Konten Media Partner

582 Konflik Gajah-Manusia Terjadi di Aceh dalam 7 Tahun Terakhir, 46 Ekor Mati

13 Agustus 2021 20:25 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim identifikasi Polres Aceh Timur melihat bangkai gajah Sumatra yang mati terbunuh di kawasan perkebunan sawit di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Senin (12/7). Foto: Hayaturrahmah/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Tim identifikasi Polres Aceh Timur melihat bangkai gajah Sumatra yang mati terbunuh di kawasan perkebunan sawit di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Senin (12/7). Foto: Hayaturrahmah/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Dalam kurun tujuh tahun terakhir, Balai Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera mencatat 46 kasus kematian gajah terjadi di Aceh. Sementara konflik gajah-manusia berjumlah 582 kasus sepanjang tahun 2015-2021.
ADVERTISEMENT
Hal itu disebutkan Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera, Subhan, dalam webinar bertemakan "Darurat Perlindungan Satwa di Aceh" yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dan Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA), Kamis (12/8).
Subhan mengatakan, konflik gajah dengan manusia pada tahun 2015 sebanyak 49 kasus, 2016 sebanyak 44 kasus, 2017 sebanyak 103 kasus, 2018 sebanyak 73 kasus, 2019 sebanyak 107 kasus, 2020 sebanyak 130 kasus, dan 2021 sebanyak 76 kasus.
Seekor gajah Sumatera jantan ditemukan mati di kawasan hutan Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya, Jumat (5/3/2021). Foto: Zahlul Akbar untuk acehkini
"Sementara untuk kasus kematian gajah juga cukup tinggi. Dalam kurun waktu itu ada 46 kasus kematian gajah yang kita catat," kata Subhan dalam keterangan tertulis yang diterima acehkini dari FJL Aceh.
Subhan menyebut, penyebab tingginya angka kematian dan konflik gajah itu dikarenakan maraknya kasus perambahan hutan, alih fungsi hutan dan praktik penebangan liar.
ADVERTISEMENT
"Ini harus menjadi perhatian. Kasus-kasus perburuan liar, juga jadi risiko tinggi akan menyusutnya jumlah satwa kunci di Aceh," sebutnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Aceh, A Hanan mengatakan, sebanyak 57 persen penyebab kematian gajah di Aceh akibat adanya konflik dengan masyarakat.
"Sementara 10 persen itu akibat perburuan dan 33 persen mati alami," ujar Hanan.
Menurutnya, untuk mencegah agar konflik satwa ini tidak berkelanjutan, penting untuk menciptakan penataan ruang dengan mempertimbangkan habitat satwa di Aceh.
"Pembinaan padang rumput, penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung, pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa, penjarangan jenis," jelasnya.
Sementara itu, untuk kasus perburuan satwa di Aceh menurut Wahyudi Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh, ada beberapa motif maraknya perburuan satwa di Aceh.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, di antaranya karena tingginya permintaan pasar dan nilai ekonomis yang tinggi. Selain itu juga ada empat modus yang kerap ditemukan dalam perburuan satwa di Aceh.
"Seperti pemasangan jebakan, jerat, ranjau tombak dan memberi racun pada makanan yang disukai satwa," sebut Wahyudi.
Ia menambahkan, pada 2019 kepolisian menangani sembilan perkara dengan 17 tersangka terkait kasus perburuan satwa lindung di Aceh. Sementara untuk 2020 ada tujuh kasus dengan empat tersangka.
"Untuk 2021 itu ada dua perkara dengan dua tersangka. Ini kasusnya perburuan orang utan dan kasus gajah mati tanpa kepala di Aceh Timur," sebutnya.
Pembina Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo mengatakan, perdagangan satwa liar di Aceh mengancam mega biodiversity.
ADVERTISEMENT
"Karena Indonesia berada di pusaran perdagangan satwa liar dunia. Indonesia tercatat sebagai salah satu eksportir produk satwa liar terbesar dunia bersama dengan Jamaika dan Honduras," ujar Panut.