Konten dari Pengguna

Dua Poros Utama Pemilu

Abu Rizal Sidik
Mahasiswa Megister Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
18 Januari 2024 12:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abu Rizal Sidik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pidato. Foto: aerogondo2/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pidato. Foto: aerogondo2/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kini, Pemilu menyuguhkan dua segmentasi kontras, para peserta yang memasuki arena pertarungan mengerucut pada porosnya: Berdiri dengan memposisikan diri berlawanan dan memanfaatkan kekuasaan sebagai kendaraan untuk menggenggam kemenangan.
ADVERTISEMENT
Kiranya, perlu banyak sekali instrumen yang dipakai agar dapat membangun argumentasi utuh untuk meyakini adanya pertarungan antara politic of power (politik kekuasaan) dan politic of support (politik dukungan). Namun agar dapat diterima, setidaknya dengan menyadari fenomena yang terjadi saat ini yakni, penyatuan berbagai cabang kekuasaan dalam satu genggaman.
Politik kekuasaan berupaya dalam mendominasi berbagai cabang kekuasaan kelembagaan, dibarengi dengan hilangnya batasan-batasan kewenangan. Dua batas kekuasaan yang saling bertentangan: Kekuasaan publik dan Konstitusi, dipaksa untuk saling merangkul. Konstitusi yang memiliki peran penting sebagai pembatas dihantam oleh kekuasaan publik yang memiliki watak untuk melampauinya.
Demokrasi terkelola nampaknya semakin nyata, pengondisian berbagai kebijakan terjadi di belakang panggung. Langkah-langkah para pemangku kekuasaan terkesan gegabah, kerap kali tindakan para elite condong mengedepankan kepentingan segelintir orang dibandingkan kepentingan umum. Tak heran, regulasi yang mempunyai korelasi kuat dengan Pemilu pun terberangus.
ADVERTISEMENT
Seperti apa yang diulas sebelumnya, konsekuensi dari menyatunya berbagai cabang kekuatan dalam satu genggaman akan mengubah arah laju angin demokrasi negeri ini. Ancaman pemusatan kekuasaan itu akan dengan mudah memudarkan prinsip demokrasi.
Pada dasarnya, politik kekuasan (politic of power) mempunyai fasilitas istimewa yang memudahkan dalam menjalankan misinya. Bukan hanya saja memperkasai kekuasaan eksekutif, ekspansi menjalar pada cabang kekuasaan lain seperti, yudikatif. Mengikisnya independensi pembagian kekuasaan tidak lain disebabkan oleh dominasi rezim tunggal.
Itulah sebabnya, sepanjang sejarah umat manusia enggan mengidealkan politik kekuasaan (machtsstaat), pada sejarah peradabannya, umat manusia selalu menginginkan hukum sebagai panglima tertinggi (rechtsstaat). Namun seiring putaran jarum jam, kini demokrasi digrogoti para politisi yang melibatkan upaya untuk melampaui batasan-batasan kewenangan dengan cara yang tidak tepat.
ADVERTISEMENT
Sampailah pada saatnya, mimpi buruk itu terjadi. Pelonggaran ikatan-ikatan dan batasan-batasan politik kekuasaan melalui instrumen hukum. Bernari di ruang yang bukan semestinya hingga melahirkan legitamasi yang kontroversi seperti, batas umur Cawapres. Fenomena tersebut senada dengan apa yang dicanangkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt terkait strategi mengkonsolidasikan kekuasaannya dalam membunuh demokrasi di antaranya, mengubah aturan main.
Beranjak pada segmentasi berikutnya, politik dukungan (politic of support). Peserta lainnya berusaha menghendaki keinginan warga negara sebagai upaya dalam mengamankan suara dukungan pemilih dalam pemilu, langkah politik dukungan terkesan berupaya mewujudkan pemahaman kontrak sosial yang dirumuskan oleh Rousseau yakni, kepentingan individu dan negara adalah satu dan sama, dan merupakan tanggung jawab negara untuk melaksanakan kehendak umum.
ADVERTISEMENT
Akumulasi permasalahan para pemangku kebijakan diracik sebagai sebuah narasi sexy untuk mengikat hati pemilih, menawarkan mimpi masa depan meski harus bertaruh dengan konsekuensi yang besar, memposisikan diri berlawanan dengan kekuasaan.
Seperti apa yang sudah diprediksi, petarung yang menggunakan politik kekuasaan akan berupaya untuk menyingkirkan para kontestasi lainnya dengan segala kemampuannya. Menghalangi bahkan menutup jalan.
Memilih jalan berlawanan tentu bukan hal yang mudah untuk diimplementasikan, selain perlunya kedewasaan warga negara dalam berdemokrasi, rumusan tersebut juga harus mampu menerobos dinding besar politik kekuasaan. Dalam hal ini, mengemas pemilu sebagai perpanjangan maupun memperbesar kekuasaan.
Dalam menyikapi konstelasi politik masa kini, perlunya sifat menahan diri secara kelembagaan bagi para pemangku kewenangan. Mengedepankan sikap toleransi sebagai cerminan dalam menciptakan suasana damai dan harmoni. Membangun warna indah dalam pertarungan dengan menjadikan gagasan dan inovasi sebagai pembekalan senjata.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, benar-benar menjadikan masyarakat sebagai juri yang sesungguhnya untuk memilih secara objektif. Bukan karena tekanan atas kekuasaan ataupun terhasut pada narasi tak berdasar.