Arkeolog Mengoleksi 4.500 Kaleng Bir Bekas sebagai Cikal Artefak Masa Depan

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
14 Januari 2021 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kumpulan kaleng bir | Gambar oleh ctvgs dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kumpulan kaleng bir | Gambar oleh ctvgs dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Bagi kebanyakan orang, arkeologi identik sebagai profesi yang berkaitan dengan makam kuno atau tempat bersejarah. Dari tempat itulah, para arkeolog dapat menemukan, mengumpulkan, dan meneliti, informasi berharga dari masa lampau. Tetapi, juga ada arkeolog yang menganggap sampah sebagai benda sepenting artefak.
ADVERTISEMENT
David Maxwell, dari Universitas Simon Fraser, Kanada, ialah contohnya. Baginya, sampah adalah bukti kehidupan setiap individu sehari-hari. Terlepas dari usia sampah, itu dapat mewakili kekayaan informasi terhadap kehidupan masyarakat yang terus menggunakannya. Berdasarkan keyakinan inilah, Maxwell menjadi salah satu, atau mungkin satu-satunya, arkeolog yang mengumpulkan banyak sekali kaleng bir bekas.
Maxwell awalnya hanya mengumpulkan ratusan tutup botol di jalanan Burnaby, British Columbia. Saat ditanya, ia beralasan hanya menyukainya, karena tutup-tutup botol tersebut terlihat berkilau. Beberapa tahun kemudian, ia dan keluarganya membeli sebuah kabin di Negara Bagian Washington, Amerika Serikat, yang kemudian digunakan untuk menyimpan kaleng bir sebagai bahan koleksinya.
Ilustrasi kumpulan kaleng bir | Gambar oleh Eveline de Bruin dari Pixabay
Jika dilihat pada sebagian besar tahun 1900-an, banyak orang telah membuang sampah sembarangan (sampai sekarang pun sebenarnya masih begitu). Para pengemudi langsung melemparkan kaleng-kaleng bekas, bungkus permen karet, dan sisa makan siang mereka ke jalanan.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi Maxwell, sampah seperti itu merupakan harta karun. Dari situlah, Maxwell menghabiskan waktunya untuk berburu kaleng-kaleng bekas untuk dikumpulkan dan dipelajari. Hasilnya, selama beberapa dekade, Maxwell berhasil mengumpulkan kurang lebih 4.500 buah kaleng, yang baru-baru ini telah ia kurangi menjadi sekitar 1.700 buah kaleng saja karena kurangnya ruang penyimpanan.
Apa yang dilakukan Maxwell sebetulnya amat menarik, bila dipahami dari sudut pandang arkeologis. Pelan-pelan, ia telah menghilangkan batas antara "sampah" dan "peninggalan bersejarah".
Tindakannya menimbulkan pertanyaan penting yang tidak bisa diabaikan ilmu pengetahuan, kapan kaleng bir akan menjadi sebuah artefak berharga yang layak untuk dipelajari dan dilestarikan? Karena pada masa depan, bukan mustahil orang-orang akan menganggap kaleng bir sebagai "benda kuno" yang bisa menjelaskan berbagai hal, baik sejarah ekonomi, sosial, ataupun budaya.
ADVERTISEMENT