Konten Media Partner

111 Tahun Lalu, Wafatnya Cut Nyak Dhien dalam Tawanan Belanda

6 November 2019 10:30 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lukisan Cut Nyak Dhien di rumahnya. Foto repro: Adi Warsidi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan Cut Nyak Dhien di rumahnya. Foto repro: Adi Warsidi/acehkini
ADVERTISEMENT
Pahlawan Nasional dari Aceh, Cut Nyak Dhien, meninggal 6 November 1908, atau tepat hari ini pada 111 tahun lalu. Beliau meninggal dalam pengasingan Belanda di Sumedang, Jawa Barat, dan dimakamkan di sana.
ADVERTISEMENT
Cut Nyak Dhien adalah pahlawan perempuan paling terkenal di Aceh. Ia lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh (sekitar kawasan Lampisang, Aceh Besar sekarang-red) pada 1848 dari keluarga bangsawan. Ia puteri dari Teuku Nanta Setia, seorang Uleebalang VI Mukim, sedangkan, ibunya adalah puteri dari Uleebalang Lampagar. Dia menikah di usia belasan tahun dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari Uleebalang Lamnga.
Pada 26 Maret 1873, Belanda mengumumkan perang dengan Aceh. Ibrahim ikut berjuang mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Dia meninggal pada 29 Juni 1878, karena tertembak dalam sebuah pertempuran melawan penjajah di Gle Tarum, Aceh Besar. Sejak itu, Cut Nyak Dhien bersumpah akan membalaskan dendamnya.
Aksi teatrikal perjuangan Cut Nyak Dhien, saat perayaan Sumpah Pemuda di Banda Aceh, 28 Oktober 2019. Foto: Suparta/acehkini
Dua tahun kemudian, Teuku Umar datang ke pihak keluarga Cut Nyak Dhien untuk melamarnya. Secara pribadi, Cut Nyak Dhien bersedia menerima lamaran dengan syarat, ia diizinkan ikut bersama suaminya berperang melawan Belanda. Permohonan diterima, mereka kemudian terlibat banyak bersama melawan kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Dalam perjuangannya, Teuku Umar berpura-pura bekerja sama dengan Belanda pada 1883 sebagai taktik perdagangan, dia memanfaatkan kapal-kapal pengangkutan Belanda dan negara lain untuk menjual hasil panen lada.
Perannya kemudian berbalik pada 14 Juni 1986. Paul van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menulis, hal ini berawal saat Teuku Umar menyerang sebuah kapal kecil ‘Hok Canton’ yang sedang memuat lada di Teluk Rigaih. Sejumlah awak kapal terbunuh, sejumlah awak lainnya disandera dengan tembusan. Teuku Umar kemudian menjadi buron.
Tahun 1891, terjadi terjadi banyak kekacauan perang di Aceh, Belanda semakin kesusahan. Teuku Umar menawarkan diri kepada Belanda untuk mengamankan beberapa wilayah, asal Belanda mengampuninya, dan memberikan materi, seperti yang diberikan kepada Uleebalang yang setia kepada Belanda di luar lini konsentrasi. Belanda masih ragu, tapi juga berharap.
Lukisan foto Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien di rumahnya. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Setelah melakukan beberapa tindakan membantu Belanda, baru mereka yakin terhadap sikap Teuku Umar. Pada 30 September 1893, Teuku Umar resmi ditetapkan sebagai 'Panglima Perang Perang Kompeni' dalam sebuah upacara militer di Kuraraja (Banda Aceh), digelar Toekoe Djohan Pahlawan. Ikut serta belasan panglima perangnya.
ADVERTISEMENT
Semasa pembelotan kedua, Istrinya Cut Nyak Dhien terus berjuang melawan Belanda. Hingga pada 30 Maret 1896, Teuku Umar bergabung lagi dengan para pejuang, setelah mendapat sejumlah bekal persenjataan dari Belanda. Dia bersama Cut Nyak terus merepotkan penjajah, di kawasan Aceh Besar dan Aceh Barat.
Belanda yang marah sempat menguasai Lampisang, membakar rumah Cut Nyak Dhien di kawasan Lampisang, Aceh Besar. yang tersisa hanya sumurnya saja.
Teuku Umar meninggal dalam sebuah pertempuran sengit di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, Aceh Barat, pada 11 Februari 1899. Beliau dimakamkan di Gampong Desa Mugo Rayuek, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat, atau sekitar 32 kilometer dari Kota Meulaboh,
Sebagai istri, dendam Cut Nyak Dhien semakin mambara. Dia terus berjuang bersama anaknya Cut Gambang, menerapkan strategi perang gerilya, dari hutan ke hutan. Enam tahun kemudian, beliau semakin sulit, menderita encok dan matanya rabun. Panglima pasukannya sendiri, Panglima Laot Ali, dengan rasa kasihan, datang menjemput patroli Belanda, menawarkan sejumlah syarat. Memberi tahu lokasi persembunyian Cut Nyak Dhien, tetapi Belanda harus merawat dan mengobatinya.
Foto Cut Nyak Dhien sesaat setelah ditawan Belanda. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Paul van’t Veer menulis, pada 4 November 1905, Letnan van Vuuren dari Kolonne Veltman, yang amat fasih berbahasa Aceh, datang menjemput Cut Nyak Dhien. Beliau memaki Belanda dan tak sudi ditangkap, bahkan dengan sisa tenaganya mencabut rencong untuk menikam panglimanya, tapi keadaannya lemah, tidak berdaya melakukan perlawanan.
ADVERTISEMENT
Cut Nyak Dhien kemudian dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan wafat di sana pada 6 November 1908, atau tepat 111 tahun lalu. Namanya masih dikenang sebagai pejuang di Aceh dan Indonesia, hingga kini. []
Meninggalnya Teuku Umar dalam aksi teatrikal memperingati Sumpah Pemuda di Banda Aceh, 28 Oktober 2019. Foto: Suparta/acehkini