Pandai Besi yang Mengubah Bom Menjadi Pisau Tradisional

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
24 Februari 2021 17:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wu Tseng-dong, pandai besi terkemuka di Kinmen, Taiwan | Flickr/Breaking Asia
zoom-in-whitePerbesar
Wu Tseng-dong, pandai besi terkemuka di Kinmen, Taiwan | Flickr/Breaking Asia
ADVERTISEMENT
Wu Tseng-dong, seorang pandai besi generasi ketiga dari Maestro Wu, pernah tinggal di zona perang selama 20 tahun. Tumbuh di Pulau Kinmen, wilayah kecil Taiwan, empat mil di lepas pantai daratan Cina, bom selalu menjadi ancaman baginya.
ADVERTISEMENT
Selama sebagian besar abad ke-20, Kinmen adalah medan pertempuran. Sebuah titik api Perang Dingin antara Republik Rakyat Cina dan Republik Cina (Taiwan). Tentara Pembebasan Rakyat pun menembaki pulau kecil Kinmen berulang kali. Dimulai pada 23 Agustus 1958, ketika Wu berusia hampir satu tahun, sekitar 479.500 bom telah dijatuhkan oleh China daratan di Kinmen selama 44 hari, sebuah peristiwa yang kemudian disebut Krisis Selat Taiwan tahun 1958.
Intensitas pemboman akhirnya mereda, meskipun daratan terus membombardir Kinmen setiap dua hari hingga tahun 1978. Beberapa dari bom itu akan meledak berkeping-keping. Uniknya, kepingan kecil ini dapat dikumpulkan dan dibuat menjadi pisau.
Di bengkelnya, di Jinning Township, Kinmen, Wu lantas mengkhususkan diri dalam membuat pisau dari cangkang artileri yang sama, yang menghujani keluarganya selama dua dekade penuh. Baja bom benar-benar berkualitas bagus. Mirisnya, semakin baik kualitas bom untuk dijadikan alat dapur, sebetulnya semakin banyak kerusakan yang ditimbulkan jika bom itu meledak terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Membuat seni dari puing-puing peperangan bukanlah hal baru. Sebelum orang-orang seperti Wu, para pengrajin di Eropa menggunakan kembali selongsong bom dari Perang Dunia Pertama menjadi vas dekoratif, stoples tembakau, dan perhiasan. Perbedaannya, pisau bom di Kinmen terlahir karena kebutuhan rakyat, akibat kondisi ekonomi yang mendesak, bukan sekadar memanfaatkan benda bekas.
Untungnya bagi orang Kinmen, baja benar-benar jatuh dari langit. Alat-alat berbahan besi sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan sehari-hari. Untuk memasok pulau itu dengan peralatan dan membantu menghidupi keluarganya, Wu mulai berlatih ke dalam bisnis pandai besi keluarga sejak usia 10 tahun. Dia biasa menerima pekerjaan untuk hampir semua hal yang dapat dibuat dari logam, termasuk engsel pintu, pisau, bajak pertanian, dan tentu saja, parang dapur.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya Tionghoa, parang pun tidak dianggap pisau biasa. Ini adalah alat paling penting di dapur — perkakas serba guna yang dapat digunakan untuk memotong sayuran, memotong tulang, atau memotong daging. parangnya memiliki daya tahan dan kekuatan yang banyak dicari oleh koki, karena baja dalam bom artileri lebih padat daripada baja biasa.
Saat ini, pisau Maestro Wu telah menjadi salah satu produk paling ikonik di Kinmen, walaupun pembuatan pisau tradisional semakin memudar. Wu tetap setia pada keahliannya selama lebih dari setengah abad. Ia sebenarnya dapat dengan mudah pensiun dan bekerja secara pasif sebagai juru bicara merek, bagaimanapun ia lebih menyukai keahlian bengkelnya. [*]