Kisah Nyata di Balik Krisis Ekonomi yang Diakibatkan oleh Tulip

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
8 Juni 2020 19:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Umbi tulip | Foto oleh oleh David Nisley dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Umbi tulip | Foto oleh oleh David Nisley dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Tahun 1636 menjadi tahun ketika banyak masyarakat Belanda sangat tergila-gila dengan Tulip. Menurut Charles Mackay, seorang penulis Skotlandia saat itu, banyak orang rela menghabiskan gaji mereka selama setahun hanya untuk umbi langka dari tulip, dengan harapan agar dapat dijual kembali, dan meraup keuntungan yang berlipat-lipat ganda. Mackay pun menjuluki fenomena ini sebagai: The Tulipomania (Tulip Mania).
ADVERTISEMENT
Tulip sejatinya bukanlah tanaman asli dari negeri kincir angin. Tumbuhan dengan bunga yang memiliki warna dan corak nan unik ini diperkenalkan kali pertama pada tahun 1554 di Amsterdam. Seorang botanical kemudian berupaya untuk menanam umbi dari tulip, dan Setelah berbagai percobaan, ia menyadari bahwa tulip dapat bertahan hidup di daerah rendah, seperti di Belanda.
Bunga indah ini kemudian menjadi populer dan banyak dicari oleh orang-orang, bahkan banyak dari mereka yang berani membeli umbinya dengan harga yang sangat tinggi. Permintaan yang semakin tinggi mengakibatkan stok tulip cepat menipis, sehingga para pedagang menaikkan harganya menjadi sangat tinggi. Harga bibitnya sendiri setara dengan sebuah rumah mewah lengkap dengan taman yang sangat luas.
ADVERTISEMENT
Meskipun sangat mahal, peminatnya sangat banyak. Perdagangan tulip dalam satu hari dapat mencapai hingga sepuluh kali. Mereka semua berinvestasi dengan satu bibit tulip, sehingga ketika menjadi tulip yang indah dapat dijual dengan harga yang sangat fantastis.
Sial, hanya berselang satu tahun, pada 1637, malapetaka datang. Harga tulip yang ada di pasaran tiba-tiba mengalami penurunan drastis. Mackay mengatakan, bahwa banyak orang saat itu dalam keadaan bingung dan stres karena investasi mereka hancur total.
"Para pedagang besar direduksi hampir menjadi pengemis, dan banyak perwakilan dari garis bangsawan melihat kekayaan rumahnya hancur tanpa penebusan," tulisa Mackay dalam buku Memoirs of Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds.
Jatuhnya harga umbi tulip tahun 1630 | Foto oleh Ilona Gaynor dari Flickr
Akan tetapi, semua pemaparan Mackay yang populer dan tampak meyakinkan itu dipatahkan oleh Anne Goldgar, seorang sejarawan yang menemukan kisah baru dalam sejarah Tulip Mania. Goldgar, yang juga seorang profesor dan sejarawan dari King’s College London, di Inggris, mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh MacKay tidak sepenuhnya benar.
ADVERTISEMENT
Masalahnya adalah ada banyak kekeliruan dari sumber dan bahan yang ditulis oleh Mackay. Untuk memperjelas cerita yang ada, Golgar pun kembali menelusuri berbagai macam sumber yang dapat ia temukan, mulai dari data manuskrip abad ke-17, surat wasiat, catatan kecil, dan semacamnya.
Golgar menegaskan, pada pertengahan tahun 1600-an, masyarakat Belanda menikmati periode kekayaan dan kemakmuran yang tak tertandingi. Setelah merdeka dari Spanyol, para pedagang Belanda yang kebanyakan dari mereka membeli bibit tulip, menjadi sangat kaya dalam perdagangan mereka melalui Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Dengan uang yang sangat banyak, mereka berpikir dapat membeli tulip sebagai bahan koleksi yang modis dan trendi.
Fakta yang mengejutkan Goldgar adalah, bahwa ia sendiri tidak menemukan satu kasus pun seorang pedagang, yang bertransaksi dalam perdagangan tulip, menjadi bangkrut setelah harga pasar tulip turun drastis. Bahkan, cerita tentang pelukis Belanda, Jan Van Goyen, yang diduga telah kehilangan segalanya, tampaknya tidak sepenuhnya benar. Dampak ekonomi yang terjadi saat itu, dalam penilaian Goldgar, jauh lebih terkendali dan dapat dikelola dengan baik.
ADVERTISEMENT
“Tulip adalah sesuatu yang modis, dan orang membayarnya untuk tujuan fesyen,” kata Goldgar. “Konyol sekali kisah ini dipermainkan sedemikian rupa, seakan-akan seperti mengejek mereka yang disebut-sebut kehilangan uang dalam perdagangan tulip,” tutup penulis buku Tulipmania: Money, Honor and Knowledge in the Dutch Golden Age.