Konten Media Partner

20 Tahun Tragedi Pembantaian Tgk Bantaqiyah dan Santrinya di Aceh

23 Juli 2019 20:08 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Zulfikar Muhammad di Komplek Pesantren Babul Al-Munawarah (sekarang A'la Nurillah), tempat Tgk Bantaqiyah dan santrinya dibantai massal oleh tentara saat konflik Aceh. Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Zulfikar Muhammad di Komplek Pesantren Babul Al-Munawarah (sekarang A'la Nurillah), tempat Tgk Bantaqiyah dan santrinya dibantai massal oleh tentara saat konflik Aceh. Dok. Pribadi
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rencana sejumlah lembaga dan penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) meletakkan batu pertama untuk mendirikan tugu mengenang 20 tahun pembantaian Tgk Bantaqiyah dan para santri, terpaksa ditunda. Hal tersebut dikarenakan anak Tgk Bantaqiyah, Malikul Aziz alias Abu Kamil, belum merampungkan desain tugu.
ADVERTISEMENT
“Nanti setelah desainnya disiapkan, akan disampaikan ke kami, lalu melanjutkan lagi rencana,” kata Ketua Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad, kepada acehkini, Selasa (23/7).
Zulfikar dan Deputi Koordinator KontraS, Malik Feri Kusuma, beserta dua rekannya baru saja mengunjungi bekas lokasi pembantaian itu di Gampong Blang Meurandeh, kawasan Beutong Ateuh, pada Jumat (11/7) lalu. Di sana, mereka berdiskusi dengan Abu Kamil, tentang rencana tugu dan beberapa persoalan warga lainnya di kawasan Beutong Ateuh. “Persoalan keadilan pembangunan dan kesejahteraan hidup warga,” katanya.
Tawaran doa bersama warga Beutong Ateuh untuk mengenang 20 tahun tragedi meninggalnya Tgk Bantaqiyah dan santrinya juga sempat dibicarakan. Tapi, ternyata ditolak oleh Abu Kamil.
Persoalannya sederhana, Abu Kamil dan warga di sana selalu mengirim doa untuk para almarhum setiap tahun dalam penanggalan Hijriah, bukan Masehi.
ADVERTISEMENT
Abu Kamil selalu mengingat kejadian tersebut pada minggu kedua bulan Maulid. Mereka selalu memperingatinya dalam bulan Maulid,” jelas Zulfikar.
Bulan Maulid tahun ini jatuh pada November 2019. “Mungkin nanti peletakan batu pertama pembangunan tugunya,” sambungnya.
Abu Kamil (kanan) dan Feri Kusuma. Dok. pribadi
Malik Feri Kusuma mengatakan Peristiwa pembantaian Tgk Bantaqiah dan santrinya, harus menjadi ingatan kolektif, baik sebagai tuntutan pertanggungjawaban hukum maupun sebagai pembelajaran. “Guna memastikan kejadian serupa tidak berulang,” sebutnya.
Terkait pembangunan tugu, Abu Kamil mengakuinya. “Benar kami akan membuat tugu. Sekarang saya sedang menyempurnakan desainnya,” katanya saat dihubungi acehkini.
Dukungan pembuatan tugu, kata Abu Kamil, datang dari sejumlah lembaga dan mahasiswa. Tugu akan dibangun di komplek Pesantren Babul Al-Mukarramah.
ADVERTISEMENT
Komplek pesantren itu masih sama seperti dulu, bangunan dari kayu dengan sebuah masjid di dalamnya. Pesantren praktis tutup setelah tragedi 20 tahun lalu, tidak ada lagi penerimaan santri di sana. Tempat itu diurus oleh Abu Kamil menjadi balai pengajian bagi warga setiap hari Jumat. Namanya pun sudah berubah dari Babul Al-Mukarramah menjadi A’la Nurillah.
Musala di komplek pesantren. Foto; Zulfikar Muhammad untuk acehkini
Tragedi Tgk Bantaqiyah
Pembantaian Tgk Bantaqiyah dan puluhan santrinya tercatat sebagai sejarah kelam konflik Aceh, sebagai satu kasus pelanggaran HAM. Peristiwa itu terjadi Jumat, 23 Juli 1999. Data KontraS mencatat sebanyak 57 orang penghuni Pesantren Babul Al-Mukarramah menjadi korban, termasuk Tgk Bantaqiyah.
“Saat kejadian, saya berumur sekitar 20 tahun, baru siap menikah dan bermalam di rumah keluarga istri,” kisah Abu Kamil. Keluarga istrinya tak jauh dari pesantren, di kawasan Simpang Peut, Kabupaten Nagan Raya (dulunya Aceh Barat).
ADVERTISEMENT
Setelah mengetahui kejadian, dan suasana aman, Abu Kamil langsung ke lokasi. Mengurus puluhan jenazah, yang kemudian dimakamkan dalam satu liang besar.
Ada sebanyak 34 jasad yang meninggal di pesantren, sebanyak 23 penghuni pesantren lainnya ditemukan beberapa hari kemudian di jurang kilometer tujuh lintasan Beutong Ateuh-Aceh Tengah.
Teungku Bantaqiyah merupakan ulama yang disegani di Aceh. Ia sempat heboh dengan gerakan jubah putih pada tahun 1987. Bersama puluhan pengikutnya, Bantaqiyah turun ke kota dan nyaris ditangkap. Ia dikenal sebagai ulama yang konsisten. Karenanya, banyak citra negatif diberikan untuk merusak nama baik sang Teungku.
Untuk mengucilkannya, isu Teungku Bantaqiyah mengajarkan aliran sesat pun dimunculkan. Namun, bak mutiara di dasar samudera, ia terus bersinar. Pengajian yang digelar Teungku Bantaqiyah tak pernah sepi. Gagal dengan isu aliran sesat, Bantaqiyah diterpa dengan legalisasi ganja.
ADVERTISEMENT
Pada 1993, aparat menangkap Teungku Bantaqiyah dengan alasan memiliki kebun ganja yang dengannya ia menyokong Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), sebutan resmi pemerintah untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Soal ini, Nursiah, sang istri, membantahnya. Menurutnya, tuduhan itu tidak mendasar dan tanpa bukti.
Kasus ganja dan sokongan terhadap GPK ini yang mengantarkan Teungku Bantaqiyah dijebloskan ke dalam penjara Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Ia divonis 20 tahun penjara.
Gelombang reformasi yang terjadi di Indonesia membuat rezim Soeharto dengan Orde Barunya runtuh oleh gerakan mahasiswa, pada Mei 1998. Ini mengantarkan BJ Habibie ke puncak kekuasaan. Pada masa Habibie, tahanan politik dan narapidana politik diberikan amnesti. Bantaqiyah merupakan salah seorang narapidana politik yang diampuni Presiden Habibie.
Pintu masuk makam Tgk Bantaqiyah dan santri di komplek pesantren. Foto: Habil Razali/acehkini
Setelah bebas dari Tanjung Gusta, Bantaqiyah kembali ke perkampungannya di pedalaman Nagan Raya. Ia hendak pensiun dari mengajar pengajian. Namun, warga terus mendesak agar pengajian dibuka lagi.
ADVERTISEMENT
Sejak kembali ke Beutong Ateuh pada 28 Mei 1999, Tgk Bantaqiyah tidak ingin mengajar ngaji lagi. Namun atas permintaan masyarakat, beliau akhirnya kembali membuka pengajian. Saban hari Jumat, warga mendatangi balai untuk belajar Alquran dan kitab kuning, hingga tragedi itu terjadi menjelang salat Jumat, 23 Juli 1999 silam.
Pembantaian bermula sekitar pukul 11.00 WIB, menjelang salat Jumat. Bantaqiyah dan puluhan muridnya sedang berada di balai pengajian ketika ratusan personel TNI mendatangi pesantren. Mereka berteriak memerintahkan semua orang berkumpul. Pesantren dicurigai menyimpan senjata, namun tuduhan itu tak pernah terbukti.
Sempat terjadi dialog antara Bantaqiyah dan aparat, namun tak diketahui isinya. Tiba-tiba, sejumlah tentara melepaskan tembakan. Teungku memberi aba-aba agar warga dan santrinya tiarap untuk menghindari tembakan.
Bangunan pesantren masih terjaga hingga kini, di depan bangunan ini pembantaian terjadi. Foto: Zulfikar Muhammad untuk acehkini
Panik, tangisan, teriakan beradu di antara desing peluru. Tgk Bantaqiyah tersungkur di tembakan ketiga. Menjelang hari Jumat, kompleks balai pengajian Teungku Bantaqiyah berubah menjadi 'ladang' pembunuhan.
ADVERTISEMENT
Data KontraS dan Koalisi NGO HAM Aceh, kasus itu mendapat sorotan serius dari negara. Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 88 Tahun 1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak kekerasan di Aceh (KIPTKA). Kasus tersebut termasuk yang diusut, hingga sejumlah pelaku diadili lewat Pengadilan Koneksitas.
Sebanyak 25 prajurit TNI diajukan ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sidang perdana Pengadilan Koneksitas di Banda Aceh digelar Rabu, 19 April 2000. Hanya satu orang penanggungjawab pembantaian yang tak mampu dihadirkan ke pengadilan, Letnan Kolonel Sudjono, saat itu menjabat Pasie Intel Korem 011/Lilawangsa, sampai kini keberadaannya masih misteri. []
Dokumen KontraS.
Reporter: Adi Warsidi