Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Legenda Raja Arthur, Masyhur tetapi Penuh Kebohongan
7 Oktober 2020 11:46 WIB
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bagi beberapa sejarawan, legenda Raja Arthur asal Inggris, yang begitu tenar dalam banyak garapan film, rupanya perlu ditinjau ulang kebenaran eksistensinya. Terlebih lagi, harus dipisahkan dari unsur fiksinya yang kental. Ini dimaksudkan agar nilai cerita Arthur benar-benar “suci” dan tetap terjaga dari premis cerita tak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Sejarawan Miles Russell, misalnya, masih mempertanyakan cerita Raja Arthur yang telanjur beredar luas. Melalui laporan HistoryExtra, Russell mengklaim cerita Raja Arthur yang ada saat ini benar-benar berlebihan. Tak jarang juga tema cerita yang ada di buku sejarah modern penuh dengan nuansa sihir, romantisme persaudaraan, cinta, hingga misi suci dalam pencarian Holy Grail. Walhasil, tak mengherankan jika legenda Raja Arthur justru begitu melegenda dan masuk dalam jajaran mitologi dunia.
Russell berpendapat, fiksi yang kerap menghias hidup sang raja perlu disingkirkan. Semua itu merupakan kekacauan penulisan sejarah Inggris pasca Romawi atau antara abad ke-5 dan ke-6.
Adapun tulisan modern tentang Raja Arthur juga ikut kacau, lantaran minimnya catatan yang valid. Tak lebih, hanya ada satu catatan sejarah yang terbilang cukup bisa diandalkan sebagai sumber acuan utama, yaitu On the Ruin and Conquest of Britain yang ditulis oleh Gildas pada abad ke-6.
ADVERTISEMENT
Sumber lampau yang tidak sinkron
Gildas menuliskan ihwal kekerasan dan anarki di berbagai tempat, di mana orang Inggris yang terdemoralisasi takut terhadap suku pagan Saxon. Tetapi Gildas tak menyebut langsung Arthur sebagai pahlawan, sebagaimana dalam cerita masa kini. Justru Gildas dalam catatannya memuji Ambrosius Aurelianus sebagai jendral pemenang, saat melawan suku pagan Anglo-Saxon pada akhir abad ke-6 di Gunung Badon.
Barulah pada abad ke-9, sebuah naskah History of the Britons menyebut Arthur sebagai dux bellorum atau komandan tertinggi yang gemilang membawa 12 kemenangan pertempuran. Lokasi Gunung Badon (Badon Hill) juga cocok dengan apa yang ditulis Gildas.
Penambahan cerita yang siginifikan lantas muncul pada abad ke-12. Saat itu, cerita Raja Arthur menjadi semakin detail. Hal ini berkat ulah penulis Geoffrey dari Monmouth dengan naskah berjudul History of the Kings of Britain. Ia mengungkap di mana lokasi Arthur dilahirkan, menyebut orang tua Arthur bernama Uther Pendragon dan Ygerna, menegaskan nama pedangnya (Caliburn), mengisahkan cinta Arthur dengan Ganhumara (Guinevere), hingga menceritakan pengkhianatan Mordred yang membawa Arthur ke persemayaman terakhir di Avalon.
Namun Russell menganggap karya Geoffrey cenderung penuh dengan fiksi dan merupakan bentuk gabungan dari beberapa versi cerita pada masanya. History of the Kings of Britain kurang nyaman untuk dijadikan sumber sejarah yang valid. Sialnya, hampir semua gubahan film pop berlatar belakang sejarah Arthur, masih memakai karya Geoffrey sebagai acuan. Buku yang tidak kredibel ini malah menjadi “buku sejarah terlaris” dari abad pertengahan.
ADVERTISEMENT
Tanpa dukungan sumber yang mumpuni dan acuan pelengkap, wajar jika sejawaran seperti Russell pada akhirnya tetap pesimis terhadap eksistensi Raja Arthur. Sejarah Arthur begitu bias dan ada beberapa kekosongan dalam ceritanya. Nahasnya bagi para sejarawan, kekosongan tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh para penulis pop untuk menambahkan fragmen “misteri dan konspirasi”. Walhasil, seiring waktu, sejarah Raja Arthur semakin mirip novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Sulit dipercaya kebenarannya.