Konten dari Pengguna

Profesi Tanpa Suara: Luka Sunyi Apoteker Indonesia

Ilham Hidayat
Apoteker Praktik - Komisaris Klinik Pratama Monhal Persada - Presidium Nasional Farmasis Indonesia Bersatu - Founder Komunitas AI Farmasi (PharmaGrantha AI)
5 Mei 2025 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL·E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL·E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu bertanya, kenapa profesi apoteker jarang terdengar ketika isu besar kesehatan mencuat? Seperti saat polemik paracetamol sirop yang sempat disalahkan sebagai penyebab gagal ginjal akut pada anak, atau ketika publik bingung soal keamanan penggunaan antibiotik—suara apoteker seperti tenggelam. Padahal, peran mereka penting dalam menjaga keamanan dan efektivitas penggunaan obat.
ADVERTISEMENT
Tapi kenyataannya, apoteker di Indonesia seperti memilih jalur sunyi. Diam. Tidak ikut ribut. Tidak banyak bersuara. Di balik jas putih yang mereka kenakan, ada sikap apolitis yang sudah jadi kebiasaan: fokus di balik meja pelayanan, tapi enggan masuk ke ruang kebijakan.

Apoteker yang Terlalu Diam

Kalau kita jujur, profesi apoteker selama ini memang lebih dikenal sebagai tenaga teknis—tugasnya menyiapkan resep, meracik obat, memberi edukasi dosis, dan kadang cuma disapa kalau harga obat dirasa mahal. Jarang yang melihat mereka sebagai pengambil keputusan di sistem kesehatan.
Kenapa bisa begitu? Salah satunya karena dari awal, sistem pendidikan farmasi kita lebih menekankan soal laboratorium dan obat, bukan soal kebijakan, advokasi, atau kepemimpinan. Mahasiswa farmasi jago soal interaksi obat, tapi sering canggung kalau harus menyampaikan pendapat dalam forum kesehatan publik.
ADVERTISEMENT
Begitu lulus, mereka masuk ke dunia kerja yang juga tidak banyak menuntut bicara. Apoteker menjadi pelaksana SOP. Di apotek, di rumah sakit, bahkan di industri—kebanyakan lebih banyak mengikuti aturan, bukan menyusunnya.

Ketika Diam Itu Merugikan Profesi Sendiri

Sikap apolitis ini sayangnya membawa dampak besar. Coba perhatikan, banyak regulasi kesehatan yang tidak berpihak pada apoteker. Misalnya, soal pembatasan kewenangan apoteker dalam pelayanan langsung kepada pasien, atau aturan tentang praktik pelayanan yang tidak jelas batas kewenangannya. Di balik semua itu, jarang ada apoteker yang ikut duduk di meja penyusunan kebijakan.
Akhirnya, profesi ini jadi profesi yang mudah diabaikan. Negara tidak merasa perlu mendengarkan, karena tidak ada tekanan. Masyarakat pun tidak paham seberapa penting peran apoteker. Marwah profesi makin kabur. Dan apoteker muda tumbuh dalam ekosistem yang mengajarkan mereka untuk patuh, bukan untuk berpikir kritis dan memperjuangkan.
ADVERTISEMENT

Lihat Negara Lain: Apoteker Bersuara, Profesi Maju

Kalau kita menengok ke luar negeri, gambarnya sangat berbeda. Di Inggris, apoteker punya badan negosiasi khusus bernama PSNC (Pharmaceutical Services Negotiating Committee) yang langsung berhadapan dengan sistem layanan kesehatan nasional (NHS) untuk membicarakan kontrak layanan.
Di Amerika, American Pharmacists Association (APhA) terus memperjuangkan status apoteker sebagai "provider" agar bisa mendapat pembayaran dari skema asuransi nasional. Di Kanada, organisasi apoteker aktif melobi pemerintah agar apoteker diberi kewenangan meresepkan obat tertentu.
Semua itu terjadi karena apoteker di sana tidak diam. Mereka membangun kekuatan profesi, belajar bicara di forum publik, dan membentuk organisasi yang kuat secara advokasi.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sebenarnya punya banyak apoteker cerdas, kritis, dan mau berubah. Tapi selama ini belum banyak ruang yang mendukung mereka untuk bersuara. Organisasi profesi masih terlalu fokus pada administrasi dan pelatihan, belum optimal sebagai kekuatan advokasi kebijakan.
ADVERTISEMENT
Apoteker perlu tampil di media, berdiskusi dengan DPR, hadir di rapat-rapat publik, dan ikut menyusun narasi tentang sistem kesehatan yang adil. Karena kalau tidak, profesi ini akan terus berada di pinggir, walau jasnya bersih dan ilmunya dalam.

Saatnya Mengubah Arah

Kalau kamu seorang apoteker, ini saatnya bertanya ke diri sendiri: mau terus diam dan berharap orang lain memperjuangkan, atau mau mulai bersuara dan ambil peran?
Kita bisa mulai dari langkah-langkah kecil:
• Ikut forum diskusi kebijakan atau isu kesehatan publik
• Menulis opini, artikel, atau sekadar komentar yang membela profesi
• Mendorong organisasi profesi membentuk divisi advokasi
• Membangun komunitas apoteker yang sadar kebijakan
• Mengedukasi masyarakat soal peran apoteker yang sebenarnya

Penutup: Jangan Jadi Profesi yang Tertinggal

Kita hidup di era di mana narasi bisa menentukan masa depan profesi. Kalau apoteker tidak punya narasi, maka narasi orang lain akan menentukan perannya. Dan kalau apoteker terus diam, maka suara-suara lain akan mengatur posisi kita.
ADVERTISEMENT
Profesi yang tidak memperjuangkan dirinya sendiri tidak akan dihormati. Bahkan sampai sekarang, peraturan terkait praktik apoteker saja belum nampak hilalnya, setelah sekian purnama diajukan.
Apoteker harus mulai bicara. Karena diam, bukan lagi pilihan aman.
Tulisan ini bagian dari kampanye kesadaran profesi apoteker Indonesia