Vape dan Penyakit Paru-Paru Langka

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
6 Desember 2019 11:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Perokok e-rokok atau vape beresiko mengalami penyakit pernapasan
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Perokok e-rokok atau vape beresiko mengalami penyakit pernapasan
ADVERTISEMENT
Seorang wanita dilaporkan mengalami kondisi paru-paru langka yang biasanya terjadi pada orang yang sering terpapar logam keras. Pasien yang tidak disebutkan namanya ini didiagnosis menderita Pneumoconiosis logam keras, atau paru-paru kobalt. lalu ada seorang pria berusia 49 tahun yang mulai menderita napas pendek dan batuk parah ketika dia memaksakan diri merokok vape. Dia mengaku telah menggunakan vape sekitar enam bulan sebelum gejalanya berkembang.
ADVERTISEMENT
Tes yang dilakukan peneliti atas uap vape yang digunakan oleh wanita penderita Pneumoconiosis logam keras menujukkan adanya kandungan kobalt, nikel, aluminium, mangan, timah dan kromium. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, vitamin E asetat juga menjadi penyebab bahayanya.
Penelitian yang diterbitkan European Respiratory Journal mengatakan kedua kasus diatas merupakan kasus pertama dari bahaya penggunaan e-rokok atau Vape. Makalah ini muncul ditengah-tengah wabah multi-negara dari cendera paru-paru terkait e-rokok di Amerika Serikat.
Foto: Berbagai bentuk e-rokok dibuat oleh para produsen vape untuk menarik perhatian konsumen
Memang keberadaan e-rokok atau vape bermula dari upaya mencegah penyakit akibat bahaya tembakau. Pemikiran ini telah meluas dan diyakini masyarakat dunia bahwa e-rokok adalah alternatif lain yang aman untuk mereka yang merokok. Ternyata hal itu dibantah oleh para ahli dalam European Respiratory Journal, mereka justru prihatin tentang persepsi keamanan e-rokok atau vape. Sehingga menyarankan para penggunanya berhenti merokok baik elektrik ataupun rokok biasa. Selama ini strategi yang digunakan e-rokok dalam promosinya memberikan informasi yang seolah bermaksud baik tetapi tidak benar atau tidak berdokumen kesehatan resmi. Kini sudah ada 40 negara telah melarang e-rokok atau e-liquid nikotin bagi masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Kirk Jones, profesor patologi klinis dari University of California, San Francisco menyatakan "Orang yang sering melakukan vape berupaya mencari alternatif yang dianggap lebih aman daripada merokok. Tetapi sebagai dokter paru-paru, tugas kita adalah untuk peduli tentang zat yang dihirup ke dalam paru-paru, terutama zat yang dapat mem-bypass mekanisme pertahanan tubuh (yang biasa seperti kabut ultra-halus). Kami percaya masih banyak orang yang belum mengakui bahaya vape, itulah mengapa salah satu alasan utama kami dalam menerbitkan riwayat kasus ini adalah untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang risiko akibat vaping."
Foto: Jaringan paru-paru yang rusak terkena penyakit Pneumoconiosis
Ketika masalah Pneumoconiosis belum meluas seperti sekarang, orang-orang pernah mengkhawatirkan kemungkinan dampak kesehatan akibat partikel halus dan ultrafine dari elemen pemanas di e-rokok. Kekhawatiran ini kemudian dibuktikan dalam penelitian pertama namun belum ada hasil yang pasti. Setelah hampir satu dekade dan lebih dari 40 juta orang di seluruh dunia telah menggunakan vape, barulah terbuktilah bahwa kekhawatiran itu benar, mulai timbul penyakit pneumonia interstitial sel raksasa.
ADVERTISEMENT
Faktor lain yang turut pemicu masalah kesehatan akibat vape adalah penggunaan peralatan yang salah, merokok dengan cara yang salah (misal tidak sering mengganti perangkat yang dapat menyebabkan degradasi logam) atau hasil dari kombinasi keduanya.
Lion Shahab, profesor di bidang psikologi kesehatan di University College London berpesan, "siapa pun yang merasa mengalami masalah terkait paru-parunya setelah menggunakan vape agar segera berkonsultasi dengan dokter. Berhenti merokok adalah jalan satu-satunya yang terpenting untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan seseorang".
ADVERTISEMENT
Sumber: scientificamerican.com | newsweek.com
Sumber foto: commons.wikimedia.org