Konten dari Pengguna

Gelar Sarjana dan Makna Kehidupan

Abu Rizal Sidik
Mahasiswa Megister Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
12 Agustus 2023 17:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abu Rizal Sidik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudisium Sarjana. Foto: Abu Rizal Sidik
zoom-in-whitePerbesar
Yudisium Sarjana. Foto: Abu Rizal Sidik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kerap kali penambahan gelar di belakang nama membius para sarjana untuk tidak melakukan hal-hal kecil. Termakan oleh ilusi sebagai seorang berpendidikan tinggi, seakan label yang terpampang menjadi penyekat sosial dalam kehidupan. Membangun perspektif bahwa sarjana harus bekerja dan melakukan segala sesuatu pada levelnya.
ADVERTISEMENT
Tak heran, jika gelar hanya di tempatkan pada nomenklatur yang terbatas. Tidak jauh dari pemenuhan syarat untuk melanjutkan jenjang pencapaian kehidupan, pekerjaan, hingga jabatan.
Bermula pada sistem dan karakteristik hukum negara yang memberikan konsekuensi logis bahwa ijazah menjadi syarat administrasi awal untuk memasuki gerbang pertarungan dunia berpenghasilan.
Seolah bergelar atau tidak, menjadi titik krusial untuk melanjutkan langkah pada fase kehidupan selanjutnya. Bahkan, dapat melahirkan polarisasi antara pekerja berkasta tinggi dan rendah. Mengurangi nilai objektivitas kemampuan yang dimiliki karena terhalang oleh tembok besar (persyaratan administrasi di awal).
Fenomena di atas melahirkan berbagai tragedi ironi, mungkin tidak banyak. Namun, masih ada orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk meraih titel. Tak lain hanya untuk pemenuhan syarat administratif.
ADVERTISEMENT
Menoleh apa yang dilakukan oleh perusahaan raksasa dunia di negara maju seperti: Apple, Google, dan Netflix. Di mana dalam proses penerimaan pegawainya tidak lagi menitikberatkan pada kualifikasi pendidikan.
Ilustrasi gagal wawancara kerja. Foto: Shutter Stock
Lebih utamanya adalah kemampuan (skill). Terobosan ini memberikan dampak positif bahwa untuk membuktikan kemampuan tidak bergantung pada selembar kertas pengesahan di awal tahapan.
Saat ini, perkembangan zaman menimbulkan perubahan signifikan, mulai dari lahirnya berbagai bidang keahlian hingga tantangan baru. Dengan demikian, para kaum berpendidikan tinggi diharuskan mengambil peran. Tidak hanya memperkaya kepandaian diri, lebih jauh lagi menggandeng kaum awam.
Lebih mengerucut, seorang sarjana tidak hanya dihadapkan pada pertanyaan atas kemampuan disiplin ilmu yang dienyam. Lebih dari itu, seorang berpendidikan tinggi harus mampu menjawab dan hadir di tengah problematika eksistensial kehidupan yang ada. Baik dalam cakupan yang sempit maupun luas.
ADVERTISEMENT
Menggarisbawahi pemikiran Bapak Republik Indonesia Tan Malaka, jika seorang enggan melebur dengan masyarakat karena menganggap dirinya tinggi sebab berpendidikan, lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.
Bukankah ijazah hakiki terletak pada nilai dalam kehidupan bermasyarakat? Bukan hanya sebatas angka di atas secarik kertas?
Barangkali, perlu adanya pembaharuan dalam memaknai sebuah “gelar”. Bukan hanya sebagai capaian formalitas untuk pemenuhan administratif semata.
Jika terus dibiarkan, agaknya akan jarang melihat para sarjana yang peka terhadap lingkungan sekitar, dan keterwakilan dari kaum terdidik semakin menipis untuk mengawal setiap napas perjuangan akar rumput.
Akan menjadi makna yang sempit, seandainya gelar hanya diartikan sebagai sebuah pencapaian diri. Terlebih, titel tersebut hanya akan menjadi aksesoris jika tidak digunakan untuk kepentingan umum.
ADVERTISEMENT
Sampailah pada kesimpulan, bahwa gelar bukan alat untuk mengelompokkan manusia satu dengan yang lainnya. Sebaliknya, ia menjadi sarana pengingat bagi siapa pun yang meraih, bahwa Tuhan sudah memberikan kesempatan dan perlu dipertanggungjawabkan.