Pandemi, Tisu Toilet, dan Sejarah Cebok

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
2 April 2020 19:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: commons.wikimedia.org
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: commons.wikimedia.org
ADVERTISEMENT
Sejak pandemi SARS-COV-2 semakin berdampak buruk terhadap kepanikan massal, tisu toilet menjadi salah satu komoditas yang sama berharganya dengan emas. Rak-rak tisu di supermarket lebih cepat habis dibandingkan dengan susu.
ADVERTISEMENT
Memang, kasus ini tidak terlihat heboh di Indonesia yang mayoritas penduduknya bercebok menggunakan air. Tetapi, di Australia, Amerika, dan beberapa negara di Eropa, kelangkaan tisu toilet terasa sangat meresahkan khalayak.
Para peneliti, psikolog, dan ekonom, secara kolektif pun merasa bingung dengan perilaku aneh tersebut. Salah satu dugaannya, kemungkinan karena tanpa disadari, tisu toilet telah menjadi bagian kebutuhan pokok sebagian populasi manusia.
Bagaimanapun, tidak semestinya kepanikan tersebut terus berlanjut. Jika melihat dari catatan historis, manusia tidak melulu mengandalkan tisu untuk bercebok.

Tongkat dan air juga bisa, kok!

Gambar: commons.wikimedia.org
Satu solusi praktis dapat membantumu apabila kehabisan tisu toilet, yaitu dengan menggunakan tongkat, seperti halnya yang pernah dilakukan pada zaman dahulu oleh orang Cina dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Praktek menggunakan spatula kayu ataupun tongkat bambu untuk kebersihan anus, memang seperti kembali ke zaman Buddha. Dahulu, sebelum kertas toilet diproduksi, para biksu membersihkan diri mereka dengan tongkat bambu atau kayu yang rata setelah mereka buang air besar. Begitu pula di Cina, para arkeolog menemukan tongkat pembersih pantat, dengan potongan kain yang melilit di ujungnya.
Salah satu keuntungan dari menggunakan tongkat daripada kertas toilet adalah bahwa tongkat dapat digunakan kembali setelah dibersihkan dengan benar. Tentunya setelah dicuci terlebih dahulu.
Orang Romawi kuno juga menggunakan spons yang dililitkan pada tongkat, dan setelah digunakan, tongkat tersebut ditempatkan di dalam ember cuka atau air garam. Sedangkan, orang-orang Yahudi menggunakan kerikil kecil untuk bercebok, yang mereka bawa di dalam tas.
ADVERTISEMENT
Pada awal abad ke-14, tercatat bahwa di tempat yang sekarang menjadi provinsi Zhejiang, sepuluh juta paket yang isinya 1.000 hingga 10.000 lembar kertas toilet diproduksi setiap tahun. Selama Dinasti Ming (1368-1644 M), tercatat pada tahun 1393, bahwa persediaan tahunan 720.000 lembar kertas toilet diproduksi untuk penggunaan umum dalam istana kekaisaran di ibu kota Nanjing. Pada tahun yang sama, untuk keluarga kekaisaran Kaisar Hongwu, dibuat 15.000 lembar kertas toilet dengan bahan kain khusus bertekstur lembut, dan di setiap lembarnya diberi wewangian.
Di banyak wilayah di Bumi ini, penggunaan air untuk membersihkan kotoran bahkan lebih digemari ketimbang kertas toilet atau tongkat. Orang India, tercatat telah menggunakan air guna bercebok sejak zaman kuno.
ADVERTISEMENT
Menggunakan air tidak hanya lebih bersih, namun juga meminimalisir dampak buruk pada lingkungan. Menurut sebuah artikel dari Scientific American, orang Amerika Serikat menggunakan 36,5 miliar gulungan tisu toilet setiap tahun, sama dengan menebang sekitar 15 juta pohon.
Pembuatan tisu toilet juga melibatkan 1,8 triliun liter air dan 253 juta ton klorin. Proses produksi ini membutuhkan sekitar 17,3 tera watt listrik setiap tahun.
Selain itu, tisu toilet merupakan masalah baru, dimana dapat menyumbat pipa dan menambah beban yang signifikan ke sistem saluran pembuangan kota dan instalasi pengolahan air.
Jadi, di masa sulit ini, jangan panik, dan ada baiknya mulai melupakan tisu toilet. Tak perlu juga memaksakan diri menggunakan tongkat, karena kemungkinan dapat melukai dubur. Cobalah menggunakan air, selain simpel, manfaatnya telah terbukti secara ilmiah.
ADVERTISEMENT
Sumber: amusingplanet.com | historyextra.com