Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
'Inti Setan' Bom Nuklir yang Menewaskan Ilmuwan Amerika Serikat
18 Desember 2018 2:00 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Inti dari bom nuklir ketiga itu seharusnya digunakan untuk menghancurkan Jepang.

Foto: commons.wikimedia.org
ADVERTISEMENT
Tragedi bom nuklir di Hirosima dan Nagasaki, Jepang, sangat dikenal sebagai penutup Perang Dunia Kedua. Ledakan dua bom itu, yang dilepaskan oleh Amerika Serikat, memaksa Jepang menyerah dan catatan sejarah mengenai dampak buruknya masih populer hingga sekarang.
Di balik perstiwa historis tersebut, yang tidak banyak diketahui oleh khalayak ialah fakta bahwa Amerika Serikat memiliki tiga bom pada 1945. Ketika dua bom dibawa oleh pesawat, satu lagi disimpan sebagai cadangan. Lalu, tatkala kedua bom berhasil mengalahkan Jepang, para ilmuwan di Laboratorium Nasional Los Alamos, Amerika Serikat, cukup girang lantaran mereka dapat memanfaatkan bom cadangan untuk penelitian.
Bom ketiga, bagaimanapun, merupakan barang paling langka sekaligus berbahaya. Intinya mengandung 6,2 kilogram plutonium murni, yang bila tak ditangani dengan sangat hati-hati akan menyebabkan kerugian fatal.
ADVERTISEMENT
Selain itu, bom nuklir berbeda dari bom konvensional karena tidak memiliki sekring atau detonator. Ledakannya mengandalkan materi radioaktif yang sangat kritis, dengan sedikit benturan pada inti akan cukup untuk memicunya.
Jadi, para di Los Alamos sebenarnya sadar akan kesulitan penanganan bom nuklir cadangan. Hanya saja, pada akhirnya mereka tetap tak dapat menghindari kecorobohan sebagai manusia dan kematian pun tak terelakkan.
Kecelakaan pertama terjadi 21 Agustus 1945 dan menimpa Haroutune Krikor Daghlian. Saat itu, dia sedang mengukur berapa banyak batu bata tungsten karbida diperlukan untuk memantulkan cukup neutron yang berasal dari dan agar kembali ke inti bom atom. Sial baginya, bata tungsten karbida terakhir malah jatuh tepat di atas inti atom dan memancarkan ledakan cahaya biru dan gelombang panas.
ADVERTISEMENT
Ledakan lebih besar memang berhasil terhidarkan setelah Daghlian buru-buru melemparkan bata dari atas inti bom ke lantai. Tetapi, itu sudah terlambat. Daghlian yang menerima radiasi fatal meninggal 25 hari setelahnya; seorang penjaga yang duduk 12 meter dari sumber ledakan cahaya biru wafat oleh leukemia (yang dipicu radiasi) 33 tahun kemudian.
Sembilan bulan berselang, giliran fisikawan Louis Slotin yang ceroboh. Dia mencoba memantulkan neutron yang diradiasikan oleh inti bom untuk kembali ke dalam inti secara pelan-pelan mengangkat-menutup kulit berilium (pelapis inti) menggunakan obeng pipih. Namun, obengnya tergelincir dan kulit berilium menutup inti terlalu cepat, seketika memendarkan kilat cahaya radiasi biru --layaknya kasus Daghlian.
Slotin tewas sembilan hari setelah kecelakaan itu, pada usia 35 tahun. Sementara fisikawan Marion Edward Cieslicki, yang terkena radiasi dalam ruangan percobaan Slotin, meninggal karena leukemia 19 tahun setelahnya.
ADVERTISEMENT
Usai kematian-kematian tragis tersebut, inti bom cadangan yang semestinya diledakkan di Jepang masih sangat radioaktif. Mereka menyebutnya Demon Core alias 'Inti Setan', yang lantas dilelehkan dan didaur ulang untuk membuat inti baru.
Sumber: sciencealert.com | newyorker.com