Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
27 Ramadhan 1446 HKamis, 27 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 26 Maret, orang Aceh dirasuki kesadaran sejarah yang menggebu-gebu. Seperti tanggal-tanggal penting lainnya dalam almanak, orang Aceh juga memperlakukan tanggal 26 Maret untuk meneguhkan sikap patriotisme dengan perkasa: seakan-akan Belanda sudah dekat untuk merebut kembali Masjid Raya!
ADVERTISEMENT
Maka, menjelang 26 Maret, lini-masa media sosial orang Aceh akan dipenuhi dengan catatan sejarah maklumat perang Belanda atas Kesultanan Aceh yang hari ini sudah berusia 148 tahun. Sebagian mereka percaya bahwa nasib Aceh hari ini tidak terlepas dari sejarah buruk tersebut. Banyak yang berandai-andai, sekiranya Inggris tidak ‘mengkhianati’ Traktat London, Belanda tidak pernah berani menampakkan batang hidungnya di Bandar Aceh.
Sejarah adalah kejadian yang tidak dapat diedit atau diubah (kecuali dimanipulasi). Orang Aceh memang tidak dapat lagi meminta Inggris untuk membatalkan Traktat Sumatera atau berharap Belanda untuk menghormati Traktat London yang mengakui kedaulatan Aceh. Sebab, sejarah tersebut sudah terjadi dan tidak mungkin diulang lagi. Tapi, tetap saja ada orang Aceh yang percaya bahwa sekiranya Belanda mencabut maklumat perang pada 26 Maret 1873, maka kedaulatan Aceh kembali seperti semula.
ADVERTISEMENT
Tidak percaya? Cobalah pantau lini-masa media sosial orang Aceh tiap 26 Maret. Mereka seperti dirasuki kesadaran sejarah, dan menuntut Belanda untuk mengembalikan kedaulatan kerajaan Aceh dengan cara mencabut maklumat perang tanggal 26 Maret 1873 tersebut. Bahkan pada tahun 1999, aktivis dari Persyarikatan Rakyat Aceh (PRA) mendatangi Kedutaan Belanda di Jakarta meminta maklumat perang itu dicabut.
Bagi sebagian orang di republik ini, apa yang dilakukan oleh orang Aceh, itu dianggap lucu dan tidak masuk akal. Mereka lupa bahwa orang Aceh tidak pernah benar-benar memandang perang sebagai sesuatu yang serius, terutama bagi mereka yang tetap hidup setelah perang. Itulah mengapa dalam kehidupan sehari-hari orang Aceh muncul ungkapan: prang pura-pura, watee mate ka bit-bit (perang pura-pura, mati yang sungguh-sungguh).
ADVERTISEMENT
Maka, ada riwayat lisan yang berkembang di Aceh, bahwa penguasa Aceh tidak hanya menolak untuk menyerah melainkan juga menjawab maklumat perang dari Belanda itu dengan membalikkan badan berlagak orang kentut sambil berteriak, 'Bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe lam bumoe Aceh han kateumueng raba!' (jangankan merebut negeri, ayam yang tidak memiliki gigi pun yang ada di Aceh tidak bakal kalian dapatkan).
Meski ungkapan itu terdengar lucu, Aceh membuktikan kegigihannya mempertahankan negeri: Aceh dan Belanda kemudian terjebak dalam perang berkepanjangan. Sekitar 70 ribu pejuang Aceh menjadi korban, sementara di pihak Belanda jatuh korban sebanyak 35 ribu jiwa, di samping kerugian material yang tidak terkira. Malah, cerita kengerian perang Aceh itu masih dapat kita dengar dari Museum Bronbeek.
Museum Perang Bronbeek
Jika berkunjung ke negeri Belanda, peminat sejarah biasanya menyambangi dua museum yang sangat terkenal di negeri kincir angin itu: Leiden atau Tropen Museum. Namun, tak ada salahnya jika sesekali berkunjunglah ke museum Bronbeek di Arhem, sebuah kota yang dekat dengan perbatasan Jerman. Koleksi benda-benda bersejarah dan buku di museum ini tak kalah menarik dibanding yang ada di Leiden atau Tropen.
ADVERTISEMENT
Museum Bronbeek, demikian namanya, ini dibangun pada tahun 1863 oleh Raja Willem III yang khusus didedikasikan kepada bekas pasukan setianya, KNIL. Drs Hans van den Akker, konservator museum, menjelaskan dulunya Raja Willem III yang juga orang tua dari Ratu Wilhelmina, membangun museum ini untuk mengenang pasukan setianya, KNIL sekaligus sebagai penghormatan atas jasa mereka.
Bronbeek termasuk salah satu museum tertua di Belanda yang juga dikenal sebagai museum perang. Dalam bahasa Belanda, Bronbeek berarti aliran air/sungai kecil. Bekas sumber aliran sungai itu dapat dilihat di belakang museum. Kesan sebagai museum perang akan langsung terlihat begitu kita memasuki areal museum.
Beberapa patung tentara Belanda, mulai dari patung perwira sampai prajurit KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) bisa kita saksikan begitu berada di kompleks museum. Di pintu masuk, kita akan langsung disambut meriam berukuran besar yang moncongnya mengarah ke pintu. Meriam-meriam dalam ukuran kecil dan sedang akan lebih sering kita lihat di koridor lorong.
ADVERTISEMENT
Hal menarik dari museum ini bukanlah benda-benda bernuansa perang, yang sebagian besar diangkut dari Nusantara, melainkan keberadaan para prajurit lansia (sebagian veteran perang). Saat saya berkunjung ke sana tahun 2010, jumlah mereka lebih kurang ada 45 orang. Mereka sengaja ditempatkan di museum sebagai saksi hidup, dan bertugas menceritakan pengalaman mereka saat terlibat dalam perang sebagai tentara kolonial. Selain sebagai sumber sejarah berjalan, mereka juga bekerja di museum sebagai tukang sapu, tukang cuci dan pemotong rumput.
Di museum itu, kita akan lebih sering menemui mereka, berjalan hilir-mudik, atau duduk bersantai di kursi roda. Di setiap ruang yang kita masuki, pasti akan berpapasan dengan mereka. Kondisi mereka berbeda-beda: ada yang pendengarannya terganggu, ada pula yang berjalan harus dibantu tongkat. Tapi, secara umum, mereka pribadi yang asyik diajak bicara, lebih-lebih jika mereka tahu pengunjung museum berasal dari Aceh. Jangan takut tak bisa berbahasa Belanda, karena sebagian besar dari mereka mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, meski terbatas.
ADVERTISEMENT
Ini saya tahu ketika berpapasan dengan seorang kakek di dalam museum. Ia mengaku veteran tentara KNIL yang orang tuanya campuran Belanda dan Jawa Timur. Kakek ini cukup bersemangat dan senang ketika tahu kami berasal dari Aceh. Tanpa diminta, ia dengan senang hati menceritakan kisah masa lalunya di Nusantara. Jangan merasa senang dulu jika saat bersalaman, dia berseru, Aceh ‘strong people’. Sebab, itulah yang dikatakannya tiap bertemu orang Aceh.
“Oh Aceh, strong people, orang Aceh hebat. Strong!,” begitu katanya ke setiap orang Aceh yang ditemuinya di dalam museum.
Orang Aceh Gemar Berperang
Salah seorang veteran menemani kami melihat-lihat benda bersejarah di dalam museum. Ia mengaku bernama Koller. Meski rambutnya dipenuhi uban, dia tampak masih cukup energik di usia yang sudah senja. Koller begitu bersemangat menceritakan pengalamannya di masa lalu. Ia bahkan sempat membuat kami kaget dengan komentarnya, “orang Aceh gemar sekali berperang, ya?” Kalimat itu ia sampaikan saat kami memeriksa beberapa meriam.
ADVERTISEMENT
Koller sempat cerita bahwa dia pernah bertugas ke Aceh, tapi ia tidak ingat lagi di daerah mana persisnya. Hanya saja, ia masih ‘menyimpan’ kenangan yang diberikan oleh pejuang Aceh. Tanpa diminta, dia menarik celananya ke atas lutut dan memperlihatkan parut bekas sayatan perang di betisnya.
“Ini oleh-oleh dari berperang melawan orang Aceh,” katanya. Lalu, dia pun tertawa. Tak lupa, ia pun memuji keberanian dan semangat juang orang Aceh. Hanya saja, dia tidak mampu memahami taktik berperang orang Aceh. Ini, misalnya, ia saksikan dari aksi nekat orang Aceh menyerang kawanan patroli tentara Belanda. Katanya, orang Aceh sering beraksi sendiri-sendiri, bersembunyi di semak-semak. “Ketika tentara Belanda lewat, mereka melompat dan mengayunkan pedangnya sembari berseru Allahu Akbar, Lailahaillah!”
Cara berperang orang Aceh begini, disebutnya aneh. Soalnya, selepas menyerang tersebut ia sendiri mati, begitu juga dengan tentara yang diserangnya. Koller tidak pernah menemukan model berperang seperti itu di tempat lain, yaitu menyerang musuh dari depan. Itulah yang membuatnya takjub, dan beberapa kali mengulangi kalimat: Aceh strong!
ADVERTISEMENT
Gaya berperang orang Aceh ini yang menyerang dari depan benar-benar membuat nyalinya ciut dan takut. Dia harus ekstra berhati-hati sewaktu melakukan patroli, apalagi jika berada di barisan depan. Bekas sayatan di betisnya jadi bukti, betapa berhati-hatinya dia. Jika dulunya dia tidak berhati-hati tentu kita tak akan mendengar kisah keberanian orang Aceh dari mulutnya, secara langsung! []