Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Hikikomori: Mengasingkan Diri yang Menjadi Tradisi
20 Februari 2019 1:22 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tahun 2002, BBC mengeluarkan film dokumenter berjudul Mystery of the Missing Million, yang memberi dampak kurang baik bagi para anti-sosial di Jepang, hikikomori. Film dokumenter itu mengangkat tema hikikomori ke arus media internasional.
ADVERTISEMENT
Film dokumenter itu menceritakan kemarahan remaja Jepang saat bermain video game dan orang tua yang berbicara tentang pelecehan fisik yang dilakukan anaknya. Namun selain itu, ditampilkan pula berita tentang hikikomori yang mengidap penyakit mental dan melakukan penculikan dan pembunuhan, yang akhirnya membuat citra buruk bagi jutaan hikikomori di Jepang.
Citra buruk hikikomori itu masih terus berlanjut, tepatnya berawal dari pemberitaaan yang keluar pada Januari lalu. Bintang K-Pop, Bang Yong-Guk, merilik single yang diberi judul ‘Hikikomori’.
Lagunya menyuguhkan citra yang gelap dan kesepian, dengan tema lagu yang menyedihkan. Pada waktu yang bersamaan juga, BBC kembali merilis film dokumenter berdurasi pendek tentang perempuan sewaan yang menjadi saudara perempuan, tentang program rehabilitasi yang bertarif 8.000 dolar AS per tahun.
ADVERTISEMENT
Program rehabilitasi ini mengirim pekerja sosial untuk membujuk para hikikomori untuk keluar dari kamar mereka. Salah satu scene film itu menyajikan kesaksian dari saudara perempuan sewaan yang berusaha dicekik oleh sang hikikomori.
Bagi para hikikomori, citra gelap dan mengerikan itu menyesatkan dan merugikan mereka. "BBC telah melakukan kesalahan yang serius dengan menyiarkan pesan palsu kepada dunia," imbuh seorang hikikomori dilansir Atlas Obscura.
Dia menambahkan, "Itu sangat berdosa."
Sebagai seseorang yang tertutup, hikikomori harus menghadapi tantangan yang unik dalam usahanya untuk berbicara bagi diri mereka sendiri. Namun dalam dua tahun terakhir, hikikomori telah berpartisipasi dalam sebuah usaha unik untuk memperbaiki keselahan persepsi yang mereka rasakan, dan membantu untuk keluar dari eremitism (sebuah tindakan yang menyukai kesendirian dan mengasingkan diri).
ADVERTISEMENT
Naohiro Kimura (34) asal Tokyo menerbitkan Hikikomori Shimbun (Berita Hikikomori) pada November 2016. Sebelumnya, Naohiro menghabiskan diri sebagai hikikomori selama satu dekade lebih, karena ia tidak dapat mengikuti ujian masuk di sekolah hukum dan memutuskan untuk menjadi hikikomori.
Hikikomori Shimbun terbit setiap bulan sebagai berita alternatif dan menampilkan profil para hikikomori dan menyajikan berita bagi para hikikomori itu sendiri dan orang tua mereka. Berita seperti daftar acara atau kelompok penduduk yang berfokus pada gerakan untuk mengintegrasi ulang para hikikomori.
Hikikomori memiliki arti ‘penarikan’, yang mengacu pada sebuah kondisi ketika seseorang menarik diri dari lingkaran sosial masyarakat. Istilah ini diciptakan oleh Tamaki Saito, seorang psikiater Jepang yang memutuskan untuk fokus meneliti fenomena hikikomori sejak dari 1998.
ADVERTISEMENT
Setelah Saito selama satu dekade melihat seorang remaja yang begitu lesu dan menolak untuk meninggalkan rumah lalu pergi ke sekolah, remaja itu dibawa ke kantor praktik Saito oleh orang tuanya yang kebingungan.
Saito menyematkan istilah hikikomori kepada seseorang yang menarik diri dari lingkaran sosial masyarakat dan memutuskan untuk mengasingkan diri di rumah selama lebih dari enam bulan. Namun, setiap hikikomori memiliki pola dan ciri-ciri yang berbeda, sebelum diputuskan mereka mengidap penyakit psikologis atau penyakit sosial.
“Karena hikikomori dianggap memalukan, mereka kemudian tidak ingin membicarakan pengalaman mereka,” begitu yang disampaikan Kimura dalam korespondensi melalui email.
Kimura meneruskan, “Ini memungkinkan mereka yang tidak memiliki pengalaman hikikomori menuduh secara bebas kepada para hikikomori. Tetapi tuduhan itu hanya menghasilkan prasangka pada masyarakat terhadap hikikomori, dan membuat para hikikomori semakin menjauh dari lingkaran sosial masyarakat.”
ADVERTISEMENT
“Dengan terbitnya Hikikomori Shimbun, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang hikikomori, dan dapat saling menumbuhkan empati antara sesama hikikomori, pengasuhnya dan juga bagi masyarakat Jepang."
Pada masa awal peluncuran Hikikomori Shimbun, Kimura melakukan perjalan ke seluruh Jepang untuk mengenalkan korannya hingga terjual 6.000 kopi hanya dalam waktu enam bulan saja. Sejak tim awal yang terdiri dari 15 kolaborator, hingga saat ini memiliki lebih dari 100 relawan yang menyumbang artikel dan dukungan editorial.
Hampir semua kolaborator dan sukarelawan adalah para hikikomori, baik mantan atau masih sebagai hikikomori. Salah satu kolaborator pertama dalam Hikikomori Shimbun adalah seorang yang sudah menghabiskan waktu selama 30 tahun sebagai hikikomori.
Hikikomori Shimbun diterbitkan digital dan juga memiliki versi cetaknya yang dijual seharga 500 yen (4,50 dolar AS), penjualan versi cetak ditambah dari tabungan pribadi Kimura dapat menutupi biaya operasional Hikikomori Shimbun. Setiap sebulan sekali, Kimura mengadakan pertemuan editorial di apartemennya untuk membahas dan merencakan permasalahan yang akan diangkat di Hikikomori Shimbun.
ADVERTISEMENT
“Saya kira sebuah kehebatan, bahwa hikikomori berusaha untuk berbicara, dan itu merupakan hal yang penting untuk dilakukan bagi para hikikomori,” ucap Sachiko Horiguchi, seorang antropolog dan profesor dari Tempel University.
Horiguchi menambahkan, “Saya tidak terlalu yakin terkait dampak aktual yang para hikikomori miliki dalam masyarakat arus utama. Saya tidak begitu banyak membaca koran itu.”
Misi utama yang dibawa Hikikomori Shimbun adalah menawarkan sebuah alternatif dan perspektif lain dari berita terkait hikikomori yang sensasional yang kadang tidak akurat. Ketika media masa mengeluarkan berita secara luas yang menyampaikan bahwa hikikomori merupakan fenomena unik yang dialami pria, Hikikomori Shimbun menumbangkan narasi itu dengan mengeluarkan berita khusus yang mengulas tentang hikikomori wanita.
Lainnya, ketika pemerintah merilis sebuah survei yang mengatakan ada sekitar 540.000 hikikomori berusia 15 hingga 40 tahun, Hikikomori Shimbun melakukan kegiatan bakti sosial menolong orang-orang yang berumur setengah baya dan lansia, yang merupakan demografi yang seringkali diabaikan pemerintahan Jepang dalam melakukan survei.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Agustus lalu, pemerintahan Jepang mengumumkan akan melakukan survei terkait penuaan hikikomori. Hal menarik terkait hikikomori adalah pertanyaan mengapa begitu banyak orang Jepang yang mengisolasi diri, dan bagaimana merehabilitasinya dalam rencana jangka panjang?
Melalui email, Kimura menuliskan bahwa hal yang terpenting baginya adalah mencari tindakan dan bantuan, ketimbang mengabaikan fenomena dan gelaja hikikomori. Namun, Horiguchi dan Kimura sama-sama menolak pengobatan yang berlebihan bagi para hikikomori. Hal itu terlihat dengan begitu menyederhanakan persoalan hikikomori dan menjadikannya semata-mata sebagai bagian dari penyakit mental.
Sebaliknya, berbagai faktor sosiologis juga penting untuk dipertimbangkan, seperti tekanan keluarga untuk sukses, praktik pasar tenaga kerja yang tidak memungkinkan para hikikomori mendapatkan pekerjaan. Intimidasi di lingkungan sekolah dan tekanan dari orang tua merupakan faktor yang mendorong kuat seseorang menjadi hikikomori.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pengaruh internet memberi hikikomori alternatif saat perasaan gagal dalam bersosial dirasakan, yang kemudian banyak yang melarikan diri ke dunia virtual dan video game.
“Saya kira, tarik menarik argumen antara yang menyatakan bahwa hikikomori adalah korban dan argumen yang menyatakan bahwa hikikomori adalah seorang yang malas dan tidak memiliki kepedulian sosial, begitu sengit diperbincangkan,” imbuh Horiguchi.
Penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa keberadaan mayoritas hikikomori kelas menengah ke atas itu kemungkinan, karena mereka memiliki fasilitas dan dapat berdiam diri tanpa berpenghasilan selama bertahun-tahun lamanya.
Anne Allison, seorang antropolog dari Duke University, menuliskan bahwa masalah muenshakai atau masyarakat tanpa hubungan di Jepang merupakan rangkuman dari keterasingan dan kerenggangan hubungan sosial yang terjadi di Jepang. Meskipun Jepang memiliki istilah untuk hal ini, masyarakat yang seperti itu merupakan hal yang janggal di Jepang, begitu pula dengan fenomena hikikomori.
ADVERTISEMENT
Para ahli seperti antropolog, psikolog, dan sosiolog dari Prancis saling berkerja sama menerapkan fenomena hikikomori pada kasus-kasus serupa yang terjadi di Prancis. Kasus-kasus serupa juga ternyata ditemukan di Korea Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat
Permasalahan hikikomori di Jepang cukup meluas, sehingga memunculkan layanan jasa rehabilitasi menjadi sebuah industri. Namun, menurut Kimura, banyak organisasi yang merupakan lembaga tentara bayaran yang mencari uang dengan memanfaatkan orang tua hikikomori.
Contohnya, NHK organisasi media siaran nasional Jepang, pada 2017 menyiarkan kisah investigasi tentang agensi yang mematok biaya lebih dari 51.000 dolar AS untuk fasilitas asrama bagi hakikomori yang direhabilitasi. Laporan dari NHK juga menyampaikan bahwa banyak hikikomori yang melarikan diri setelah mengalami pelecehan fisik, di Jepang terdapat asrama berfasilitas untuk rehabilitasi hikikomori.
ADVERTISEMENT
Menurut Kimura, pendekatan multi-disiplin ilmu harus diterapkan untuk rehabilitasi, menggunakan pendekatan yang menggabungkan terapi keluarga dengan program rehabilitasi yang menawarkan pekerjaan, pelatihan, dan pendidikan. Hal itu diperlukan untuk membawa para hikikomori kembali kepada lingkaran sosial masyarakat.
Tetapi, pendekatan kolaboratif seperti di atas untuk para hikikomori sangatlah kurang. Menurut Horiguchi, pedoman yang disetujui oleh Jepang ialah rehabilitasi yang terdiri dari tiga langkah, pertama Hōmon (dukungan kunjungan), kedua Ibasho (“tempat untuk menjadi”/ruang komunitas), dan Shūrō (dukungan pekerjaan).
Kerja keras yang dilakukan Kimura merupakan salah satu dari sedikitnya cara yang proaktif bagi para hikikomori agar lebih aktif dan berpartisipasi bagi dunia luar, meskipun masih dalam bentuk media tulisan. Dengan mengabari para hikikomori lainnya apa yang sendang dikerjakan, Kimura berharap para kolaborator hikikomori akan menyadari bahwa meraka membantu ratusan ribu hikikomori lainnya yang berdiam dan bahwa karya mereka memiliki sebuah nilai.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah wawancara dengan NHK World, Kimura menyatakan kegembiraannya karena beberapa anggotanya di Hikikomori Shimbun telah memilliki pekerjaan dan secara perlahan keluar dari praktik hikikomori. Beberapa manfaat dan pengamalan mereka di Hikikomori Shimbun adalah untuk mencari pekerjaan sebenarnya, dan Kimura menyampaikan salah satu dari mereka ada yang berhasil menjadi jurnalis.