Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Adakah Sosok Ken Arok di Pilpres 2019
4 Mei 2018 22:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Abu Ikbal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mencari sosok Alternatif yang mampu menjadi jawaban atas berbagai opsi yang dimunculkan oleh pakar komunikasi ilmu politik, pengamat, dan politisi belum menemui titik terang, penyebab utamanya adalah belm di launcing sejumlah kandidat yang akan bertarung di bursa capres dan cawapres 2019.

Ada kegangandrungan yang memaksa jemariku menjamahi tombol huruf-huruf diatas Laptop malam ini kegandrungan itu muncul tentu memiliki banyak sebab salah satunya adalah memunculkan judul yang cukup menggelitik ini, latar belakangnya yang jelas dan banyaknya beredar tagar dan konsfirasi menjelang datangnya pemilu presiden.
ADVERTISEMENT
Malam ini cukup banyak waktu tersita untuk membaca novel Pramoedya Ananta Toer dengan judul Arok Dedes sebuah karya yang apik dan menggelitik nalar politik, mengangkat tema rakyat jelata dan menghadirkannya menjadi sosok raja dibumbui dengan aneka intrik dan sisi romantisme yang menarik, berikut ringkasannya untuk anda.

Karya ini jauh mendebarkan. Sepanjang buku, Pramoedya tak henti henti mengangkat pertentangan antar pengikut Syiwa, Wisynu, Budha, dan pemuja arwah leluhur di Nusantara kala itu. Ketika Raja Erlangga bertahta, beliau sebagai penganut Wisynu menyatakan bahwa manusia boleh 'naik kelas' berdasar upaya upaya yang dicapainya, tidak hanya melulu berdasar garis keturunan. Seorang sudra boleh menjadi akuwu ( Raja bawahan) yang biasanya dimonopoli kaum satria. Titah ini bukan tanpa tentangan. Kaum Brahmana yang menganut Syiwa praktis merasa menjadi termarjinalkan dengan Magna Charta ala Erlangga ini. Dari situasi politik inilah Pram memulai kisahnya.
ADVERTISEMENT
Negeri Tumapel, dibawah kerajaan Kediri ( 1185-1222). Yang berkuasa adalah akuwu Tunggul Ametung, seorang Sudra yang menjadi akuwu dengan ototnya. Dan tentu saja menjadi otoriter. Tidak saja kaum Sudra yang dilindasnya, bahkan berani menculik seorang brahmani, brahmana perempuan yang bernama Dedes. Suatu yang dianggap pelecehan oleh para pengikut syiwa. Para Brahmana yang diketuai Lohgawe merancang pembalasan.
Ketika itu Teologi Hindu adalah pengaruh terkuat terhadap cara pikir manusia - manusia di sana, lantas mereka hidup di tengah kuatnya tingkat-tingkatan sosial ( Sudra, waisya,satria, brahmana) berdasarkan kadar kekuasaan duniawi dan Rohani. Negeri Tumapel dipimpin oleh seorang raja dengan nama atau sebutan Tunggul Ametung, didampingi Permaisurinya yang ia cekel secara paksa dari rakyatnya sendiri yaitu Dedes wanita maha cantik sejagat negeri Tumapel. Tanah dan semesta isi alam Tumapel adalah wewenang Raja, begitu pun kawula - kawula negeri adalah kendali sang Raja.
ADVERTISEMENT
Sedangkan jauh di luar singgasana raja Tumapel, di dalam belantara hutan, terdapat sosok pria yang dianugrahi sang pencipta akan kepintarannya dalam beladiri dan berpikir. Pria ini juga ahli dalam bahasa sangsekerta sehingga pemahamannya tentang isi kitab-kitab ajaran hindu dianggap tingkat dewa ( luar biasa). Adalah Arok, pria dari kasta rendah namun tindak dan cara berpikirnya jauh melampaui kebiasaan umum kastanya. Setelah diluluskan dan dilepas dari amongan gurunya Arok berkelana ke belantara hutan dan kelak dia bergerak untuk merebut segala keistimewaan bangku raja negeri Tumapel, yakni menggandeng Dedes dan menjadi orang terkuasa di sana. Di ujung cerita raja Tunggul Ametung mati, pun kekuasaan Negeri Tumapel termasuk permata cantik Dedes sang permaisuri akhirnya jatuh kegenggaman Arok "
ADVERTISEMENT