Aceh-Amerika 1873: Belanda Iri Hati (1)

Konten Media Partner
22 Maret 2019 8:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lukisan penyerangan Kuala Batee, Aceh Barat Daya oleh Marinir Amerika Serikat, Februari 1831. Dok. Lukisan Louis Dodd (Akg Images).
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan penyerangan Kuala Batee, Aceh Barat Daya oleh Marinir Amerika Serikat, Februari 1831. Dok. Lukisan Louis Dodd (Akg Images).
ADVERTISEMENT
Sebelum Belanda menyatakan perang dengan Aceh, 26 Maret 1873, Kesultanan Aceh berdaulat membangun hubungan dengan bangsa-bangsa besar, termasuk Amerika. Maret menjadi bulan penting dalam sejarah Aceh. Acehkini mencoba merangkum latar pemicu perang yang melelahkan.
ADVERTISEMENT
Akibat persaingan dagang Amerika dan negara-negara Eropa, Aceh tergiring dalam perang, ulah dari provokasi Belanda. Hubungan Aceh dengan Amerika sempat mesra, melalui upaya kerja sama pertahanan dalam apa yang disebut sebagai Proposal of Atjeh-America Treaty.
Ketika konflik perdagangan terjadi, isu Aceh-Amerika bukan lagi sebatas isu niaga, tapi menjadi isu politik yang berujung menjadi perang, marinir Amerika Serikat membombardir pelabuhan Kuala Batu di pantai barat selatan Aceh. Hal yang kemudian menjadi sorotan Konggres Amerika Serikat dan media internasional, Presiden Amerika Serikat Andrew Jackson ikut terseret. Sebuah misteri sejarah yang kemudian dipetieskan oleh Amerika Serikat.
Presiden Amerika Serikat (1829-1837), Andrew Jackson. Foto: wikipedia
Kisah kelam itu bisa dibaca dalam beberapa buku sejarah, seperti dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh yang ditulis oleh M Nur El Ibrahimy, buku ini diterbitkan pada tahun 1993 oleh Gramedia Widisarana Indonesia (Grasindo). Bisa juga dibaca dalam buku The American In Sumatera yang ditulis Dr James Warren Gould, guru besar di Clearment College, California.
ADVERTISEMENT
Belanda sangat bernafsu untuk menginvansi Aceh, tapi mereka tidak mendapat kesempatan. Kedekatan Aceh degan negara-negara Eropa dan Amerika menjadi batu sandungan, hingga kemudian berbagai provokasi dilakukan, salah satunya dengan mengacaukan perairan Aceh. Reputasi Aceh di mata internasional harus dirusak, kapal-kapal asing dirompak, dan tuduhannya dialamatkan kepada Aceh.
Belanda paham betul, hubungan baik Aceh dan Amerika yang sudah terjalin sejak 1789, harus dihancurkan. Padahal masa itu, puluhan kapal dagang dari Amerika setiap tahun merapat di berbagai pelabuhan Aceh untuk membeli rempah-rempah.
Maskapai dagang Amerika Serikat datang dari kota-kota pelabuhan seperti Salem, Boston, New York, Beverly, Philadelphia, Marlbehead, New Bedford, Baltimore, Gloucester, Newbury Port, Fall River, dan Pepperelborough.
Kebanyakan maskapai Amerika itu, menjalin hubungan dagang Aceh melalui pelabuhan-pelabuhan di sebelah barat-selatan Aceh, mulai dari Tapaktuam, Samadua, Teluk Pauh, Meukek, Labuhan Haji, Manggeng, Susoh, Kuala Batu, Sunagan, Meulaboh, Bubon, Woyla, Panga, Sawang, Rigaih, Legeun, Babah Weh, Onga, dan Daya.
Cover buku penyerangan ke Kuala Batee, ditulis Ronald Knapp. Dok. Istimewa
Dari semua pelabuhan itu, kekacauan yang berujung perang itu terjadi di Pelabuhan Kuala Batee, Susoh (Aceh Barat Daya). Padahal selama setengah abad sudah hubungan dagang itu tak pernah terjadi insiden. Hubungan baik ini berjalan hingga tahun 1831. Setelah itu, karena harga lada di pasar internasional merosot, jumlah kapal Amerika yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Aceh semakin berkurang.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, maskapai dagang Friendship tetap menjalankan misi dagangnya ke Aceh. Maskapai ini merupakan milik Silsbee, Picman, dan Stone. Kapal ini dinahkodai oleh Charlea Moore Endicot, seorang nahkoda yang sudah sering ke Aceh.
Mereka kembali tiba di Aceh pada 7 Februari 1831, dan merapat di pelabuhan Kuala Batee. Tragisnya ketika Endicot dan para awak kapan Friendship berada di daratan, kapal itu dibajak sekelompok orang. Inilah awal petaka retaknya hubungan dagang Aceh dengan Amerika.
Meski, kapal Friendship itu kemudian dapat dibebaskan dari perompak oleh beberapa kapal dagang Amerika yang berada di perairan Kuala Batee, namun citra Aceh sudah tercoreng. Apa lagi kapal Friendship mengalami kerugia sekitar US$ 50.000 dari peristiwa itu, tiga orang anak buah kapal tersebut juga tewas.
ADVERTISEMENT
Berbagai spekulasi kemudian muncul, terkait latar belakang peristiwa pembajakan tersebut. Sejarawan Aceh M Nur El Ibrahiny menjelaskan, ada empat pendapat yang berbeda tentang peristiwa itu.
Pertama, peristiwa itu dianggap hal yang biasa terjadi dalam masyarakat yang tidak beradab. Tuduhan Aceh tak beradab ini sejalan dengan upaya Belanda untuk merusak reputasi Aceh di mata internasional. Hal ini kemudian dibantah dengan jawaban sederhana dari Aceh. Seandainya anggapan itu benar (Aceh tidak beradab), mengapa selama setengah abad lalu sudah hubungan dagang itu tak pernah bermasalah?
Kedua, apa yan terjadi di Kuala Batee merupakan puncak dari kekecewaan terhadap Amerika. Pasalnya, pedagang Amerika sering mengakali timbangan, sehingga pedagang Aceh merasa dirugikan. Hal ini diketahui setelah lada yang dibeli dari Aceh seberat 3.986 pikul, tapi ketika dijual ke Amerika menjadi 4,538 pikul.
ADVERTISEMENT
Pemalsuan timbangan ini dilakukan oleh pedagang Amerika dengan cara, sebuah skrup yang dapat dibuka di dasar timbangan diisi 10 hingga 15 pon timah, sehingga dalam satu pikul lada Aceh, dikibuli sebanyak 30 kati.
Ketiga, perompakan itu diduga dilakukan oleh para penghisap madat (narkoba). Mereka putus asa karena hilangnya pekerjaan akibat merosotnya harga lada. Dampaknya, mereka melakukan kejahatan perompakan di pelabuhan Kuala Batee.
Monumen mengenang penyerangan ke Kuala Batee, Aceh Barat Daya. Dok. Mapesa
Keempat, dan ini alasan yang paling dekat dengan kebenaran, peristiwa perompakan di pelabuhan Kuala Batu itu terjadi akibat provokasi Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia ingin menciptakan suasana tidak aman di perairan Aceh. Hal ini kemudian terbukti dengan keluarnya pernyataan Belanda bahwa perairan Aceh dipenuhi oleh para perompak. Dan Kerajaan Aceh dinilai Belanda tidak mampu melindungi kapal-kapal maskapai asing yang berlayar di perairan Aceh.
ADVERTISEMENT
M Nur El Ibrahimy mengungkapkan, untuk tujuan memecahkan hubungan baik Aceh dengan Amerika ini, Belanda mempersenjatai sebuah kapal rampasan, memasang bendera Aceh dan membayar kelompok Lahuda Langkap merompak kapal Friendship di Kuala Batee pada 7 Februari 1831. [bersambung]
Penulis: Iskandar Norman