Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten Media Partner
10 Januari 1903: Sultan Aceh Dipaksa Tunduk ke Belanda, tapi Perang Tak Usai
11 Januari 2022 9:53 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Catatan sejarah di tahun-tahun penghabisan abad 19. Belanda terus menggempur Aceh. Perang telah dideklarasikan sejak 1873. Kali ini Belanda kembali merebut ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam di Kuta Keumala Dalam.
ADVERTISEMENT
Daerah pegunungan yang kini jadi Kecamatan Keumala, Kabupaten Pidie, itu jadi pusat pemerintahan Kesultanan Aceh selama 20 tahun, sejak ibu kota Bandar Aceh jatuh ke tangan Belanda pada 1874.
Setelah Keumala juga diambil alih Belanda, pejuang Aceh--termasuk Sultan Muhammad Daud Syah--berpindah-pindah markas: ke Reubee dan Padang Tiji.
Selain ibu kota, pada tahun-tahun itu Aceh turut kehilangan sejumlah tokoh pemimpin perang. Misalnya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman pada 1891, Panglima Polim Cut Banta, dan Tuanku Hasyim. "Dengan kehilangan tokoh-tokoh berat Aceh maka dapat dipahami betapa menyusutnya tenaga brilian pihak Aceh," tulis Mohammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua (1985).
Sejak 1900 hingga 1901, Sultan Muhammad Daud Syah berpindah-pindah tempat. Belanda terus memburunya, tapi tak berhasil. Dari Pidie, Sultan bergeser ke Samalanga, Peudada, Peusangan, hingga ke dataran tinggi Gayo. Akhir 1901, Sultan kembali ke Pidie.
ADVERTISEMENT
Menurut Mohammad Said, pasukan Belanda dipimpin Kapten Kramers menyerang markas Sultan di Panteraja, Pidie. Sultan lolos. Namun, pejuang Aceh menyebarkan isu bahwa Sultan luka-luka sehingga meninggal dunia. Sebuah kuburan di sana dikatakan milik Sultan.
Isu itu rupanya tak mudah dipercaya Belanda. Gubernur militer dan sipil Belanda di Aceh Joannes Benedictus van Heutsz--kelak jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda--mendorong semua pasukan mencari Sultan sampai ke pedalaman.
Belanda Menculik Dua Istri Sultan
Untuk menekan Sultan, Kapten Hans Christoffel menculik seorang istri Sultan, Pocut Putroe, pada 26 November 1902, di Glumpang Payong, Pidie. Ia kemudian dibawa ke Sigli, lalu ke Ulee Lheue, Banda Aceh.
Sebulan kemudian, pada 25 Desember 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor van der Maaten menculik lagi istri Sultan: Pocut Murong di Lamlo, Pidie. Bersamanya turut disandera anak Sultan yang masih kecil: Tuanku Ibrahim.
ADVERTISEMENT
"Van Heutsz mengumumkan bahwa semua keluarga yang menjadi tangkapannya itu tidak akan dibunuh seandainya Sultan sendiri datang melapor dan menyerah diri sebagai penebusnya," tulis Mohammad Said.
Pada 6 Januari 1903, Sultan bersurat ke van Heutsz bahwa bersedia menyerah. Sultan lalu dijemput di Desa Arusan, Ie Leubeue, Kembang Tanjong, Pidie, oleh sejumlah pejuang Aceh. Mereka membawa Sultan ke Sigli dan disambut Mayor van der Maaten pada Sabtu, 10 Januari 1903.
Pada 13 Januari, Sultan, Pocut Murong, Tuanku Ibrahim, dan sejumlah pejuang Aceh lainnya berjumlah 175 orang dibawa dengan kapal perang Sumbawa ke Ulee Lheue. Dari sana, mereka naik kereta api ke Bandar Aceh yang saat itu berganti nama menjadi Kutaraja. Sultan lalu menempati rumah yang disediakan Belanda di Gampong Keudah.
ADVERTISEMENT
Upacara penyerahan Sultan Muhammad Daud Syah digelar pada 15 Januari 1903. Pihak Belanda, menurut Mohammad Said, menyebut Sultan menandatangani pengakuan bahwa Aceh menjadi bagian Hindia Belanda dan Sultan memperoleh tunjangan 1.000 gulden per bulan. Anak Sultan, Tuanku Ibrahim, berusia 14 tahun, dibawa ke Jakarta untuk dididik sesuai kedudukan sebagai putra Sultan.
Menurut Said, Belanda tidak pernah membuktikan penandatanganan itu. "Seandainya suatu surat pengakuan Sultan dimaksud ada, tentu dengan mudah Belanda dapat memamerkan originalnya atau klisenya, sehingga bisa terbukti apa yang sudah disebut-sebut dalam surat pengakuan penyerahan diri tersebut," tulisnya.
Perang Aceh Berlanjut oleh Ulama
Meski Sultan Aceh terakhir menyerah, perang melawan Belanda di Aceh tak usai. Ibrahim Alfian dalam buku Perang di Jalan Allah (1987) menulis rakyat Aceh tetap mengangkat senjata dan berjuang tanpa kenal menyerah. Orang-orang Aceh memilih jalan mati syahid di medan perang.
ADVERTISEMENT
Kendati sudah menyerah, Sultan masih bisa bergerak bebas di Aceh Besar. Namun, ia harus punya izin dari Belanda kalau keluar dari kawasan itu. Sultan beberapa kali diizinkan pergi ke Pidie dan Lhokseumawe. Belanda mengendus Sultan tetap berhubungan dengan pejuang Aceh.
"Sultan membantu mereka dengan uang dan bantuan lainnya untuk meneruskan perlawanan terhadap Belanda," tulis Ibrahim Alfian.
Semangat itu kemudian mengilhami pejuang Aceh untuk menyerang Kutaraja, kota yang dikuasai Belanda, pada 6 Maret 1907. Tahun itu, sejumlah serangan juga terjadi di sejumlah titik di Aceh Besar. Para ulama Aceh menganggap 1907 sebagai tahun yang membawa angin baik bagi pihak muslimin untuk mengusir kompeni, asalkan umat Islam di Aceh bersatu.
Belanda menyelidiki semua serangan itu. Hasilnya: semua bermuara ke Sultan Muhammad Daud Syah. Walhasil, pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan ke Ambon. Bersamanya turut serta sejumlah pejuang Aceh lainnya, seperti Tuanku Husin, T Johan Lampaseh, Keuchik Syekh, dan Nyak Abas.
ADVERTISEMENT
Dari Ambon, Sultan Muhammad Daud Syah dipindah ke Batavia (Jakarta) sampai akhirnya wafat pada 6 Februari 1939. Sementara itu, perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin ulama terus berlangsung hingga Aceh kelak bergabung dan menjadi daerah modal kelahiran Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. []