Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mumifikasi ala Suku Anga di Papua Nugini
1 September 2018 17:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Foto: Flickr/Michael Thirnbeck
Mumifikasi sudah terlanjur diasosiasikan dengan kebudayaan Mesir kuno, dan ketika mendengar kata 'mumi' yang muncul di pikiran kita cenderung tentang Firaun dan sanak keluarganya. Padahal, mumifikasi adalah budaya global, yang dilakukan oleh banyak kelompok di berbagai belahan bumi.
ADVERTISEMENT
Begitu pula soal metode mumifikasi, dapat ditempuh lewat beragam cara. Jika mumifikasi Mesir kuno menggunakan garam dan campuran rempah-rempah untuk menutupi jasad, lain halnya dengan Suku Anga di Papua Nugini yang justru menggunakan bantuan asap dari api.
Cara yang ditempuh Suku Anga sebetulnya lebih universal, tidak hanya untuk manusia, sebab pengasapan juga dapat dilakukan untuk mengawetkan daging hewan (seperti ikan). Melalui metode ini, tujuan utama mumifikasi ialah menghilangkan air di dalam tubuh sehingga mencegah penguraian.
Proses mumifikasi Suku Anga dimulai dengan terlebih dahulu merobek lutut, siku, kaki, dan sendi lainnya dari mayat. Batang bambu berongga kemudian dimasukkan ke dalam celah-celah robekan tersebut, sehingga air dari tubuh dapat menetes ketika mayat diasapi selama lebih dari satu bulan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, mumifikasi Suku Anga tak dapat kita saksikan lagi saat ini. Sejak tahun 1949, ketika para misionaris menyebarkan ajaran agama di Aseki, mumifikasi Suku Anga dihentikan dan tak muncul mumi yang baru.
Meski begitu, sisa-sisa mumi lama masih mereka jaga, dengan mengoleskan getah pohon yang telah dipanaskan.
Sumber: BBC | National Geographic