Konten dari Pengguna

Dari Ujung Negeri, Apoteker Menangis Diam-diam

Ilham Hidayat
Apoteker Ber STR Kemenkes RI - Komisaris Klinik Pratama - Founder Komunitas AI Farmasi (PharmaGrantha AI)-Pemerhati Kebijakan Kesehatan
25 Mei 2025 16:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Dari Ujung Negeri, Apoteker Menangis Diam-diam
Tentang apoteker di daerah yang terjebak regulasi absurd: iuran menghampiri, advokasi melipir. Sebuah kisah sunyi dari ujung negeri yang tak pernah jadi berita.
Ilham Hidayat
Tulisan dari Ilham Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL·E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL·E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
Di sebuah kabupaten yang jauh dari gemerlap kota besar, seorang apoteker duduk termenung di belakang etalase kaca. Bukan karena apoteknya sepi pembeli, bukan pula karena stok obat telat datang. Ia sedang menimbang sesuatu yang lebih pelik: bagaimana caranya mengurus izin praktik, tanpa harus menjual logika pada absurditas birokrasi.
ADVERTISEMENT
Ia bukan satu-satunya.

Ketika aturan berubah, kabar tak selalu sampai.

UU No. 17 Tahun 2023 telah menghapus rekomendasi organisasi profesi sebagai syarat mutlak pengurusan Surat Izin Praktik (SIP). Tapi realitas sering tak sejalan dengan regulasi. Di banyak daerah, formulir “rekomendasi organisasi” masih terselip manis dalam daftar persyaratan.
“Ini cuma pelengkap,” kata petugas. Tapi semua tahu: tanpa “pelengkap” itu, berkas bisa tak bergerak.
Dan di saat bersamaan, sebuah tautan dikirimkan lewat grup WhatsApp: formulir keanggotaan, disertai nomor rekening untuk transfer iuran tahunan. Karena meskipun advokasi tak pernah hadir ketika apoteker tersungkur, iuran selalu tahu kapan harus datang mengetuk pintu. Dengan wajah formal dan sistem terkomputerisasi, tentu saja.
“Untuk kebersamaan,” kata mereka. Meski nyatanya, apoteker sering merasa sendirian saat menghadapi sistem yang menolak memberi ruang.
ADVERTISEMENT

Apoteker tak boleh terlalu dekat. Tapi minimarket bisa saling bertetangga.

Di sebagian wilayah, pengajuan SIP ditolak hanya karena jarak antar apotek dianggap “terlalu dekat.” Alasannya: pemerataan. Tapi coba tengok kiri dan kanan jalan: Alfamart dan Indomaret berdiri berdampingan, seperti pasangan sah.
Di mana logika yang menyebut apoteker sebagai ancaman kompetisi, sementara waralaba ritel justru disambut dengan tangan terbuka?
Apoteker bukan pedagang, ia tenaga kesehatan. Tapi regulasi membuatnya seolah-olah seperti rival pasar malam—harus saling menjauh agar tak rebutan pelanggan.

SIP ke-2 dan ke-3: harapan yang kandas sebelum dimulai.

Banyak apoteker di daerah ingin membuka layanan kedua atau ketiga. Bukan untuk mengejar kekayaan, tapi untuk membantu daerah yang kekurangan tenaga farmasi. Namun yang didapat justru penolakan tanpa alasan. Tidak bisa. Titik. Tanpa koma.
Ini bukan sekadar soal surat izin. Ini tentang pengakuan. Tentang memberi ruang pada profesional untuk mengabdi lebih luas, bukan menyempitkan langkah mereka dengan syarat yang tak tertulis tapi diberlakukan seperti hukum negara.
ADVERTISEMENT
Dan lagi-lagi, ketika advokasi dibutuhkan—untuk melawan kebijakan yang tak masuk akal—organisasi yang memungut iuran itu justru diam di tikungan. Ia tak bicara, tak bersuara. Hanya muncul lagi nanti… saat waktu pembayaran tiba.

Sunyi itu tak terlihat, tapi terasa.

Apoteker di pelosok tak punya kemewahan untuk bertanya. Banyak dari mereka bahkan tak tahu siapa yang bisa diajak berdiskusi. Internet lambat, sinyal putus-putus, dan tidak ada waktu untuk berselancar membaca pasal-pasal.
Yang mereka tahu: pasien butuh obat. Apotek harus buka. Izin harus keluar. Dan kalau pun tak keluar, mereka tetap harus hadir—karena tak ada apoteker lain yang bisa menggantikan.
Di kota, kita bicara digitalisasi, sistem terpadu, dan integrasi data. Di desa, mereka masih bertanya: "Kapan SIP-ku selesai, ya?"
ADVERTISEMENT

Sudah cukup sunyi yang ditanggung apoteker.

Profesi ini layak dibela, bukan dijerat. Apoteker tidak butuh organisasi yang hanya muncul untuk mengingatkan kewajiban bayar, tapi tiarap saat anggotanya ditolak izin tanpa penjelasan. Mereka butuh rumah yang melindungi, bukan hanya papan nama yang mengirim tagihan.
Sudah waktunya apoteker—dari kota hingga pelosok—memiliki sistem yang adil, aturan yang masuk akal, dan organisasi yang hadir bukan hanya untuk iuran, tapi juga untuk perjuangan.
Karena dari ujung negeri, apoteker masih bekerja. Dalam sunyi. Dalam sepi. Sambil menanti keadilan yang entah kapan menghampiri.