Pentingnya Menjaga Keberlangsungan Industri SKT untuk Mendukung Perekonomian

Abul Muamar
Alumnus Magister Filsafat UGM
Konten dari Pengguna
28 November 2023 10:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abul Muamar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi tembakau. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi tembakau. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rokok telah menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup manusia. Terlepas dari dampak buruknya terhadap kesehatan, bagi sebagian orang, rokok dapat membantu dalam menemukan inspirasi, meningkatkan konsentrasi, atau menenangkan pikiran. Lebih dari itu, keberadaan rokok—yang secara umum dihasilkan oleh perusahaan rokok—telah membantu perekonomian negara, terutama melalui penyerapan tenaga kerja formal dan penerimaan Cukai Hasil Tembakau. Hal itu turut berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), provinsi dengan angka pengangguran yang cukup tinggi, yakni 81,98 ribu orang per Agustus 2023.
ADVERTISEMENT

Dampak Positif Industri SKT

Selama ini, perekonomian DIY lebih banyak bergantung pada industri pariwisata dan pendidikan. Namun, dua sektor itu saja tidak cukup, terutama dalam mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Karena itu, DIY membutuhkan dukungan dari sektor lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membantu mengatasi berbagai masalah sosial yang ada. Di tengah kebutuhan itu, industri rokok hadir dengan kontribusi yang terbilang signifikan.
Di DIY, terdapat setidaknya tujuh perusahaan rokok, yang mayoritas merupakan industri sigaret kretek tangan (SKT). Sebagai industri padat karya, keberadaan industri SKT di DIY telah banyak membantu mengurangi angka pengangguran.
Menurut Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM SPSI) DIY Waljid Budi Lestarianto, terdapat setidaknya 5.200 tenaga kerja formal yang diserap oleh industri SKT di daerah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu per Desember 2022. Selain itu, industri SKT di DIY juga turut memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara melalui penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
“Yang jelas, industri SKT sangat membantu perekonomian daerah, terutama dari penyerapan tenaga kerja dan cukai. Ini bukan hanya di DIY, tapi di seluruh Indonesia. Apalagi, industri SKT ini juga tidak terlalu demanding (menuntut) dalam perekrutan. Asalkan si calon tenaga kerja ini sehat jasmani dan rohani, punya ijazah, SMP pun boleh, dia bisa diterima untuk bekerja. Keberadaan industri SKT juga berdampak terhadap perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik. Banyak masyarakat sekitar pabrik yang membuka usaha, mulai dari warung makan, membuka kos-kosan, jasa laundry, dan lainnya,” kata Waljid dalam wawancara empat mata di Kafe Taru Martani, Yogyakarta, pada Kamis, 23 November 2023.
Waljid Budi Lestarianto, Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM SPSI) DIY. | Foto: Abul Muamar.
Yang tak kalah penting, industri SKT juga termasuk industri yang ramah terhadap perempuan dan kelompok difabel, serta mulai menerapkan prinsip-prinsip kerja layak yang digaungkan oleh ILO. Menurut Waljid, beberapa pabrik SKT di DIY bahkan mulai menaruh perhatian terhadap hak-hak maternitas, termasuk membolehkan para pekerjanya untuk mengambil hak cuti haid—suatu kemajuan yang bahkan masih jarang diperoleh pekerja kerah putih di Indonesia.

“Termasuk juga urusan-urusan seperti pengasuhan anak dan kesehatan reproduksi,” ujar Waljid.
ADVERTISEMENT

Regulasi dan Kebijakan yang Mengancam

Namun sayangnya, seluruh dampak positif yang telah disebutkan di atas tidak serta merta membuat industri SKT aman. Sebagaimana industri hasil tembakau pada umumnya, industri SKT justru mendapatkan tekanan dari sejumlah regulasi dan kebijakan yang berlaku, baik di tingkat nasional maupun daerah, yang pada gilirannya membuat industri ini mengalami penyusutan dan—dalam beberapa kasus—terancam gulung tikar dan terpaksa memangkas jumlah tenaga kerjanya. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok, serta kenaikan tarif cukai, adalah beberapa faktor yang dimaksud.
“Kalau dibanding 10 tahun lalu, secara umum jumlah tenaga kerja yang diserap mengalami penurunan yang signifikan. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, dengan 5 pabrik saja, jumlah tenaga kerja yang terserap di industri SKT kurang lebih ada 7.500,” kata Waljid.
ADVERTISEMENT
Waljid bilang, regulasi dan kebijakan tersebut membuat harga produk SKT menjadi tidak kompetitif dan terus memaksa industri ini menuju senja kala. Ia merinci bagaimana regulasi dan kebijakan yang ada saat ini membuat para pelaku industri tidak leluasa dalam beriklan dan melakukan sponsorship, hingga memaksa mereka mengurangi jumlah produksi.
“Sekarang harga jual SKT sudah tinggi, hampir sama dengan SKM (Sigaret Kretek Mesin). Akibatnya, tingkat konsumsi masyarakat jadi menurun. Istilahnya, kalau orang bilang, industri SKT ini sekarang sudah masuk masa sunset,” tutur Waljid.
Kini, industri SKT—dan industri hasil tembakau lainnya—semakin terdesak di tengah ramainya pembahasan mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif (RPP Pengamanan Zat Adiktif/RPP Kesehatan).
ADVERTISEMENT
Menurut Kementerian Kesehatan, RPP tersebut dirancang untuk menurunkan prevalensi perokok dan mencegah perokok pemula; meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok dan manfaat hidup tanpa merokok; melindungi kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat dari bahasa konsumsi dan atau paparan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik yang dapat menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan, ekonomi, dan lingkungan; serta mendorong dan menggerakkan masyarakat untuk aktif terlihat dalam upaya pengendalian produk tembakau dan rokok elektronik.
Untuk diketahui, RPP tersebut memuat larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan produk secara ketengan, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, dan aturan kemasan minimal 20 batang per bungkus. RPP tersebut dianggap menyamakan produk hasil tembakau dengan minuman beralkohol dan narkotika.
ADVERTISEMENT

Pentingnya Perumusan Kebijakan yang Partisipatif

Melihat besarnya kontribusi industri SKT terhadap perekonomian selama ini, penting untuk mempertimbangkan berbagai aspek di luar kesehatan masyarakat yang coba dilindungi pemerintah, seperti aspek kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, keberlanjutan sektor industri hasil tembakau, hingga penerimaan negara, dalam perumusan kebijakan. Untuk itu, pemerintah mesti melibatkan partisipasi masyarakat agar dapat menghasilkan kebijakan dan peraturan yang adil dan inklusif.
“Dengan melibatkan partisipasi masyarakat, terutama stakeholder pertembakauan, kebijakan dan aturan yang dihasilkan barangkali akan memberikan win-win solution untuk semua pihak,” kata Waljid memungkasi. (*)