Konten dari Pengguna

Meuloh Teupeh, Kuliner Unik dari Pidie

Tim ACEHKINI
Partner kumparan 1001 Media
16 Februari 2019 17:32 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tim ACEHKINI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Proses pemanggangan Meuloh Teupeh. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Proses pemanggangan Meuloh Teupeh. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
ADVERTISEMENT
Meuloh teupeh adalah kuliner yang wajib tersedia pada setiap pesta dan kenduri maulid di Kampung Kumbang dan Ukee, Glumpang Baro, Pidie, Aceh.
ADVERTISEMENT
Di kedua kampung yang pernah menjadi lokasi istirahat Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Teungku Abdullah Syafie itu, sebuah pesta atau kenduri maulid tidak akan lengkap tanpa kuliner berbahan baku utama ikan bandeng ini. Posisinya hampir sama dengan Kuah Beulangong di Aceh Besar, yang wajib tersedia di setiap pesta.
Di masa hidupnya, almarhum Teungku Abdullah Syafie memilih kampung yang dikelilingi areal tambak itu sebagai tempat untuk beristirahat, bukan cuma karena jarang terendus aparat, melainkan sudah jatuh jatuh cinta dengan meuloh teupeh (atau bandeng ditumbuk). Ya, kuliner ini memang punya nama yang cukup unik.
Dari seorang koleganya di Trueng Campli, Abi Wahab, saya pernah mendengar kalau Teungkuh Lah, panggilan akrab untuk Panglima GAM karimatik ini, selalu memesan meuloh teupeh setiap ada warga dari kedua kampung di mukim Trueng Campli itu menyambangi markasnya di Jiem-jiem, Bandar Baru, Pidie Jaya.
ADVERTISEMENT
Siapa saja yang pernah menghadiri pesta di Kampung Kumbang dan Kampung Ukee, Glumpang Baro, pasti ingat dengan kuliner ini. Soalnya, menu meuloh teupeh selalu disajikan kepada setiap tamu. Bahkan, di beberapa tempat pesta, kuliner ini hanya dihidangkan untuk tamu khusus, saking istimewanya.
Pengolahan kuliner ini pun tergolong istimewa, karena melibatkan banyak orang. Mulai dari proses pesiang ikan, penghancuran tulang dan mengeluarkan daging, hingga memisahkan tulang dari daging ikan. Ketika melakukan semua proses begini, para ibu-ibu di kampung biasanya duduk melingkari sebuah wajan besar: ada yang mengulik dan memisahkan tulang; memasukkan kembali daging ikan ke dalam kulitnya; dan ada pula yang membungkusnya dengan daun pisang.
Setelah itu barulah berlanjut ke proses pemanggangan agar meuloh teupeh bisa disantap. Agar daging ikan masak dengan sempurna, ada ibu-ibu yang bertugas menjaga bara api tetap stabil serta ada pula yang membolak-balik bungkusan ikan di atas panggang agar matang di kedua sisinya.
Meuloh Teupeh di atas pemanggangan. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
Proses pengolahan meuloh teupeh yang memakan waktu lama itulah membuat kuliner ini istimewa. “Peuneugot haloh peunajoh gasa,” begitulah orang di kampung biasanya meringkas proses pengolahan meuloh teupeh. Kini, istilah itu mulai dipelesetkan menjadi “peuneugot haloh peunajoh raja.” Atau, kuliner yang diolah sedetil mungkin sebagai makanan raja.
ADVERTISEMENT
Karenanya, tidak saban waktu kuliner keuneubah (warisan) indatu ini tersedia. Masyarakat di kedua kampung itu hanya akan mengolahnya ketika ada kenduri-kenduri besar seperti kenduri maulid, sunat rasul dan pesta perkawinan. Pun begitu, kini, ada satu-dua keluarga yang mengolah meuloh teupeh untuk dijual secara berkeliling ke kampung tetangga.
Tihawa, misalnya. Sisi kiri rumahnya kini sudah disulap sebagai dapur cadangan. Saban sore wanita paruh baya itu mulai bekerja mengolah meuloh teupeh. Dia tampak asik mengatur posisi benda menyerupai pulut itu di atas pemanggang seukuran 1×1 meter.
Tak jauh dari alat pemanggang itu, api dari pembakaran tempurung kelapa menyala-nyala. Seakan tidak peduli dengan api, wanita berusia 50-an itu menggeser-geser posisi benda yang dibalut dengan daun pisang itu menjadi rapat. Kini, benda itu sudah tersusun rapi dan rapat di atas pemanggang. Warna hijau daun pisang muda tampak kontras dengan pemanggang.
ADVERTISEMENT
Sejak lima tahun lalu Tihawa menjalani aktivitas tersebut saban sore. Ia kadang-kadang dibantu oleh anaknya yang baru pulang dari Malaysia. Namun, saya lebih sering melihat perempuan paruh baya itu melakukan semuanya sendirian.
“Beginilah aktivitas kami di kampung,” katanya. "Orang lain sudah siap-siap berangkat ke menasah, kita masih di dapur."
Tihawa mengatur Meuloh Teupeh di atas pemanggangan. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
Sekarang dia dikenal sebagai produsen meuloh teupeh (ada juga yang menyebut meuloh teupeh-peh): olahan ikan bandeng yang menyerupai bandeng presto. Benda yang dibungkus daun pisang menyerupai ikan pepes itu dan diatur rapi di atas pemanggang itu adalah meuloh teupeh. Memanggang merupakan bagian akhir dari proses pengelohan meuloh teupeh agar bisa disantap.
Model pengelohan ikan bandeng seperti ini hanya ada di Mukim Trueng Campli, khususnya di Gampong Ukee dan Kumbang. Hampir semua ibu-ibu di kedua kampung ini mampu mengolah dan memasak meuloh teupeh. Namun, hanya Tihawa yang mengolah meuloh teupeh untuk dijual. Sementara di Kampung Ukee ada Rosmani yang juga kerap memproduksi meuloh teupeh untuk dijajakan ke pembeli di ibukota.
ADVERTISEMENT
“Untuk ikan dalam balutan ukuran sedang saya jual Rp20.000,” kata Tihawa.
Proses Peh Meuloh
Pengolahan meuloh teupeh ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Bandeng segar yang baru dipanen dari tambak dibersihkan sisiknya. Lalu, ikan yang sudah bersih itu dipukul-pukul (peh) menggunakan bagian pisau yang tumpul. Selanjutnya ditumbuk-tumbuk dengan gagang pisau agar lebih merata. Seketika, bandeng yang tadinya keras menjadi lembek karena tulang-tulangnya sudah remuk.
Untuk menghancurkan bandeng dalam jumlah besar untuk kebutuhan hidangan kenduri, ibu-ibu menggunakan besi seukuran telunjuk orang dewasa. Bandeng-bandeng itu dipukul-pukul dengan lembut, hingga seluruh dagingnya hancur dan lembek.
Sekali pun daging ikan bandeng itu hancur sedemikian rupa, namun kulitnya masih tetap utuh. Dilihat sekilas, bentuk ikan itu masih tampak sempurna. Kulit bandeng itu dibelah dari sisi sirip bagian atas, dan daging yang sudah hancur dan terburai itu dikeluarkan pelan-pelan. Usus, hati, dan kumpulan darah yang menggumpal itu dibuang, sementara daging ikan dan tulang-tulangnya disatukan dalam wajan atau belanga.
Menunggu Meuloh Teupeh matang. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
Sementara kulit-kulit ikan itu ditaruh di sebuah wayan, dan tidak diapa-apakan: tidak dikasih bumbu atau garam. Daging dan tulang-belulang ikan yang sudah hancur itu dicampur dengan bumbu masak yang sangat kaya rempah-rempah di dalam belanga, dan dipanaskan. Saat daging sudah setengah matang, api di perapian dimatikan.
ADVERTISEMENT
Setelah dingin, semua tulang yang tadi ikut dipanaskan bersama daging, kini dibuang menggunakan garpu. Proses memisahkan tulang-belulang dari daging ini butuh waktu lama. Biasanya ada sekelompok orang duduk melingkar mengelilingi tempayan yang berisi daging bandeng matang, dan mulailah mereka memisahkan tulang dari daging ikan.
Selanjutnya, setelah daging bandeng bersih dari tulang, semua daging itu dikumpulkan kembali dan dimasukkan lagi ke dalam kulit-kulitnya yang tadi ditaruh dalam sebuah wayan. Kini, bentuknya kembali menyerupai ikan-ikan bandeng utuh. Setelah semua kulit bandeng terisi, mulailah bagian tubuh ikan itu dibalut dengan daun pisang hingga beberapa lapis. Satu persatu ikan yang sudah dibalut itu diletakkan di atas pemanggang seperti yang dilakukan oleh Tihawa.
Untuk menjaga agar ikan itu tetap gurih, ikan diletakkan di atas pemanggang yang bara apinya terbuat dari tempurung kelapa. Asap yang ditimbulkannya juga mengeluarkan bau sedap dan gurih. Dari jauh kita bisa mencium aroma ikan yang sudah matang itu. Itu tandanya, ikan tersebut siap dihidangkan.
ADVERTISEMENT
Cara penyajiannya sangat sederhana, balutan daun pisang yang sudah rapuh dan kehitam-hitaman itu dibuang, lalu tubuh ikan bandeng tersebut dipotong-potong dengan ukuran sedikit lebih besar dari kue lapis, lalu dihidangkan dalam piring-piring ukuran sedang.
Proses membolak-balik meuloh teupeh. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
Kalau diperhatikan, ada dua proses utama yang dilakukan untuk menyiapkan meuloh teupeh. Pertama, pembersihan ikan sampai daging ikan dimasukkan kembali ke dalam kulitnya, dan inilah yang disebut dengan peh meuloh (memukul bandeng). Kedua, ikan bandeng yang dipotong kecil-kecil dan siap dihidangkan itu disebut meuloh teupeh (atau ada juga yang menyebutnya meuloh teupeh-peh).
Kuliner meuloh teupeh ini sangat terkenal di kalangan pegawai negeri di Kota Sigli, Ibukota Kabupaten Pidie. Kuliner khas Trueng Campli ini dianggap berbeda dengan bandeng presto yang dijual di restoran. Soalnya, meuloh teupeh yang dimasak dengan bumbu masak daging putih itu kaya akan rempah-rempah, dan rasanya cocok di lidah.
Hidangan untuk Linto Baro dan meuloh teupeh salah satu kuliner yang wajib dihidangkan. Foto: Taufik Al Mubarak/acehkini
Nah, kalau ingin menikmati meuloh teupeh atau meuloh teupeh-peh, datang saja ke Trueng Campli, Kabupaten Pidie!
ADVERTISEMENT
Reporter: Taufik Al Mubarak