Konten dari Pengguna

Diam yang Terlalu Lama: Catatan Kecil dari Dunia Apoteker

Ilham Hidayat
Apoteker Ber STR Kemenkes RI - Komisaris Klinik Pratama - Founder Komunitas AI Farmasi (PharmaGrantha AI)-Pemerhati Kebijakan Kesehatan
24 Mei 2025 13:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Diam yang Terlalu Lama: Catatan Kecil dari Dunia Apoteker
Refleksi tentang apoteker yang terlalu lama dibungkam sistem. Kini, saat suara mulai tumbuh, arah baru profesi dipertaruhkan: diam atau bangkit.
Ilham Hidayat
Tulisan dari Ilham Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL·E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL·E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)

Ketika Suara Tak Lagi Didengar

Di suatu sudut puskesmas di pinggiran negeri ini, seorang apoteker menatap kosong lembaran kertas permohonan izin praktiknya yang tertunda. Tidak ada pendamping hukum. Tidak ada hotline advokasi profesi. Tidak ada suara kolektif yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri. Ia hanya duduk diam. Tapi diam itu bukan karena rela—diam itu karena putus asa.
ADVERTISEMENT
Di kota besar yang sibuk, seorang apoteker muda baru saja menyelesaikan sumpah profesi. Gaji belum turun. Pekerjaan belum pasti. Tapi yang pertama kali menyapanya adalah serangkaian tuntutan: iuran anggota, formulir daring, dan notifikasi dari aplikasi yang seolah lebih penting daripada pertanyaan: "Apa yang kau butuhkan sebagai apoteker baru?"
Diam menjadi rutinitas. Ia diajarkan sejak awal. Bertanya dianggap menyimpang. Menolak dianggap membangkang. Kritik dijawab dengan doktrin: "Begitulah sistem kita."
Padahal diam ini menyimpan luka. Menyimpan suara-suara yang perlahan hilang arah. Profesi ini—yang katanya strategis, katanya mulia, katanya penjaga rasionalitas terapi—nyatanya berjalan tanpa kompas. Dan lebih menyakitkan lagi, ketika yang membangun tembok keterasingan itu bukan orang luar, melainkan orang-orang dalam profesi itu sendiri.
ADVERTISEMENT

Tembok yang Retak, Gairah yang Bangkit

Selama bertahun-tahun, iuran dijadikan alat seleksi. Mereka yang tak mampu membayar dianggap tidak layak dilayani. Tunggakan dijadikan senjata. Loyalitas diukur dari kepatuhan administratif, bukan dari kontribusi nyata. Ruang diskusi menjadi ruang sunyi. Forum profesional berubah menjadi ruang penghakiman. Dan yang paling terluka adalah mereka yang berada di pinggiran—yang jauh dari pusat, dari kampus, dari jaringan kekuasaan profesi.
Namun waktu bergeser. Dan sistem mulai berubah.
Kini, apoteker bisa mengurus STR dan SIP tanpa harus membayar tunggakan. Ini bukan hal kecil. Ini adalah retakan pada dinding yang telah terlalu lama kokoh menekan. Retakan kecil, tapi cukup untuk membiarkan cahaya masuk. Dan dari celah itulah, kita mulai melihat sesuatu yang telah lama kita lupakan: gairah.
ADVERTISEMENT
Gairah untuk bertanya. Gairah untuk berpikir. Gairah untuk menolak tunduk pada sistem yang hanya mengenal kata "patuh" tapi tidak pernah tahu cara mendengar.
Apoteker mulai menulis. Mulai bersuara. Mulai mengorganisasi. Tidak dalam skala besar. Tidak dengan gegap gempita. Tapi dengan pelan, konsisten, dan tajam. Seperti tetes air yang lambat laun mengikis batu.
Tentu saja, tidak semua menyambut perubahan ini dengan tangan terbuka. Ada yang resah. Ada yang takut. Sebab arah baru selalu mengancam mereka yang selama ini menggenggam kompas lama. Kompas yang mereka buat sendiri, atur sendiri, dan wariskan sendiri. Kompas yang tidak pernah benar-benar menunjukkan arah, tapi cukup ampuh untuk membuat banyak apoteker tersesat.

Membangun Ruang Suara yang Baru

Kini, kita berada di persimpangan. Arah baru mulai terlihat. Tapi jalan masih berkabut. Dan di titik inilah, pertanyaan paling penting harus diajukan:
ADVERTISEMENT
Mengapa kita diam selama ini?
Mengapa kita rela dibungkam?
Dan yang lebih penting—apa yang akan kita lakukan dengan kebebasan kecil yang mulai kita rasakan ini?
Ini bukan soal iuran. Ini soal martabat. Ini bukan tentang organisasi semata. Ini tentang ruang berpikir yang terlalu lama dirampas.
Kita perlu ruang publik. Bukan sekadar grup WhatsApp alumni. Tapi ruang yang memungkinkan kita berpikir bersama, saling koreksi, saling jaga. Bukan ruang yang dibatasi oleh seragam, tapi yang dibangun atas kesadaran profesi.
Perubahan selalu lahir dari ketidaknyamanan. Tapi tak semua ketidaknyamanan melahirkan perubahan. Ada yang justru membuat kita makin dalam terpuruk—jika kita terus memilih diam.
Jadi, hari ini, mungkin tidak semua dari kita bisa bicara. Tidak semua punya keberanian yang sama. Tapi setidaknya, kita bisa berhenti diam karena takut. Kita bisa diam karena sedang berpikir. Diam karena sedang menyusun langkah. Diam yang aktif. Diam yang bernyawa.
ADVERTISEMENT
Dan jika hari ini ada apoteker yang mulai merenung, jangan ganggu dia. Jangan suruh dia cepat-cepat kembali ke barisan. Biarkan dia berpikir. Karena mungkin dari renungannya itu, akan lahir suara yang selama ini kita tunggu: suara yang bukan hanya menolak tunduk, tapi juga mampu menunjukkan arah.
Bukan arah lama. Tapi arah yang kita pilih sendiri, bersama.