Dipetik Tohpati Dipukul Endang Ramdan, Musik Lebih Bernyawa Tanpa Kata

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
7 Mei 2018 11:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: dokumentasi pribadi
Truly fertile Music, the only kind that will move us, that we shall truly appreciate, will be a music conducive to dream, which banishes all reason and analysis. One must not wish first to understand and then to feel. Art does not tolerate reason.
ADVERTISEMENT
Musik dimulai saat kata-kata berakhir; bisa menyuarakan yang tak dapat diucapkan oleh kata.
Jika sebuah musik memang bagus, dia tak perlu publisitas berlebihan demi mengklaim kualitas. Dia akan meraih hati pendengarnya, seiring pentas yang tersedia. Mungkin itulah salah satu makna tersirat yang hendak disampaikan Albert Camus lewat kutipannya. Pun tanpa kata, musik yang subur akan menggerakkan kita, bahwa kita akan menghargainya, akan menjadi musik yang kondusif bagi impian.
Musik tanpa kata jua, akan menyingkirkan analisis, pendengar tak mesti memahaminya terlebih dahulu dan baru kemudian dapat merasakannya. Dalam contoh paling dekat dan terbaru, pengalaman ini dapat dirasakan ketika menyaksikan Tohpati bermain gitar dan Endang Ramdan memukul kendang di Galeri Indonesia Kaya (GIK), Jakarta, Minggu (6/5/2018).
ADVERTISEMENT
Sekalipun antara musisi Indonesia dan filsuf asal Prancis itu terpaut jarak hidup puluhan tahun, tetapi esensi seni yang subur memang tak dikekang zaman. Siapapun pelakunya, musik yang bagus akan mendapatkan tempatnya, di mana saja itu dimainkan.
Bermain gitar klasik sejak umur 11, Tohpati Ario Hutomo memulai karier bermusiknya di bangku SMP kelas 3. Makin mahir dengan bergulirnya usia, dia sempat menjadi session player untuk Erwin Gutawa Orchestra dan Twilight Orchestra. Sampai saat ini di sudah menghasilkan 12 album solo; sebagai Music Director Tohpati Ochestra dia juga berandil besar untuk beberapa konser besar di Jakarta Convention Center (JCC).
Sudah 10 kali Tohpati mendapatkan Anugerah Musik Indonesia (AMI Award), di antaranya Khayalanku (Halmahera) untuk kategori Lagu R&B terbaik, Panah Asmara (Afgan) kategori lagu Pop Terbaik, serta Tohpati Ethnomission untuk kategori Artis Penampil Terbaik Karya Produksi Instrumental.
ADVERTISEMENT
Perkenalannya dengan Endang Ramdan telah berlangsung sejak lama, namun kolaborasi musik mereka baru bermula pada 2007. "Dulu dia main di satu acara, aku music director-nya, dia main kendang," momen tersebut dituturkan Tohpati sebagai awal langkah Tohpati Ethnomission, sebuah grup instrumental dengan genre progressive jazz-rock yang juga menyertakan pemain seruling.
Sedangkan bagi Endang, kolaborasi dengan Tohpati diakui sesuai cita-citanya. Karena Tohpati lebih peduli dan bertujuan mengangkat item etnik sebagai khazanah yang dapat dinikmati massa lebih luas, Endang sanggup mendukungnya.
Tujuan yang sama guna menghidupkan musik tradisional pula memperkuat kolaborasi mereka selama bertahun-tahun. Meski pukulan kendang dari Endang sejatinya lebih bernuansa Sunda dan petikan gitar Tohpati sangat akrab dengan Jazz, toh mereka tak kaku menjiwai Janger yang berasal dari Bali itu dengan sentuhan Progressive Rock. Tak ada alasan membatasi musik per daerah, jika sama-sama dapat menghidupkan impian.
ADVERTISEMENT
Tetapi musik yang subur seperti itu bukan karya instan, tak mudah memadukan seni konvensional dengan musik modern. Tohpati dan Endang sepaham, 'bahasa' yang dibawa oleh setiap instrumen itu berbeda. Terutama sebab pemain kendang mesti punya memori yang bagus untuk menghapal lagu dan temponya, sementara melodi yang ditawarkan pemain gitar sangat rumit, perlu intuisi dan latihan maksimal demi menelurkan karya seni baru yang sesuai iktikad mereka.
Jadi di tengah keprihatinannya terhadap musik daerah yang sudah mulai dilupakan, Tohpati berharap pembaruan aransemen yang dia sajikan dapat menggoda perhatian publik untuk kembali menikmati budaya tradisional. "Lagu daerah seharusnya terus dikembangin dengan gaya bahasa yang lain, maksudnya gaya musik yang berbeda," apalagi, menurut Tohpati, anak muda sekarang nampaknya sudah meninggalkan musik yang berkesan 'kampungan, kuno, dan enggak keren'.
ADVERTISEMENT
Polemik musik tradisional semacam ini, Tohpati menganggapnya sebagai pekerjaan rumah bagi generasi saat ini, untuk para musisi di Indonesia, dan tentunya pemerintah.
Motif tersebut membuat Tohpati dan Endang teguh membawakan Es Lilin, Kampuang nan Jauh di Mato, Lir Ilir, ketika tampil di GIK. Termasuk saat Tohpati Ethnomission hadir di Sao Paulo, Brasil, tak terlewat menyuguhkan lagu tradisional favoritnya: Janger.
Jika tujuannya sudah menyangkut hidup dan matinya budaya asli Indonesia, eksistensi wadah seni seperti GIK pula sepatutnya jangan berhenti menyajikan karya-karya selektif. Makin ditantang zaman, Tohpati menyarankan pelestariannya kudu dihiasi dengan menghadirkan seni yang lebih unik.
Foto: dokumentasi pribadi
Menuturkan pesan menjaga budaya Indonesia lewat musik, sejujurnya ialah seni yang tak lagi koheren dengan kutipan Camus tadi. Orang jadi punya alasan untuk datang ke pentas Tohpati dan Endang, menganalisis fungsi bahkan sebelum mendengarkan musiknya secara langsung. Mereka bisa jatuh cinta akan tujuan, meski belum datang ke pertunjukan.
ADVERTISEMENT
Lantas mari penggal quote filsuf keturunan Aljazair itu, sebab apa yang diberikan oleh Tohpati dan Endang di GIK masihlah musik yang subur. Mereka menyuarakan pelestarian budaya dalam wujud yang nyata, saat makalah tentang seni tradisional dari para akademisi begitu membosankan untuk dibaca. Saya kira, pada level seni yang setara Tohpati Ethnomission akan lebih pas menggunakan untaian kalimat penulis peraih nobel asal India Rabindranath Tagore guna memahami peran musik.
Music is glorious in its own right; why should it accept the slavery of words? Music begins where words end. The Inexplicable is the domain of music. It can say what words cannot, and so the less the words disturb the song, the better.
ADVERTISEMENT
Ya, begitulah, musik justru dimulai tatkala kata-kata berakhir. Ranahnya sulit dimengerti, namun musik bisa menyuarakan yang tak dapat diucapkan oleh kata. Makin sedikit kata mengganggu sebuah lagu, musik kian membaik; suara musik Tohpati dan Endang yang tanpa kata malah membuatnya lebih bernyawa.