Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kepulauan Banda, Penguasa Rempah yang Tertindas dan Hancur oleh Belanda
22 November 2020 17:53 WIB
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi para penjelejah dunia, Kepulauan Banda begitu terkenal sejak ratusan tahun lalu. Berkat rempah-rempahnya, wilayah yang berada sekitar 2.500 Km dari sebelah timur dari Pulau Jawa begitu menawan bagi pedagang Gujarat hingga membuat mereka enggan pulang.
ADVERTISEMENT
Pada masa lampau buah pala ialah komoditas eksklusifnya. Disebutkan bahwa dahulu buah ini hanya ada di Banda; dan nilainya melebihi harga emas. Selain pala, rempah-rempah lainnya pun telah diklaim sebagai obat ampuh bagi beberapa penyakit yang sedang mewabah di tanah Eropa.
Mula kedatangan orang Eropa diketahui bermula pada tahu 1151, ketika pelaut Portugis, Afonso de Albuquerque, datang dan singgah ke Kepulauan Banda. Ia kemudian mengenal beberapa pulau di sekitarnya. Pada tahun inilah, Kepulauan Banda mulai dikenal oleh para penjelajah Eropa. Seiring waktu, mereka pun menjadikannya pusat perdagangan rempah-rempah.
Walau demikian, pada proses perkembangan Banda sempat terjadi konflik hebat antara masyarakat setempat dengan Portugis. Hal itu dimulai ketika seorang kapten, dari salah armada kapal Portugis, bernama Garcia Henriques mencoba membangun sebuah benteng di Banda Neira. Mendengar hal tersebut, masyarakat Banda pun menolak dan sepakat angkat senjata untuk menyerang anak buah Kapten Garcia.
ADVERTISEMENT
Alhasil, Banda pun selamat dari tangan Portugis. Kemudian mengusirnya agar memilih tempat dagang selain Banda. Portugis yang pada saat itu telah kehilangan banyak nyawa, memutuskan bergeser dan memilih untuk membeli rempah-rempah di semenanjung Selat Malaka.
Belanda membawa petaka
Portugis pergi datanglah Belanda. Nasib sial Kepulauan Banda kala itu mulai memasuki tahap kritis, lantaran Belanda lebih licik dan kejam. Kelicikan itu tampak ketika Belanda memaksa masyarakat Banda untuk menjual rempah-rempahnya hanya kepada mereka.
Menyikapi hal tersebut, masyarakat Banda pun kembali menolak. Dalam hal ini masyarakat Banda lebih memilih untuk berdagang bebas, sehingga nantinya tak ada lagi perdebatan dan konflik yang kerap memakan banyak korban.
Karena berbagai cara runding tak menemui jalan keluar, kelicikan Belanda dimulai dengan menyuruh 46 tentaranya untuk berpura-pura ditahan. Kebohongan disebar. Dengan dalih telah ditindas dan balas dendam, tentara Belanda pun menggila dan memporak-porandakan berbagai desa di Kepulauan Banda.
ADVERTISEMENT
Pasca insiden maut tersebut masyarakat Banda dipaksa mengakui otoritas Belanda dalam monopoli dagangnya. Kemudian sebagai upaya peningkatan keamanan, Belanda mendirikan sebuah Benteng Nassau di Banda Naira, yang berguna sebagai pengontrol alur dagang, sekaligus pemantau kapal-kapal asing yang masuk di perairan laut Banda.
Penjajahan berkepanjangan
Walau pada saat itu ada ajakan berdamai, sebetulnya masyarakat Banda sudah begitu muak dengan tingkah dan cara licik yang digunakan para petinggi Belanda. Bahkan terkadang mereka melanggar apa yang sudah disepakati dalam perjanjian damai.
Permusuhan Belanda-Banda yang tiada henti, justru membawa Banda dalam petaka. Hal itu ditunjukkan pada langkah represif tentara Belanda yang mengambil hak tanah masyarakat Banda secara sepihak. Tak sampai di situ, tentara Belanda pun tercatat dalam telah melakukan pembantaian di beberapa penduduk desa.
ADVERTISEMENT
Setelah pembantaian itu, ditambah dengan dampak dari monopoli dagang, kemiskinan, kelaparan, kaburnya pribumi, Kepulauan Banda mengalami pengurangan jumlah penduduk begitu drastis. Dari semula 14 ribu manusia hanya tersisa 1.000 penduduk pada akhirnya (beberapa sumber bahkan menyebutkan jumlah yang tersisa tak mencapai 500 orang).
Akibatnya, untuk tetap melangsungkan iklim bisnis rempah-rempah, Belanda membawa banyak budak dari India dan Cina sebagai tenaga pengganti.
Masyarakat Banda tetap menjadikan hasil bumi rempah-rempah Pala pemasukan ekonomi utama mereka. Tetapi secara kemerdekaan, kehidupan mereka di Banda telah hilang, dan hanya menjadi pekerja di kampung halamannya sendiri.
Bahkan buah Pala yang seharusnya eksklusif, mulai saat itu dikembangbiakkan dan disebar ke berbagai daratan lain. Banda yang dahulu dikenal sebagai penguasa rempah-rempah, kini hanya potongan sejarah.
ADVERTISEMENT