Menguji Kepatuhan Seseorang Lewat Eksperimen Milgram

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
8 Januari 2020 10:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Ekspreimen Milgram digunakan untuk menguji kepatuhan seseorang terhadap otoritas
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Ekspreimen Milgram digunakan untuk menguji kepatuhan seseorang terhadap otoritas
ADVERTISEMENT
Di dalam jagad ilmiah, terdapat sebuah eksperimen yang bernama Eksperimen Milgram. Ini adalah sebuah eksperimen yang bertujuan untuk menguji kepatuhan seseorang terhadap otoritas.
ADVERTISEMENT
Awal mula eksperimen Milgram dimulai dari apa yang dilakukan oleh seorang psikolog Universitas Yale bernama Stanley Milgram pada era 1960-an. Saat itu, Milgram mengamati perilaku kejam para bawahan Nazi dan bertanya-tanya apakah mereka memang jahat ataukah hal yang mereka lakukan hanya sekadar dalam rangka mengikuti perintah dari seorang sosok otoriter.
Dalam melakukan eksperimen, Milgram menggunakan sejumlah yang orang yang berperan sebagai guru dan murid. Guru kemudian akan memberikan pertanyaan kepada murid yang harus dijawab dan apabila jawabannya salah, guru akan menyetrum murid tersebut dengan menekan sebuah tombol.
Ada beberapa tingkat setruman yang bisa dilakukan guru. Di hadapan guru, terdapat tombol-tombol yang bisa digunakan untuk menyetrum mulai dari tingkat setruman yang paling kecil hingga paling besar.
Foto: Kursi digunakan sebagai media setrum-menyetrum dalam eksperimen Milgram
Perlu diketahui, tindakan setrum-menyetrum ini sebenarnya tidak sungguhan. Pembagian peran guru dan murid ini seolah-olah dilakukan secara acak. Padahal, orang yang menjadi murid hanyalah seorang aktor yang diminta untuk berpura-pura kesakitan saat disetrum. Tombol setruman yang ada pun sebenarnya tidak benar-benar menyetrum murid.
ADVERTISEMENT
Guru dan murid ditempatkan ke dalam ruangan terpisah sehingga kedua pihak tidak bisa saling melihat dan hanya bisa berkomunikasi lewat suara. Guru selaku obyek yang diteliti oleh Milgram juga bisa mendengar suara rintihan dan jeritan kesakitan murid yang sebenarnya hanya pura-pura belaka.
Di ruangan guru, ada pula seorang peneliti yang bertindak sebagai sosok pemegang otoritas. Jika guru tampak ragu-ragu dalam memberikan pertanyaan dan menekan tombol setruman, peneliti akan menekan guru agar senantiasa patuh dan tak ragu untuk mematuhi perintahnya agar menekan tombol setrum.
Guru akan terus mendengar suara kesakitan dari murid yang semakin mengerikan. Saat tombol setruman dengan tingkat paling tinggi ditekan, murid akan memohon-mohon agar eksperimen dihentikan sambil menggedor-gedor dinding. Di sinilah guru kemudian mulai tampak ragu-ragu meski peneliti tetap memaksa mereka untuk menyetrum.
ADVERTISEMENT
Eksperimen ini bertujuan untuk mencari tahu seberapa lama guru akan tetap melanjutkan aksi penyetruman sebelum mereka akhirnya benar-benar menolak mengikuti perintah peneliti.
Dari sini, akhirnya diketahui bahwa orang normal melakukan hal yang bertentangan dengan pikiran dan hati nuraninya hanya karena diperintah oleh orang lain yang memiliki kewenangan atau otoritas.
Ada pula satu fakta menarik dari sebuah eksperimen Milgram yang dilakukan oleh tim dari SWPS University of Social Sciences and Humanities di Polandia. Ternyata, orang menolak melaksanakan perintah dalam eksperimen jumlahnya tiga kali lebih banyak ketika pihak yang berperan sebagai murid adalah perempuan.
Sumber: time.com| theguardian.com| iflscience.com