Konten dari Pengguna

Obat Mahal, Terapi Gagal: Siapa yang Mengawal?

Ilham Hidayat
Apoteker Ber STR Kemenkes RI - Komisaris Klinik Pratama Monhal Persada - Founder Komunitas AI Farmasi (PharmaGrantha AI)-Pemerhati Kebijakan Kesehatan
14 Mei 2025 10:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL·E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL·E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
Suatu sore yang mendung di pinggiran kota, seorang ibu bernama Rina memandangi meja makannya yang kini dipenuhi obat-obatan. Ada antibiotik yang sudah diminum tiga hari, sirop batuk, tablet penurun panas, dan vitamin. Anak semata wayangnya, Dito, masih terbaring lemas dengan demam yang naik turun. Batuknya malah makin parah. Obat sudah diminum rutin, tapi hasilnya nihil. Kegelisahan mulai tumbuh menjadi ketakutan.
ADVERTISEMENT
Bagi banyak keluarga di Indonesia, kisah Bu Rina bukanlah hal luar biasa. Obat jadi harapan, tetapi tanpa kepastian. Dalam sistem layanan kesehatan kita yang kompleks, pengobatan seringkali diberikan tanpa pendampingan yang benar-benar memahami kombinasi antara efektivitas klinis dan efisiensi ekonomi. Dan di sinilah letak persoalan utamanya.

Farmakoterapi Itu Tidak Sederhana

Banyak yang masih melihat obat hanya sebagai barang: diberikan, diminum, dan sembuh. Padahal, farmakoterapi adalah proses medis yang melibatkan pemilihan zat aktif yang tepat, bentuk sediaan yang sesuai, dosis dan frekuensi yang akurat, serta cara penggunaan yang benar. Ketika salah satu komponen ini tidak pas, maka terapi bisa gagal. Dan ketika terapi gagal, biaya pun membengkak.
Sebuah studi dalam sistem jaminan kesehatan nasional menunjukkan bahwa sekitar 30–40% klaim BPJS Kesehatan terserap untuk pengadaan obat. Tapi berapa persen dari itu yang benar-benar efektif? Banyak pengeluaran justru terjadi karena terapi tidak tepat sejak awal: pasien tidak sembuh, kembali ke faskes, mendapat pengobatan baru, dan mengulang siklus yang sama.
ADVERTISEMENT

Apoteker: Garda Penentu Efektivitas dan Efisiensi

Dalam rantai pelayanan kesehatan, apoteker memegang peran unik: berada di antara preskripsi dan konsumsi. Mereka adalah profesional kesehatan yang dibekali kompetensi untuk menilai apakah terapi obat yang diberikan sudah sesuai dengan kondisi pasien secara klinis dan ekonomis.
Sayangnya, peran ini seringkali tidak difungsikan secara maksimal. Di banyak tempat, apoteker masih diposisikan sekadar sebagai "penyalur obat." Padahal, jika diberi ruang, apoteker dapat:
Dengan peran aktif apoteker, terapi yang diberikan bukan hanya lebih tepat, tetapi juga lebih hemat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT

Contoh Nyata: Penghematan oleh Intervensi Apoteker

Beberapa rumah sakit dan Puskesmas yang sudah menerapkan layanan farmasi klinik berbasis tim membuktikan hal ini. Dalam studi internal sebuah RSUD di Jawa Tengah, keterlibatan apoteker dalam telaah obat pasien kronis menghasilkan penurunan biaya rata-rata hingga 18% per episode pengobatan. Bukan karena obatnya diganti yang lebih murah, tetapi karena terapi menjadi lebih tepat, durasi penyembuhan lebih cepat, dan pengulangan kunjungan menurun drastis.
Di sisi lain, edukasi dari apoteker tentang pentingnya menyelesaikan terapi antibiotik sesuai anjuran mengurangi kejadian resistensi yang kemudian berdampak pada biaya perawatan lanjutan yang jauh lebih mahal.

Apoteker dan Sistem JKN: Hubungan yang Belum Maksimal

Program JKN seharusnya menjadi ladang emas untuk pembuktian peran strategis apoteker. Namun sayangnya, belum ada sistem baku yang mewajibkan pelibatan apoteker dalam tim pelayanan primer secara aktif. Banyak puskesmas bahkan belum memiliki apoteker tetap, atau jika ada, lebih banyak mengurus stok obat daripada mengelola terapi.
ADVERTISEMENT
UU No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024 sebenarnya sudah membuka jalan bagi penguatan peran apoteker. Tapi dalam praktiknya, pelibatan apoteker masih bersifat opsional dan bergantung pada kebijakan institusi.
Maka, sudah saatnya:

Kesimpulan: Obat yang Tepat, Biaya yang Ringan

Farmakoterapi bukan urusan satu profesi. Ia adalah seni dan sains yang harus dikelola bersama, dengan apoteker sebagai pilar penting. Ketika apoteker diberdayakan, pasien mendapat terapi yang lebih tepat, risiko kesalahan menurun, dan biaya bisa ditekan secara sistemik.
ADVERTISEMENT
Kita harus berhenti menganggap apoteker sebagai petugas belakang layar. Mereka adalah penjaga mutu, pengendali risiko, dan katalis efisiensi dalam sistem kesehatan. Dan jika kita ingin rakyat Indonesia benar-benar merasakan manfaat layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, maka sudah waktunya apoteker diberi peran sesuai kapasitas dan kompetensinya.
Karena di tengah gejolak harga obat, lonjakan klaim JKN, dan meningkatnya resistensi obat, kita tidak bisa lagi membiarkan terapi berjalan tanpa pengawalan.
Siapa yang akan mengawal kalau bukan apoteker?