Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lautan Merah Cabai di Gurun Gobi
16 Oktober 2019 7:32 WIB
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Gurun Gobi, Cina Barat Laut, terdapat sebuah musim yang membuat tanah disana tampak merah tua, jika dilihat dari atas langit. Namun itu bukan musim gugur yang membuat tanahnya memerah akibat daun-daun, melainkan ribuan ton cabai. Ya, cabai adalah komoditas terbesar milik Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, yang juga menjadi penghasil seperlima dari panen lada terkemuka dunia. Cabai akan dipanen setiap akhir musim panas oleh para petani cabai diseluruh Uighur yaitu dibulan September dan Oktober.
ADVERTISEMENT
Uniknya para petani ini akan membawa cabai hasil panen untuk dikeringkan di atas gurun gobi. Mataharinya yang terik dan suhu udara lebih dari 100 derajat membuat cabai-cabai tersebut kering secara alami. Keadaan alam yang bagus ini sangat membantu sekali para petani Uighur dalam melakukan pekerjaannya. Ternyata teknik mengeringkan cabai seperti ini sudah lama ditinggalkan oleh petani di Amerika sana, mereka kini telah menggunakan dehidrator industri.
Hasilnya sungguh pemandangan yang luar bisa, ribuan ton cabai yang dijemur diatas tanah gurun gobi tampak seperti lautan merah tua yang membentang ke cakrawala. Jika kita melihat pemandangan dari atas langit, akan terlihat gundukan paprikan yang mengkilap seperti bumbu merah yang menggoda untuk makan malam, dan dua ratus ton cabai terlihat seperti menodai gurun yang berwarna coklat layaknya sel darah merah dibawah kaca mikroskop.
ADVERTISEMENT
Melihat dari sejarahnya, Cabai menjadi komoditas penting dalam perdagangan rempah-rempah di era kejayaan Jalan sutera. Hingga abad ke-16 rempah-rempah asli seperti jinten telah mendominasi perdagangan rempah di Asia Tengah. Masakan Uighur pun didominasi oleh cabai, karena pengaruh jalur sutera. Cabai baru masuk ke Cina sekitar tahun 1500-an – cabai merupakan makanan dari “Dunia Baru” setelah orang-orang Eropa menemukan Amerika.
Di Provinsi Sichuan, Cina Barat Daya, masakannya disana terkenal pedas, sedangkan di Uighur Xinjiang tidak hanya pedas tapi juga berempah. Hal ini karena kawasan Uighur berada di perempatan budaya, sehingga mengandung jejak kuliner Asia Selatan, Tengah dan Timur. Diantaranya ada:
Ciri khas dari hidangan asli Uighur sendiri sangatlah berminyak dan beraroma pedas-panas seperti Kawaplar, Kebab domba bumbu cabai, dan Dapanji (rebusan ayam). Hidangan asli yang kaya akan rempah dan rasa cabai.
ADVERTISEMENT
Dibalik makmurnya tanah Uighur atas komoditas cabai, ternyata kehidupan masyarakat di sana sangat menderita. Pemerintah Tiongkok telah melakukan penganiayaan dan pemaksaan kepada rakyat Uighur. Mereka mengirim masyarakat Uighur ke kamp-kamp "pendidikan ulang" dan melarang mereka mempraktikkan keyakinan mereka. Pembatasan hak ini tidak menyurutkan rasa bangga penduduk Uighur terhadap budaya dan masakan mereka.
Tentu panen cabai seperti ini akan terus dilestarikan oleh masyarakat Uighur karena bagian dari identitas. Sebuah ritual tahunan unik, yang dipercaya juga menjadi terapi tradisional yang dapat menyehatkan badan dengan cara ikut berjemur bersama cabai-cabai hasil panen.
ADVERTISEMENT
Sumber: bbc.com | atlasobscura.com
Sumber foto: commons.wikimedia.org | altasobscura.com