang profesor sejarah di Universitas DePaul, Amerika Serikat.
Sampai sekitar tahun 750 Masehi, penyakit ini terus kembali kepada setiap generasi di Mediterania. Karena sifatnya yang konsisten berulang, banyak ahli kemudian lebih cenderung menyebutnya "wabah" walau menyebar secara "pandemik". Gelombang penyakitnya memengaruhi segala aspek; mengubah berbagai arus sejarah.
"Mengenai bagaimana penyakit menular itu berakhir, tebakan terbaiknya adalah bahwa sebagian besar orang dalam pandemi entah bagaimana bisa bertahan hidup, dan mereka yang selamat memiliki kekebalan," ungkap Mockaitis.
ADVERTISEMENT
Satu dari sedikit manusia yang berhasil bertahan hidup itu adalah Justinian, Sang Kaisar Bizantium.

Wabah Hitam

Kredit Gambar: Wikimedia Commons
Hampir tujuh abad lalu, para dokter dan petugas medis dibuat kewalahan oleh penyakit pes yang menghancurkan Italia. Pada abad pertengahan itu, mereka menyebutnya "wabah hitam", orang-orang belum memiliki pengetahuan tentang virus atau bakteri. Tetapi, mereka sudah cukup menyadari bahwa ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghentikan penyebaran dan mengurangi jumlah korban tewas.
Segera setelah laporan kasus wabah muncul di kota-kota Italia, seperti di Venesia dan Milan, para pejabat menerapkan langkah-langkah kesehatan darurat. Kebijakan ini diberlakukan di beberapa tempat tertentu, seperti pelabuhan atau pasar, di mana orang-orang ramai berinteraksi dan sering kali menyentuh barang-barang dagangan.
ADVERTISEMENT
"Mereka tahu bahwa Anda harus sangat berhati-hati dengan barang-barang yang diperdagangkan, karena penyakit ini dapat menyebar pada benda dan permukaannya, dan bahwa Anda (pun harus) mencoba yang terbaik untuk membatasi kontak antara satu orang-orang," tutur Jane Stevens Crawshaw, dosen senior Sejarah Awal Eropa Modern di Universitas Oxford Brookes, Inggris.
Adriatic, wilayah pelabuhan di Ragusa yang dahulu dikuasai oleh Republik Venesia, adalah tempat pertama yang menegakkan aturan isolasi demi menghambat penyebaran wabah pes. Semua kru kapal yang baru berlabuh dilarang untuk turun dan mesti tetap berada di dalamnya (setidaknya sampai dapat diketahui bahwa mereka terbebas dari berpenyakit).
Dalam catatan arsip di Kota Dubrovnik (Ragusa pada saat ini), disebutkan bahwa pada tanggal 27 Juli 1377 Dewan Utama menyetujui aturan: “Yang menetapkan bahwa mereka yang berasal dari daerah yang terkena wabah tidak boleh memasuki (Ragusa) atau distriknya kecuali mereka menghabiskan (selama) sebulan di Pulau Mrkan atau di kota Cavtat, untuk tujuan disinfeksi."
ADVERTISEMENT
Dalam buku Expelling the Plague: The Health Office and the Implementation of Quarantine in Dubrovnik, 1377-1533, Zlata Blazina Tomic menulis bahwa beberapa sejarawan medis menganggap dekret isolasi Ragusa adalah salah satu pencapaian tertinggi ilmu medis pada abad pertengahan. Dengan memaksa isolasi selama 30 hari bagi para pelaut dan pedagang di kapalnya, pejabat Ragusa menegaskan pemahamannya tentang masa inkubasi.
Aturan isolasi selama 30 hari itu dikenal dengan istilah "trentino". Bagaimanapun, menurut Stevens Crawshaw, para dokter dan pejabat memiliki wewenang untuk mengurangi ataupun memperpanjang masa isolasi. Dalam praktiknya, aturan baru pun diberlakukan, para pelaut mesti menaati "quarantino" atau isolasi selama 40 hari.
Asal-usul istilahnya bermula dari kata quarantena (Italia) dan quarantaine (Prancis), yang menurut oleh Merriam Webster adalah persinggungan pengaruh yang kemudian menghasilkan kata quarantine dalam bahasa Inggris. Kemudian dalam padanan bahasa Indonesia, kita mengenalnya sebagai "karantina".
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian dari History, lama waktu 40 hari sebetulnya dipilih oleh para pejabat kesehatan karena memiliki makna simbolis dan keagamaan. Angka ini, bagi orang Kristen pada abad pertengahan, sangat lekat dengan firman-Nya. Ketika Tuhan membanjiri bumi, hujan turun selama 40 hari dan 40 malam dan Yesus pun berpuasa di padang belantara selama 40 hari.

Wabah Besar London

Kredit Gambar: Wikimedia Commons
Seakan dikutuk oleh ihwal mistis, London pada masa lalu hampir tidak sempat mengalami jeda dari kemalangan. Ibu Kota Inggris ini laiknya menerima tulah bertubi-tubi, terkhusus pada tahun 1665-1666, dua bencana yang berdampak sangat fatal datang sekaligus. Akan tetapi, ada satu pola janggal dalam hal ini: salah satu musibahnya justru dianggap "menyelamatkan".
Pertama ialah The Great Plague (Wabah Besar) yang disebabkan oleh infeksi bakteri yersinia pestis. Wabah dimulai pada awal musim semi tahun 1665 dan menewaskan sekitar 1.000 orang dalam waktu seminggu. Raja Charles II bahkan dipaksa meninggalkan kota akibat hal ini pada bulan Juli. Kemudian tingkat kematiannya memuncak pada September, ketika 7.165 orang meninggal dalam seminggu.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, tercatat 68.596 kematian akibat wabah besar di London (meski jumlah korban tewas sebenarnya kemungkinan melebihi 100.000 jiwa). Sebagian besar kematian ini berasal dari wabah pes, penyakit yang disebarkan melalui kutu yang menempel pada mamalia kecil, seperti tikus.
Setelah mengalami puncak kasus pada September, kematian akibat wabah itu mulai mereda pada akhir tahun 1665. Raja Charles II pun kembali ke London pada Februari 1666, yang menegaskan keyakinan bahwa kota itu telah "cukup aman".
Namun beberapa bulan kemudian, setelah perasaan aman itu menenangkan warga kota, London kembali dihantam musibah: sebuah kebakaran besar. Tepatnya pada malam tanggal 2 September 1666, adalah seorang tukang roti bernama Thomas Farriner yang tanpa sadar telah memulai tragedi ini.
ADVERTISEMENT
Tidak mudah diterima, tetapi Farriner memang tidak sengaja memulai bencana. Farriner menyalakan api di rumahnya yang kemudian secara tidak terkontrol berkobar ke segala penjuru, lalu dengan fantastis membakar lebih dari 13.000 rumah lainnya.
Kendati mendapatkan banyak sekali makian atas keteledorannya, Farriner juga mendapatkan apresiasi "terima kasih" secara aneh dari penduduk London. Satu mitos yang muncul pada saat itu adalah bahwa kobaran api yang hebat telah mengakhiri wabah besar, dengan cara mengusir tikus-tikus yang menyebarkan penyakit.
“Saya dibesarkan dengan mitos itu,” ungkap Adrian Tinniswood, peneliti senior dalam ilmu sejarah di Universitas Buckingham, Inggris, dan penulis buku By Permission of Heaven: The Story of the Great Fire. "Dahulu itu adalah jenis pembicaraan lumrah di sekolah pada tahun 60-an ketika saya tumbuh dewasa."
ADVERTISEMENT
Pada kenyataanya, kepercayaan itu sangat mungkin keliru. Data-data historis menunjukkan bahwa api tidak berdampak besar terhadap akhir wabah. Jumlah kematian akibat wabah di London telah menurun pada saat kebakaran dimulai; masih ada orang yang meninggal karena wabah setelah tragedi kebakaran besar.

Cacar

Kredit Gambar: Wikimedia Commons
Cacar pada mulanya bersifat endemik dan terjadi secara terpisah selama berabad-abad di Eropa, Asia, dan Arab. Orang-orang meninggal akibat penyakit ini secara terus-menerus, dengan tiga dari sepuluh orang yang terinfeksi akan wafat dengan sisa luka bopeng. Akan tetapi, jumlah di Dunia Lama itu tidak sebanyak setelah penemuan Benua Amerika (Dunia Baru), ketika jumlah manusia yang wafat akibat cacar seketika menjadi sangat banyak.
Pangkal bencana bermula pada abad ke-15, tatkala rakyat Eropa menderita akibat cacar dan para pelautnya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Benua Amerika. Pada abad yang sama, orang-orang Portugis juga mulai menguasai dan membawa cacar ke Afrika Barat.
ADVERTISEMENT
Berselang waktu kemudian, pada abad ke-16, orang-orang Eropa mulai menguasai Amerika Tengah dan Selatan, sembari menjalankan bisnis perdagangan budak impor dari Afrika. Di titik masa inilah kerusakan hebat terjadi.
“Tidak ada pembunuhan (besar-besaran) dalam sejarah manusia yang menandingi apa yang telah terjadi di Amerika —dengan 90 hingga 95 persen populasi pribumi telah musnah selama lebih dari seabad,” ungkap Mockaitis, tentang serangan wabah cacar terhadap pribumi Meskiko sebagai orang asli Amerika.
Tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh Mockaitis, faktanya, cacar jugalah yang "membantu" orang-orang Spanyol dalam menguasai wilayah Kerajaan Aztec. Setelah mendarat pada Februari 1519, Hernan Cortes hanya perlu waktu dua tahun untuk menjajah Aztec di pedalaman Meksiko. Persenjataan dan taktik perang Spanyol memang berperan dalam penaklukan, tetapi sebagian besar kehancurannya justru disebabkan oleh cacar. Jika bukan karena bantuan wabah, bagaimana bisa 500 prajurit Cortes menghancurkan kerajaan yang berpopulasi sekitar 16 juta orang dan luas sekitar 128.747.000 hektare?
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, menurut National Center for Biotechnology Information (NCBI), total kematian akibat cacar di Meksiko ialah sekitar 8 juta jiwa (dari total populasi 22 juta manusia) yang berlangsung selama satu tahun saja (1545-1550). Sementara Mockaitis yakin: "Meksiko menyusut dari 11 juta orang sebelum penaklukan menjadi satu juta," dalam rentang waktu abad ke-16 hingga abad ke-19.
Butuh waktu cukup lama sampai manusia dapat melawan cacar dengan terobosan medis. Dokter di Inggris yang bernama Edward Jenner mampu membuat vaksinnya pada abad ke-18, setelah mengetahui bahwa orang yang terinfeksi virus "cacar sapi" akan kebal terhadap virus cacar biasa (yang lebih kuat). Vaksin untuk cacar terus-menerus dikembangkan setelah itu dan penyakit ini dinyatakan telah benar-benar musnah pada tahun 1980, berdasarkan pernyataan resmi dari World Health Organization (WHO).
ADVERTISEMENT

Kolera

Kredit Gambar: Wikimedia Commons
Ada sebuah kalimat yang begitu terkenal dalam film serial Game of Thrones: "You know nothing, Jon Snow." Meski mulanya diremehkan, yang menonton film ini pada akhirnya sadar bahwa Jon Snow ialah sosok tangguh dalam setiap ceritanya. Dia menghadirkan kemenangan berkali-kali, sosok vital yang membawa banyak harapan.
Di dunia nyata, tercatat dalam sejarah, juga ada sosok seperti itu. Namanya pun hampir mirip; hanya ditambahkan satu huruf "h" untuk awalan "John".
Pada awal hingga pertengahan abad ke-19, kolera begitu menakutkan bagi rakyat Inggris. Menewaskan puluhan ribu manusia. Teori ilmiah yang berlaku saat itu menyatakan bahwa penyakit disebarkan melalui udara buruk yang disebut "miasma". Sementara dalam mitologi Yunani, miasma adalah polusi/racun, dengan "kekuatan menular", yang memiliki kehidupan mandiri.
ADVERTISEMENT
Tetapi, seorang dokter Inggris bernama John Snow curiga bahwa penyakit misterius itu, yang menewaskan para korbannya dalam beberapa hari setelah gejala pertama, justru berasal dari saluran air minum di London. Snow bertindak laiknya Sherlock Holmes. Dia secara ilmiah menyelidiki catatan rumah sakit dan laporan kamar mayat, untuk melacak lokasi yang tepat: dari mana wabah mematikan ini berasal.
Dia membuat grafik geografis kematian akibat kolera selama 10 hari. Kemudian dia menemukan bahwa 500 kasus infeksi fatal telah terjadi di sekitar pompa Broad Street, sebuah area yang populer untuk meminum air.
"Segera setelah saya mengenali situasi dan tingkat gangguan kolera ini, saya mencurigai adanya kontaminasi dalam air dari pompa jalanan yang sering dikunjungi di Broad Street," tulis Snow dalam laporannya.
ADVERTISEMENT
Tidak mudah untuk menyadarkan khalayak yang telanjur bergantung pada keberadaan pompa air jalanan. Otoritas lokal pun cenderung menolak gagasan Snow. Dia berusaha dengan keras, demi meyakinkan para pejabat setempat agar melepaskan pegangan pompa di sekitar Broad Street. Melalui cara ini, pompa tidak dapat digunakan lagi.
Kendala lainnya, sebagian masyarakat pun kepalang percaya bahwa miasma, yang acap kali dikaitkan dengan hal mistis, adalah biang kolera.
Namun, ketika ide Snow diaplikasikan, hasilnya seperti sulap. Infeksi mereda dalam tempo cukup cepat. Arahan dari Snow memang tidak menyembuhkan kolera dalam semalam, tetapi secara efektif dan konsisten membawa manusia kepada upaya global untuk meningkatkan sanitasi perkotaan; melindungi air minum dari kontaminasi.
Sementara sebagian besar kasus kolera telah diberantas di negara-negara maju, pandeminya masih menjadi penyakit mematikan yang gigih menyebar di negara-negara dunia ketiga. Terutama di negara yang belum memiliki pengolahan limbah memadai dan belum punya akses terhadap air minum bersih. Kendati begitu, seiring waktu setelah pengelolaan sanitasi perkotaan diadaptasi secara global, pandemi ini mulai hilang hilang kekuatan.
ADVERTISEMENT
Snow, yang lahir pada 15 Maret 1813 dan wafat pada 16 Juni 1858, pun abadi dikenal sebagai pengembang anestesi dan kebersihan medis. Dia dianggap sebagai salah satu pionir epidemiologi modern, sebuah ilmu tentang penyebaran penyakit menular pada manusia dan faktor yang dapat memengaruhi penyebarannya.
Sekalipun berulang kali populasi manusia diserang penyakit menular yang mematikan, berkali-kali juga manusia sanggup menghentikan penyebarannya.
Selalu ada jalan keluar pada akhirnya. Semoga saja, untuk kali ini juga.